Langit sore ini terlihat mendung. Hujan rintik-rintik membasahi kota kecil kami. Kota kecil yang menjadi pusat pemerintahan negara. Kini, kota kami dalam keadaan di-lock down sebagai upaya minimalisasi penyebaran Covid-19. Namun demikian, aku masih menemukan kemacetan saat kemudi kuarahkan ke Timur, tempat rumah sakit universitas berada.
Di beberapa terminal kulihat masih banyak orang berlalu lalang meskipun waktu telah menunjukkan pukul 5 petang. Mereka tak bermasker dan ada beberapa pria muda yang berkumpul sambil menghisap rokok. Cih, apa mereka tidak tahu bahwa nikotin bakar yang mereka hasilkan bisa membuat paru-paru muda anak sekolah rusak? Lalu, apa fungsi lock down setengah-setengah ini?
Aku alihkan pandanganku ke arah depan setir. Dadaku berdegup kencang. Aku tahu bahwa aku dipanggil pihak universitas untuk membantu keadaan gawat di rumah sakit. Pasien virus corona telah melonjak hebat menjadi 300 persen selama seminggu ini. Dan sialnya, pusat penyebaran virus ini ada di kotaku. Tempat aku lahir dan tempat aku dan istriku tinggal.
"Kak, hati-hati di jalan," kata-kata Rania, istriku, berdengung di telinga. Tadi, saat aku menerima telepon dari rumah sakit universitas untuk bergabung bersama tim, ia sepertinya sudah mengerti bahwa ini adalah panggilan Tuhan untukku. Ia pun segera membawakan jaket dan kunci mobil kota kami yang mungil.
"Kamu jaga diri, ya...," kataku kepadanya. Kuelus perut Rania yang sudah buncit karena bulannya. Aku harus meninggalkan ia malam ini. Mungkin bukan hanya malam ini. Mungkin malam-malam selanjutnya pun aku harus tetap berada di rumah sakit mengurusi pasien.
Sebenarnya, aku sempat ingin menolak panggilan pihak rumah sakit untuk datang malam ini dan menundanya besok pagi, tetapi karena mereka mengatakan status darurat akibat lonjakan pasien Covid-19, nuraniku sebagai tenaga medis membuatku tak bisa menolak selain menelan ludah dan berusaha pasrah pada ketentuan Tuhan.
"Kak, aku bisa jaga diri, kok... lagi pula rumah kita, kan, berdekatan dengan rumah Bapak dan Ibu...," hibur Rania.
"Kalau ada apa-apa... telepon aku, ya!" ucapku menahan kecemasan.
Rania mengangguk dengan senyum simpulnya. Ia begitu tegar dan tak menampakkan wajah cemas. Ia tahu bahwa aku harus pergi "berperang" malam ini. Tetiba, tanpa kusadari, bayangan Rania berganti dengan bayangan gedung rumah sakit universitas yang menjulang tinggi dengan sepuluh lantai di sana. Setelah kuparkirkan mobilku, aku beranjak langsung ke area gawat darurat. Suasana ramai dan sibuk terlihat jelas di sana. Kulihat rekanku, Anton dan Sahla sudah duluan tiba. Mereka berdua bermasker ketat dan bersarung tangan.
"Asalamualaikum!" sapaku dengan senyum setengah pahit seperti kopi aceh yang berasa agak masam.
"Waalaikumussalam! Azfar! Syukurlah kau datang!" respons Anton dan Sahla. Mereka sepertinya sedang sibuk mengambil sampel darah beberapa suspek Covid-19 sehingga tak terlalu banyak yang mereka ucapkan. Aku tak enak. Aku segera mendekati seorang ibu paruh baya berusia 50 tahunan. Ia diantar oleh anaknya yang masih remaja. Usianya mungkin sekitar 18 tahun. Anak itu tak bermasker. Aku agak sedikit merasa kesal dengan keadaan itu, tetapi berusaha untuk menahannya. Kukeluarkan beberapa masker sekali pakai untuk ia kenakan.
"Pakailah ini, Dik!"
Remaja itu dengan wajah merah menerima angsuran tanganku. Ia tak bisa menyembunyikan kekalutan karena sang ibu kelihatan menahan sesak di dada dan suhu tubuh yang tinggi.
