Opening

38 5 5
                                    

Oriana, 1816

Jika hari ini bukan hari yang paling buruk bagi gadis itu, maka entah apa lagi.

Hari ini memang tidak banyak hal yang berubah ketimbang biasanya. Setidaknya, pada awalnya begitu. Namun ketika siang menjelang senja, ketika seseorang mengetuk pintu rumah dan si gadis cilik mengira pengirim surat yang membawa surat balasan dari teman penanya, yang muncul di depan pintu justru seorang pria paruh baya berjanggut panjang dengan kapak di tangannya.

Senyuman yang terukir di bibir sang gadis kecil seketika luntur begitu sang ibu berteriak, "Kalian semua, bersembunyi! Pergi dari sini!"

Dan itu suara terakhir yang bisa dia dengar sebelum kapak itu melayang tepat di tempurung kepala ibunya, membuatnya tersungkur di lantai dengan darah yang menyebar ke berbagai arah.

Pria berjanggut itu tertawa sementara si gadis kecil terpaku di tangga, memandangi hal yang seharusnya tidak dilihatnya--bagaimana busana ibunya yang sudah tak bernyawa dilucuti secara bringas, pria-pria yang lebih muda masuk ke dalam rumah dengan benda-benda tajam di tangan mereka.

"Jarah saja semuanya. Habisi."

Gadis itu ingin berteriak, namun yang dia temui hanyalah horor yang begitu saja membungkam, membuat desakan isak tangis muncul dalam diri terpendam. Dia melihat bagaimana pria berjanggut itu memeloroti celananya, mendekap tubuh sang ibu dan melakukan sesuatu yang tidak terlalu dia mengerti, tapi dia yakini merupakan bukan hak yang wajar. Tubuh kecilnya hanya berdiri di sana sebelum kakaknya menarik tangannya masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu kayu rapat-rapat. Pintu didobrak kasar, tapi kelihatannya cukup untuk menahan orang-orang aneh itu.

"Di mana Ayah?"

Kakak keduanya--seorang gadis berambut pirang pendek--meringkuk di kasur, menangis sambil memeluk lutut. Sementara itu kakaknya yang paling besar berusaha untuk membangunkannya. Si gadis kecil hanya bisa diam dengan napas memburu juga hal-hal membingungkan dalam kepalanya.

"Kita harus pergi, Nathania," tegur sang kakak. Pintu semakin lama semakin terdorong, hantaman-hantaman memekakkan telinga. "Ibu sudah mati."

"Ibu… mati?"

"Jeanne melihatnya sendiri."

Nathania melotot dengan matanya yang berair, menggeleng kuat. Sang kakak kelihatannya pusing bukan main, sehingga dia memilih untuk meninggalkan Nathania dan beralih pada Jeanne, gadis kecil itu. Dia berjongkok, memilin selimut panjang menjadi tali yang besar dan mengikatnya pada pinggang si gadis kecil itu.

"Kau turun duluan," katanya.

"Kita… mau ke mana?" tanya Jeanne, suaranya terbata. "Kau bagaimana, Charmine? Ayah? I-ibu?"

Charmine menghela napas namun tak diam begitu saja. Dia bergegas mendorong adiknya ke arah jendela yang terbuka, menyuruhnya duduk di kosen. "Aku akan menurunkanmu. Setelah ini masuk dan bersembunyi ke hutan. Aku dan Nathania akan menyusul. Oke?"

Jeanne tidak mengerti banyak. Dia hanya terperangah namun tak bisa melawan tatkala Charmine sedikit mendorongnya. Tangan-tangan kecilnya langsung memegang batu-batu bata yang menjadi dinding belakang rumah, tali terus turun sementara Charmine menahannya di atas. Jantung Jeanne bertalu tiap kali dia merasa tali itu diturunkan.

Ini gila. Semua ini… gila. Terlalu gila untuk pengalaman hidup seorang bocah 6 tahun seperti Jeanne.

Baru saja kakinya berpijak pada tanah yang mulai ditutupi salju, Charmine yang terlihat di atas jendela langsung menurunkan tali. Terdengar jeritan dari atas, namun Jeanne tidak bisa melihat apa pun karena jendela tiba-tiba ditutup dan sesuatu seperti nenyala.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 15, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tales of OrianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang