Aku Alif,seorang santri.....
Aku hidup bersama 4 orang santri lainnya. Tempat naungan kami tak layak disebut pesantren. Melainkan hanya sebuah pondok. Pondok yang terletak di pedalaman hutan rimba Sumatra. Hidup bersama seorang kyai,Kyai Jabar. Kami sangat menghormati, menyayangi,dan mencintai beliau. Ibu dan ayah telah mengikhlaskan kami untuk mengabdikan diri dipondok pedalaman ini. Kami menamainya,Darul Muna. Inilah hidupku,bersama 4 santri,4 benua,terhimpun menjadi 5 santri,5 benua. Saling melengkapi,mendukung,serta bahu-membahu menghadapi segala masalah. Sampai akhirnya, kami dapat meluncur ke 5 benua. Menyebar dakwah,filosofi kehidupan,serta menjadi seseorang yang dapat menyejukkan hatiku,biarlah mereka terjun kedalam lautan,
Kafta,yang suka bermain dengan senar biola miliknya.Alan,yang suka bermain dengan mesin-mesin. Dammerung,yang suka bermain dengan cat dan kuasnya.Sunrise,yang suka bermain dengan tangga nada.Dan aku,Alif,yang suka bermain dengan mereka. inilah kami,5 santri,5 benua.
Biarlah Darul Muna menjadi saksi bisu kisah-kasih yang membekas dihati kami.Darul Muna berkisah....
"Alif,kau tak datang perkumpulan hari ini?. Pasti Kyai Jabar akan menanyai perihalmu lagi nanti. Ayolah,datanglah walaupun hanya sekali !". Kafta terus membujukku.
"Untuk apa kau terus berdiam diri dikamar ini,Sudah macam ayam bertelur saja kau ini". Alan menimpali ucapan Kafta.
"Aku tak pernah memiliki niat untuk berada di tempat ini, tempat yang jauh dari keramaian,dan kesenangan". Jawabku sembari merenungi nasib yang telah membuatku hanyut ke pedalaman ini.
"Ya sudahlah,kalau dia tak mau,tak usah dipaksa,jika terus dipaksa yang ada akan membuatnya semakin menderita. Biarkanlah dia ! Kami pergi dulu". Dammerung menepis percekcokan diantara mereka dengan segera melangkahkan kaki keluar dari ruangan sederhana itu. Dia kelihatan sedang kesal karena kehilangan kuas kesayangannya.
“Aku takkan membuatmu sedih karena kehilangan kuas kesayanganmu”. Gumamku.
Setelah mereka pergi,aku langsung bergegas meluncur kekota. Bagaimanapun,Dammerung harus tetap melukis. Dia tak boleh menghentikan bakatnya yang sangat hebat. Pagi ini,aku harus mencari pekerjaan agar bisa mendapatkan uang untuk membeli sebatang kuas. Huh,walaupun harus menguras banyak keringat, aku takkan pulang sebelum kuas itu berada digenggamanku.Malam hampir tiba,akhirnya aku bisa membawa kuas itu pulang bersamaku. Aku pulang membawa senyuman. Dengan hati-hati,aku menyelinap masuk kedalam pondok. Sepertinya sudah aman,pondok sudah terlihat sunyi.Aku langsung meletakkan kuas itu diatas meja kerja Dammerung. Akhirnya,aku bisa merebahkan tubuh diatas kasur empuk yang tersedia. Ingin memejamkan mata dan menghanyutkannya ke alam mimpi. Tak berapa lama, terdengar suara pintu yang dibanting dengan kemarahan yang meluap. Suara itu menggangguku. Aku beranjak dari tempat tidurku. Betapa terkejutnya diriku,Kyai Jabar telah berdiri tegap dihadapanku dengan rotan berada digenggamannya.Kini aku harus menerima hukuman 100 cambukan rotan,aku tak harus mengelak dari hukuman ini,aku yang telah berbuat,maka aku harus berani mempertanggungjawabkan perbuatanku.Malam yang dingin ini sangat baik,dia mendinginkan luka cambukanku. Ini tak terasa perih,aku senang mendapat cambukan ini. Cambukan yang berbekas,dapat mengingatkanku akan peristiwa hari ini.“Lif,kau kemana saja? Kyai sudah mencari mu keliling pondok”. Alan terus bertanya sembari mengoleskan obat untuk lukaku ini,Aku menahan tangannya,melarangnya untuk mengoleskan obat itu keseluruh lukaku.”Alif,ini harus diobati!”Alan terus memaksa melanjutkan untuk mengoleskan obat.”Jangan sampai obat ini menghilangkan bekas luka yang indah ini dari tubuhku”.Kuberi senyuman yang menyatakan bahwa aku bahagia memiliki luka ini.
Aku beranjak dari tempat tidur dan pergi membuka jendela kamar untuk bisa mendapatkan hawa dingin yang berhembus malam ini sembari menikmati petikan senar biola Kafta yang terdengar sangat merdu.“Sampaikan pada kyai,lupakan saja muridnya yang satu ini. Aku tak pantas menyandang gelar sebagai murid beliau”.Aku melemparkan kalimat itu dengan acuh tak acuh.Mendengar ucapanku,Kafta langsung memberhentikan permainan biolanya.
“Cobalah sekali,kau pasti akan kecanduan. Kalau dirasa,kita seperti sedang memakai narkoba. Ilmunya sangat nikmat”. Kafta menghampiriku,merayu sembari merangkul bahuku.
“Ini sudah yang ke-987 kali kau merayunya. Tapi tetap saja gagal”. Dammerung menimpali sembari mengangkat ujung kuas barunya,menyempurnakan lukisannya. Dia sangat dingin. Kali ini dia mengangkat suaranya. Kelihatannya dia sangat senang.
“Eh,es batu. Aku tau kau baru saja mendapatkan kuas baru yang tak tau dari mana asalnya. Tuangkan saja khayalan-khayalanmu diatas kertas putih itu”.Kafta menyahuti ucapan yang dilontarkan Dammerung dengan kesal.Kebahagian keempat sahabatnya merupakan alasan untuk Alif bertahan hidup. Biarlah empat bibir yang tersenyum dapat menghantarkannya ketempat peristirahatan dengan tenang. “Biar aku saja yang menanggung perihnya rasa sakit yang menggerogoti tubuhku”.Alif bergumam dibalik tawa yang menghiasi ruangan sederhana ini.
Seperti biasanya,aku pergi kekota dipagi hari.Aku meninggalkan Darul Muna tanpa sepengetahuan seorang pun yang berada disana. Hari ini,aku melihat poster yang terpajang di pinggiran jalan. Aku merobek selembaran poster tersebut untuk dibawa pulang. Poster yang berisikan, audisi menyanyi. Tertera,bahwa tanggal pendaftaran terakhir dan seleksi masuk babak final adalah hari esok. Aku segera berlari pulang.Aku harus segera memberikan kabar gembira ini kepada Sunrise,salah-satu temanku yang memiliki hobi menyanyi,suaranya juga tak kalah dengan artis papan atas. Mungkin,audisi ini bisa mengantarkannya ke impian yang selama ini ia timbun dalam-dalam. Sesampainya dipondok,Aku segera menyelipkan poster itu diantara lembaran-lembaran buku harian Sunrise,yang selalu ia baca berulang-ulang dikala malam menyelimutinya. Sepertinya itu pemberian dari seseorang yang sangat ia sayangi. Selepasnya,aku keluar dari kamar. Duduk di anak tangganya. Menunggu kepulangan keempat temanku. Tak berapa lama, mereka terlihat dari kejauhan. Kelihatannya seru jika aku berada ditengah-tengah mereka. Pulang membawa ilmu. Aku hanya bisa tertawa membayangkan masa-masa itu. Aku yakin,semua indah pada waktunya. Kafta terlebih dahulu menghampiriku.
“Lif,kau dipanggil Kyai Jabar. Beliau menyuruhmu datang ke kediamannya. Hati-hati ya,jaga dirimu baik-baik!”.Kafta membawa kabar yang membuat hatiku berdetak sangat kencang.”Ada apa ini?”.Hatiku terus bertanya.Aku bergegas pergi.Kuketuk pintu rumah beliau dengan hati-hati.Beliau membukannya dengan wajah sendu.Sepertinya tak ada kemarahan hari ini.“Masuklah,ambil dan pegang cambuk itu dengan erat! Cambuklah dirimu sendiri! Aku tak ingin menyakitimu dengan tanganku sendiri”.Aku hanya bisa meneguk ludah.Cambukan ini tak begitu menyakitkan ku.Aku pulang dengan wajah yang berseri-seri,berusaha menutupi rasa sakit yang baru kudapat. Alhamdulillah,mereka sudah tertidur lelap. Tapi tidak dengan Sunrise,dia masih duduk termenung di meja belajarnya.Aku menghampirinya.”Ada apa?”. Pertanyaan yang kulontarkan membuatnya kaget,dia langsung menyeka air mata yang menitik dipelipisnya.”Tadi aku mendapatkan poster ini,seperti yang kau ketahui. Aku sangat suka menyanyi,aku takkan mungkin bisa mengikuti audisi ini. Kyai takkan mengizinkannya. Dan mengikuti audisi ini termasuk pelanggaran. Besok adalah terakhir pendaftaran dan seleksi masuk babak final”. Aku tersenyum sinis,tenyata Sunrise telah melihat poster ini.”Kau bisa mengikutinya,aku akan membantumu”.Sunrise mendekapku dalam pelukannya.”Terimakasih,Lif”. Kata itu tak pernah kuharapkan dalam hal membantu. Senyuman diwajah mereka sudah lebih dari cukup.
Aku dan Sunrise pergi lebih dulu sebelum sang mentari menyapa fajar. Dia sangat ketakutan untuk melangkahkan kaki keluar pondok.Aku berusaha menghiburnya,”Kau tenang saja,sudah kukatakan padamu,aku akan membantumu. Aku takkan melibatkan mu dalam masalah”. Secuil kalimat itu dapat menghiburnya. Akhirnya semua berjalan lancar. Sunrise masuk ke babak final dan akan mengikuti seleksi babak final di Perancis. Hari sudah mulai gelap,kami segera kembali ke pondok. Alhasil,masalah tetap saja menghantuiku. Malam ini,Kyai akan menyidang kami. “Siapa diantara kalian yang keluar pondok dan mengikuti audisi menyanyi?”.Kyai sangat marah, sementara Sunrise teelihat sangat ketakutan.”Alif yang mengikuti audisi itu,kyai”. Aku memecah keheningan. Kyai menyuruh mereka untuk meninggalkan ruangan. Kini cambukanku ditambah menjadi 500 cambukan. Aku harus menerimanya walau harus pulang dengan badan berlumuran darah.
“Alif,kenapa kau melakukan semua ini. Kau terluka karena kesalahanku”Sunrise menopang tubuhku yang sudah lemah gemulai.”Ini bukan kesalahanmu,apakah kau lupa,sudah kukatakan,aku akan membantumu. Aku takkan melibatkan mu dalam masalah” Rasa sakit yang timbul dari luka cambuk ini memaksaku untuk memejamkan mata,dan hanyut mengikuti arus yang membawaku entah kemana. Aku pingsan.
Mentari menggelitik kelopak mataku. Kubuka mata,tak satupun orang terlihat di sekeliling ruangan.Sepertinya mereka sedang mengikuti kelas dipagi hari. Aku beranjak. Tak enak seharian terus-terusan berbaring diatas ranjang. Membuat punggungku terasa sakit.Sudah saatnya aku pergi kekota.Aku harus membelikan Kafta biola baru. Aku tau, senar biola miliknya sudah rusak. Dia tak bisa menyembunyikannya dariku. Aku keluar dengan kondisi tubuh yang sangat lemah. Berjalan pincang. Semua itu sirna,ada mereka,yang menjadi alasan bagiku untuk tetap hidup. Aku berhasil membawa biola baru untuk kafta. Dan begitu juga,berkali-kali aku keluar pondok. Maka cambukan itu akan bertambah. Tapi,itu takkan bisa menghalangiku untuk membuat teman-temanku tersenyum. Aku takkan berhenti sebelum mereka bisa menggapai impian mereka yang hakiki.
Lusa,aku akan pergi kekota. Aku ingin mengirimkan lukisan indah milik Dammerung,dan rancangan mesin yang unik milik Alan.Mungkin ini aksiku yang terakhir kali. Sebelumnya, aku memutuskan untuk masuk kelas besok pagi. Pertama kalinya dalam 6 tahun ini.
Pagipun tiba,aku membenah diri. Dan bersiap-siap untuk pergi ke kediaman Kyai Jabar yang berjarak 56meter dari ruangan sederhana milik kami. Aku duduk di anak tangga sembari menunggu keempat temanku yang lainnya. Aku ingin berangkat bersama mereka.
“HEI,Alif! Rapi sekali kau pagi ini,mau pergi ke kota lagi? Masih tidak jera dengan cambukan Kyai Jabar? Atau,kau ingin menggenapkan cambukan ya menjadi seribu?”.Kafta sudah melontarkan lelucon pagi padaku.
“Hari ini aku takkan keluar kekota. Aku ingin ikut bersama kalian ke kediaman Kyai Jabar”.Aku menjawab leluconnya. Jawabanku membuat kedua matanya berbinar seketika.
“Serius lah kau ini?”. Aku menganggukkan kepalaku beberapa kali sembari tersenyum.”Ouhh....Dunia, akhirnya Alif terperangkap dalam rayuanku”Dia berterik sekencang-kencangnya. Yang lainnya langsung keluar melihat apa yang sedang terjadi.”Alan,Dammerung,Sunrise...Alif ingin pergi bersama kita hari ini”. Mendengar kabar itu,mereka langsung mendekapku kuat. Inikah rasa itu? Rasa yang tak pernah ku harapkan,kini hadir menyelimutiku.
Kami memulai perjalanan,aku ingin sejarah mencatat kejadian hari ini. Kuingin,waktu memperlambat tiap detiknya. Aku tak ingin hari ini lenyap begitu saja tanpa kesan. Hari pertama,menitikkan tinta.Hari pertama,mendengarkan penjelasan Kyai Jabar dan menatapnya. Hari pertama,menyandang gelar sebagai murid Kyai Jabar. Namun,ini juga menjadi hari terakhirku menatap mereka yang kusayangi.
“Alif,apa yang membuatmu datang?”.Kyai Jabar bertanya sembari menatapku terheran-heran. “Saya ingin menebus semua kesalahan yang telah saya perbuat,Kyai. Kesalahan Alif bak butiran debu yang menggunung. Tak bisa terhitung lagi. Cambukan itu belum cukup untuk menghapus dosa yang telah Alif perbuat dipondok ini.Biarlah Alif mencium telapak kaki Kyai sebagai pensucian”.Semua yang mendengar mengira bahwa ini adalah permintaan pertamaku yang sangat mengejutkan. Tapi nyatanya,bagiku,ini adalah permintaanku yang terakhir kalinya. Kyai Jabar menyetujuinya. Aku sangat senang,detik-detik terakhirku bisa mencium telapak kaki beliau.
KAMU SEDANG MEMBACA
SANTRI 5 BENUA
Teen FictionBahagia itu tak harus memeluk dunia dan seisinya. Cukup dengan melihat senyum kesuksesan sahabat merupakan kebahagiaan