Aku memasukkan termometer di ketiak sang ibu dan setelah termometer berbunyi, aku menemukan bahwa demam sang ibu sangat tinggi: 38,5 derajat. Kuletakkan stetoskop dan menemukan detak jantung sang ibu yang sepertinya abnormal. Karenanya, aku memutuskan untuk segera membawa sang ibu ke ruang rawat untuk mendapatkan bantuan pengobatan dengan memanggil dua orang perawat. Anak ibu itu kuminta mendatangi staf administrasi rumah sakit untuk mendaftarkan diri. Tentu saja, aku memintanya menunjukkan kartu asuransi kesehatan negara agar dibebasbiayakan.
Ada sekitar sepuluh ODP (orang dalam pemantauan) corona yang kutangani malam ini. Ditambah dengan 10 orang yang ditangani Anton dan Sahla, ODP corona dari rujukan rumah sakit lain itu berjumlah total 20. Malam ini, jumlah pasian positif corona di seluruh negeri sudah mencapai 309. Benar-benar kondisi yang memprihatinkan. Ditambah korban meninggal terus bertambah. Kami belum menemukan serum yang bisa melawan virus mematikan ini. Kalaupun ditemukan, serum atau vaksin yang diperlukan harus diuji coba dalam waktu yang tidak sebentar. Dan kenyataan itu adalah suatu hal yang menyesakkan.
Setelah kami menangani beberapa ODP tadi, Anton dan Sahla melemaskan otot leher mereka yang tegang sambil menikmati air minum mineral yang sudah disediakan perawat. Mereka belum sempat memakai pakaian antiseptik yang seyogyanya digunakan untuk memeriksa pasien suspek. Aku pun sama. Aku pun hanya memakai jaket dan kaus, serta jeans belel saja karena ketika tadi menerima telepon, aku setengah panik karena tak menduga harus datang ke rumah sakit universitas malam ini juga.
"Far, remaja yang mendampingi ibu tadi tidak kau cek darahnya?" tanya Sahla heran. Aku pun jadi heran.
"Bukankah..., ia tak memiliki gejala?" tanyaku balik. Namun, pertanyaan Sahla itu sempat membuat aku tergelitik. Betapa cerobohnya diriku. Bukankah sebagian besar orang yang terinfeksi corona akan dengan mudah menularkan virus itu dengan orang terdekat mereka?
"Sepertinya anak remaja itu kebingungan. Ia hanya tinggal berdua dengan ibunya. Kebetulan ibunya adalah pembantu di rumah Tuan Smith, seorang pasien ekspatriat yang juga memang baru plesiran dari Italia," sambung Anton. "Tuan Smith juga terinfeksi dan masuk sebagai orang ke-300 sebagai PDP," lanjut Anton. Ia kemudan memilih duduk agak berjauhan dari kami berdua.
"Hm...,, jadi, remaja tadi benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Ia harus dipisahkan dari ibunya. Itu yang pasti."
Aku memejamkan mataku. Di balik pandemi Covid-19 yang mendunia di awal tahun 2020 ini, ada kisah menyedihkan dan menguras air mata. Akibat isolasi mandiri dengan aturan mirip "lock down" yang diberlakukan pemerintah, orang-orang dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah akan sangat terdampak. Bila mereka terjangkit, mereka harus meninggalkan keluarga dan menelantarkan anak-anak mereka. Bila tidak terjangkit pun, pekerja harian harus pasrah bila orderan mereka berkurang drastis dan akibat-akibat lanjutan lainnya. Betapa berat beban ekonomi akibat Covid-19 terasa di dadaku.
"Azfar, Anton, Sahla... terima kasih sudah mau membantu dan bergabung!"
Sebuah suara datang dari dalam ruang ICU. Orang itu berpakaian antiseptik putih lengkap mirip astronot. Oleh karena itu, kami tidak dapat mengenalinya. Namun, dari suaranya, aku tahu bahwa itu pasti suara...
"Prof. Hendrawan!" pekik kami menahan rasa takjub. Profesor Hendrawan adalah salah satu dosen favorit kami dulu. Saat mata kuliah patologi.
"Hahaha..., kalian benar-benar tiga sejoli, ya. Tidak bisa dipisahkan," respons Prof. Hendrawan riang. Kemudian, Prof. Hendrawan meminta kami menunggu di ruang beliau sambil membuat kopi atau cokelat panas yang cocok dengan ruangan rumah sakit yang dingin.
"Mengenai Covid-19 atau novel coronavirus ini... terus terang saya tak dapat berkomentar banyak. Beberapa rekan sejawat dari Tiongkok pun menyayangkan karena belum ada penelitian tentang pandemi corona tipe baru ini selain kasus temuan di Wuhan pada Desember 2019 lalu."
Setelah mengganti pakaian antiseptiknya, Prof. Hendrawan berbincang dengan kami bertiga. Ia tetap memakai masker dan berpakaian putih untuk berjaga bila tenaganya diperlukan di ruang perawatan atau gawat darurat.
"Ya... sangat disayangkan," ujarku lemah. Kekecewaaan yang membuncah membuatku tak dapat berkata banyak. Aku menyesal karena lalai dengan penelitian kedokteran setelah lulus. Aku selama ini terlalu terfokus pada praktik di rumah sakit swasta dan penelitian tentang AIDS tanpa menyadari bahwa akan ada lebih banyak virus lain yang menyerang manusia dan memiliki daya bunuh masal yang menyeramkan.
"Di seluruh dunia, sudah ada sekitar delapan ribu kasus. Namun, negeri kita tercinta ini tercatat sebagai salah satu negeri dengan tingkat kematian tertinggi, yaitu 8,6 persen."
Prof. Hermawan kembali melanjutkan penjelasannya. Anton dan Sahla mengangguk-angguk akan perkataan Prof. Hermawan itu. Prof. Hermawan adalah salah satu dokter senior di negara kami. Beliau sudah berusia 65 tahun. Tahun lalu adalah tahun pensiun beliau. Namun, karena pada awal Maret kondisi negara gawat dengan adanya wabah Covid 19 yang dimulai dari Wuhan, Tiongkok, itu beliau diminta kembali oleh Presiden untuk memimpin penanganan virus corona di dalam negeri. Nuraniku kagum akan kegigihan beliau. Beliau sepertinya tak gentar dengan tantangan menyeramkan ini. Membiarkan diri terpapar dengan virus yang belum diketahui pasti penanganannya ini adalah suatu tantangan menakutkan. Bisa saja sewaktu-waktu ia terinfeksi dan yang lebih buruknya lagi...
"Apakah ada cara untuk menghindari membludaknya pasien dengan kasus corona ini, Prof? Kita kini mungkin masih berada di fase penundaan, tetapi bila dibiarkan..." ujarku sambil menelan ludah. Jantungku berdebar membayangkan akan banyak korban yang jatuh lagi.
"Ya, kita baru di fase penundaan karena kita sebagai tenaga medis belum bisa maksimal dalam penanggulangan. Kita hanya dapat melakukan tresing tanpa mempersiapkan adanya lompatan penderita yang lebih besar lagi...," keluh Prof. Hermawan. Perkataannya membuat naluriku makin tertindas walaupun secara fisik aku kelihatan tegar.
"Kita memang harus bisa memutuskan rantai penyebaran virus. Namun, bagaimana? Sekarang pun sepertinya masyarakat kurang mau peduli meskipun sudah ada aturan lock down untuk pelajar dan pekerja. Di jalan-jalan pun masih banyak orang yang enggan memedulikan keselamatan mereka dan keluarga," tukas Anton melanjutkan perkataan Prof. Hermawan.
Prof. Hermawan menghela nafas. Ia menggelengkan kepalanya beberapa kali. Seperti hendak menyingkirkan mimpi buruk yang sudah ada di pelupuk mata kami bertiga. Namun, tiba-tiba ia berkata,
"Tuhan sudah mengutus virus ini untuk menyadarkan kita untuk tidak sombong dan arogan. Selama ini kita sudah banyak melanggar aturan Tuhan. Kini, kita hanya bisa berusaha. Oleh karena itu, kalian bertiga saya panggil."
"Jadi, kami di sini untuk apa, Prof? Membantu tim untuk menangani suspek corona, bukan?" tanya Sahla. Ia bertanya sambil mengarahkan pandangannya kepada aku dan Anton.
Prof. Hermawan diam. Ia mengecek reaksi kami satu per satu. Kami tentu memperlihatkan wajah yang heran, bingung, dan tak berdaya.
"Saya sudah menelepon seorang dokter kenalan saya dari Tiongkok. Ia akan membimbing kita memformulasikan antivirus corona ini," ujar Prof. Hermawan dengan wajah serius.
Jantungku berdegup lebih kencang. Keringatku mengucur. Panas-dingin rasa tubuhku. Apakah aku akan mampu menemukan vaksin atau antivirus mematikan ini dalam waktu dekat?
"Azfar.., bagaimana kabar Rania?" tanya Prof. Hermawan tiba-tiba.
"Dia sedang mengandung. Sudah bulan kesembilan," jawabku pelan. Aku sudah menduga bahwa ada tugas besar yang akan kuemban bersama Anton dan Sahla di sini. Itulah mengapa kami dipertemukan di sini. Saat ini.
"Saya tahu pasti sangat berat meninggalkan istri saat kita harus mengemban tugas negara. Namun, saat ini negara membutuhkan kita," lanjut Prof. Hermawan dengan wajah teduh, bijaksana.
"Dan.. Anton, Sahla..., kudengar kalian berdua sudah merencanakan pernikahan bulan depan?" tanya Prof. Hermawan kepada kedua rekanku itu. Mereka berdua terlihat agak tersipu malu. Namun, tak lama berselang, keduanya mengangguk.
"Ya, Prof. Kami sudah menyebar undangan. Akan tetapi, dengan adanya kasus corona ini...," tutur Anton, "kami harus menundanya demi kebaikan," lanjut Sahla tersenyum tipis.
Aku kagum dengan ucapan keduanya. Aku tahu sebagai tenaga medis, kami tak punya pilihan selain berjibaku bersama rekan-rekan medis seluruh dunia melawan wabah ini. Walaupun untuk itu, aku harus meninggalkan Rania dan jabang bayi kami di rahimnya saat ini. Walaupun untuk itu, Anton dan Sahla harus rela tidak jadi menikah bulan depan.
"Prof. Hermawan, saya punya kenalan di Amerika dan beliau ahli virus. Izinkan saya telekonferens dengan beliau malam ini," tandasku pada Profesor.
Prof. Hermawan pun mengangguk tanda setuju. Kami berempat berkumpul untuk menyusun rencana penyusunan formula antivirus Covid-19 malam ini. Sebelumnya kami melihat riwayat penelitian Ali Mohamed Zaki, seorang dokter berkebangsaan Saudi Arabia, yang menemukan kasus virus corona pada 2012. Virus Ncov 2019 ini merupakan jenis ketujuh dari virus corona yang juga ditemukan pada tubuh kelelawar dan kodok yang akhirnya menginfeksi manusia. Dan temuan dokter Zaki itu diduga sebagai cikal bakal virus Corona yang menjadi pandemi pada akhir 2019 dan masih berlanjut hingga kini.
Hari-hari di rumah sakit pun berlanjut dengan lonjakan ratusan pasien dan suspek yang harus dikarantina. Karena kelebihan kapasitas, pemerintah menggunakan sarana gedung olah raga yang diperuntukkan bagi pasien dengan corona. Beberapa perawat dan dokter tumbang kelelahan. Bahkan, satu-dua di antara mereka tewas. Rumah sakit universitas kekurangan dokter sehingga Sahla dan Anton sesekali diminta untuk berjaga di rumah sakit atau klinik gedung olah raga tempat karantina. Untungnya fisik keduanya baik sehingga mereka tidak terinfeksi.
Berbeda dengan diriku. Meskipun aku bekerja di laboratorium dengan para apoteker dan ahli farmasi, aku sering merasakan demam dan tenggorokanku terasa sakit. Ditambah rasa cemas karena hari kelahiran buah hatiku sudah semakin dekat. Sekarang Rania hanya sendirian di rumah karena Ayah dan Ibuku yang seyogyanya menemani dia harus tetap berada di rumah karena larangan pemerintah untuk berkumpul. Ditambah usia mereka yang sudah tak muda. Untungnya, Salwa, sepupuku selalu memberi kabar dan menengok Rania setiap hari.
"Dokter Azfar, ada apa? Dokter kelihatan pucat sekali."
"Ah. Tidak apa-apa, Mbak Alida."
Dari balik maskernya, seorang apoteker bertanya kepadaku. Namanya Alida, dia seorang pekerja keras. Ia bekerja bersamaku hampir dua minggu ini, 1 kali 20 jam. Ia menunjukkan tampilan virus corona yang diperbesar 2000 kali. Mirip nyamuk dengan wajah menakutkan. Makhluk kecil itu terlihat mulai lemas dan beku karena dimasukkan ke dalam cairan remdisivir buatan Amerika dan itu menunjukkan bahwa antivirus itu memang terbaik setelah terbukti mengalahkan virus ebola satu dekade silam.
"Komposisi remdisivir sebenarnya tidak rumit, hanya saja dengan formula yang kita buat, kita tak bisa memastikan apakah seefektif dan bahan bakunya memang tersedia di dalam negeri. Namun, opsi kedua, bila kita harus mengimpor antivirus ini, kita tak mungkin mengimpornya dalam jumlah banyak. Dokter Azfar. Pasien ke-400 yang diberikan remdisivir mengalami kemajuan dalam waktu dua hari. "
Aku mengangguk pelan setelah mendengar perkataan Alida. Ia benar. Untuk mengatasi wabah ini, antivirus terbaik harus disediakan negara. Namun, dengan keterbatasan dana rumah sakit, tak mungkin rasanya aku dan rekan lain memproduksi antivirus sejenis remdisivir tanpa keterlibatan pihak swasta. Tiba-tiba kepalaku terasa agak pusing,. Alida membantu agar tubuhku tidak terhuyung.
"Dok, sepertinya Anda demam," kata Alida dengan wajah khawatir. Agaknya dia benar. Aku memang perlu istirahat. Namun, baru saja aku hendak mengambil kursi untuk kududuki, tak bisa kukendalikan tubuhku. Pandangan mataku terasa gelap. BRAK!
"Dokter! Dokter Azfar!!!" samar-samar kudengar suara Alida menjauh. Samar-samar pula kulihat wajahnya berganti dengan wajah Rania, istriku.
***
Waktu menunjukkan pukul 02.00 pagi saat aku bangun dan baru sadar bahwa aku telah tertidur hampir seharian di kamar pasien yang terdekat dengan laboratorium. Di sampingku ada Alida. Ia kelihatan lelah dan cemas. Mengapa? Ia memang pribadi yang baik dan aku sudah menganggapnya seperti adikku sendiri. Pasti aku sudah merepotkan dirinya karena harus membawaku yang bertubuh tinggi ini ke ruang perawatan.
"Mbak Lida, maaf, saya sudah merepotkan...," kataku kepadanya.
Kontan ia pun tersentak dan kaget. Namun, ia kemudian tersenyum. Ada beberapa bulir air mata keluar darinya.
"Dokter Azfar..., syukurlah Dokter sudah sadar!" respons Alida.
"...Terima kasih. Sepertinya saya terinfeksi. Jangan mendekat, Mbak Alida!"
Aku berusaha membuang wajahku kepada gadis itu. Aku tak mau ia tertular virus dari sampel dahak pasien di laboratorium yang mungkin saja masuk ke tubuhku selama empat belas hari ini.
"Tidak, Dok! Dokter negatif Covid-19! Kalaupun positif, saya punya antivirusnya! avigan dari rekan saya di Jepang!" tandas Alida.
Aku tersenyum simpul mendengar ucapannya. Pasti perawat atau dokter sudah menyuntikkan sesuatu ke tubuhku supaya lebih kuat. Namun, yang kuperlukan saat ini adalah istirahat karena sudah hampir dua malam aku tidak dapat tidur nyenyak. Uji klinis formula mirip remdisivir dan avigan sudah kulaporkan kepada kementerian kesehatan kemarin. Namun, sepertinya mereka belum merespons dengan baik. Mereka sepertinya masih memikirkan bagaimana upaya menampung pasien covid-19 yang jumlahnya bisa mencapai ribuan dalam waktu singkat.
"Prof. Hermawan tadi ke sini. Beliau menitipkan ini!"
Alida mengangsurkan sebuah map cokelat kepadaku. Dengan masih setengah terhuyung, aku mencoba duduk dan mengeluarkan surat dari map cokelat itu. Setelah membaca surat itu, pikiranku menjadi lebih jernih.
"Syukurlah...," ujarku pelan.
"Apa isinya, Dok?" tanya Alida dengan wajah keheranan.
"Surat pemberitahuan dukungan uji klinis dan impor antivirus...," jawabku dengan suara parau. Setelah mendengar penjelasanku, ia pun terlihat lega. Sama dengan diriku. Selang lima menit, karena merasa sudah baikan, aku pun bangkit untuk mengabarkan kepada Anton dan Sahla. Aku perlu rapat dengan mereka besok pagi.
"Dokter mau ke mana?" tanya Alida.
"Saya akan mengabari tim dokter tentang hal tadi. Lagi pula, banyak pasien yang terbengkalai menanti ruang perawatan ini."
Pikiranku menjadi jernih karena surat pemberitahuan bahwa uji klinis kami diterima dan kami tinggal menunggu kepastian produksi masal antivirus. Ditambah, Prof. Hermawan juga mengajukan impor antivirus kepada kementerian kesehatan Jepang dan Amerika. Titik terang mulai terlihat walaupun masih bisa dikatakan langkah yang terlambat. Rasa syukur membuncah dalam hatiku diiringi doa semoga formula antivirus yang timku temukan memang bekerja sesuai dengan harapan.
Baru beberapa langkah keluar dari ruang perawatan, samar-samar kudengar suara Sahla dari belakang.
"Azfar! Azfar! Tolong, kami perlu bantuan! Kau ingat anak remaja yang ibunya terjangkit dua minggu lalu...?"
"Hm... ya," jawabku pendek. Belum sempat kutanyakan kepada Sahla mengapa ia mengejarku, ia sudah duluan berkata dengan tempo yang sangat cepat.
"Dia terinfeksi juga! Kini, ia mengalami gagal pernapasan di UGD! Kumohon, aku perlu bantuanmu!" Sahla berkata dengan wajah cemas. Tak biasanya ia begitu. Kami ini dokter, tenaga medis. Kami tidak boleh menampakkan kecemasan kami di depan orang lain. Namun, virus ini memang membuat kami gila! Kami harus bekerja 20 jam seharian. Aku bisa memaklumi bahwa Sahla pasti stres dengan pekerjaan amal ini.
"Tenanglah! Semoga kita masih bisa menolongnya! Mbak Alida, saya minta ambil alih laboratorium, ya! Sahla, ayo kita bergegas!"
Aku berjalan lebih dulu daripada Sahla untuk menuju UGD. Karena kakiku yang panjang, aku lebih cepat sampai di sana. Di sana, kulihat sang ibu yang sudah sembuh kelihatan bingung dan menangis. Namun, saat ia melihatku, ia seperti melihat dewa.
"Dokter Azfar! Tolong anak saya..., hanya dia semata wayang yang saya miliki!" rintih sang ibu memohon. Tangannya menarik-narik tanganku sehingga aku merasa tak tega. Aku ingin menangis bersama sang ibu, tetapi aku seorang dokter. Aku harus mengesampingkan perasaanku.
"Ibu tenang dulu, ya... Berdoalah kepada Tuhan!" seraya memasang masker dan pakaian antiseptik, aku masuk ke dalam ruang UGD isolasi. Sahla mengikuti dari belakang, kemudian memberikan keterangan tentang tindakan yang sudah diberikan.
Bismillah... semoga semua lancar. Doaku dalam hati. Namun, baru saja hendak kubuka tirai kamar isolasi, telepon genggamku berdering. Saat kulihat di layar, kuketahui telepon itu dari Rania. Dan kulihat sudah ada beberapa status pemanggilan di sana. Aku pun merasa begitu tegang dan tak keruan.
"Sahla..., sebentar..., berikan pasien oksigen dan obat dosis rendah avigan!" perintahku pada Sahla. Sahla menurut, ia pun segera masuk menangani pasien remaja itu.
"Asalamualaikum..., Kak...," suara Rania, terdengar pelan. Ia seperti menahan sakit.
"Waalaikumussalam..., Ni..Nia.., maaf, aku tadi tak sadar HP-ku berbunyi. Ada apa? Kamu baik-baik saja, kan?" tanyaku dengan pikiran cemas.
"Kak... sepertinya ketubanku pecah," bisiknya menahan sakit. Dadaku kembali berdegup. Namun, kali ini seperti ada yang menusuk-nusuk. Ketuban sudah pecah menandakan sang bayi akan segera lahir. Lalu, suami macam apa aku? Sudah dua minggu aku tak pulang ke rumah karena harus mengurus pasien, sedangkan istriku ada di rumah dengan perut besar, sendirian, dan kini ia harus menahan sakit karena akan melahirkan anak pertama kami.
"...Tarik nafas panjang, kemudian keluarkan, Nia.., sabarlah...aku..," instruksiku dengan pikiran kalut. Aku bingung apakah aku harus pulang ke rumah dalam keadaan terpapar virus atau apakah harus menolong pasien yang sedang kritis di depan mataku? Oh, Tuhan!! Ini tak adil untuk Rania, istriku.
"Kak..., Ehm..., Aku tak apa-apa..., aku sudah menelepon Salwa untuk menemaniku ke rumah bersalin," ujar Rania dari seberang sana. Napasnya terdengar mulai normal. Atau jangan-jangan ia sengaja tegar di depanku?
"Rania...Rania Sayang, maafkan aku... aku... belum bisa menemanimu sekarang..., ada pasien gawat yang harus aku tangani dulu..., "kataku gagap. Setidaknya aku bisa berkata perihal masalah yang sedang kuhadapi saat ini.
Rania sepertinya terdiam menahan sakit. Atau... apakah ia marah karena jawabanku ini? Apakah dia marah kepadaku? Suami yang bodoh dan amatiran ini? Oh, tidak... Jangan-jangan ia akan membenciku setelah ini.
"... Tak apa, Kak Az, bereskan dulu pekerjaan Kakak ...uhhh... aku tak apa. Inshaallah, ..., semoga sukses, Kak... uhh...!!"
Kata-kata Rania seakan menjauh dari gendang telingaku. Hatiku hancur mendengarnya terpuruk. Kurasa aku sudah gagal menjadi seorang suami dan ayah bagi keluarga kecilku. Namun, bukankah selama ini Rania yang selalu setia mendukung karierku sebagai pelayan masyarakat? Sebagai seorang dokter? Sebagai dokter peneliti? Dia juga sudah pernah mengatakan bahwa profesi adalah impian yang harus diwujudkan?
Kesadaranku mulai terkumpul dan aku mengenyahkan pikiran negatifku. Aku harus segera membantu pasien yang sedang kritis ini dan bergegas mandi dengan antiseptik, memakai pakaian, dan tancap gas ke rumah sakit bersalin tempat Rania berada. Jadi, tak ada alasan bagiku untuk mengeluh.
"Sahla, bagaimana tekanan darah pasien?"
"Menurun, Far!! Ada komplikasi mungkin," respons Sahla semakin khawatir.
Aku melihat tekanan dan ritme jantung pasien, kemudian meminta tim perawat memberikan formula antivirus yang sudah ku ujicobakan bersama Alida beberapa waktu lalu.
"Kita lihat reaksinya...," ujarku kepada Sahla. Sahla mengangguk. Kami butuh waktu 30 menit untuk melihat reaksi pasien.
Pasien remaja itu terlihat lebih tenang dan sesak napasnya berkurang. Tekanan darahnya pun kembali normal setelah tiga puluh menit.
"Alhamdulillah... Azfar! Antivirusnya sepertinya berhasil!" Sahla kelihatan bahagia dari balik baju antiseptiknya. Airmatanya tak terbendung menahan rasa haru.
Aku mengangguk tanda lega. Namun, aku masih ragu bahwa antivirus yang diformulasikan itu bekerja maksimal saat ini. Meskipun begitu, aku sebagai manusia wajib bersyukur dengan reaksi antivirus yang sesuai dengan harapan itu.
"Alhamdulillah... Sahla, para suster! Terima kasih, semoga keadaan semakin membaik, amin..!"
Aku keluar dari ruang UGD isolasi dengan tetap memakai baju antiseptik. Kemudian, aku menuju kamar mandi dorm rumah sakit dan mandi dengan antiseptik. Kubersihkan tubuhku, rambutku, wajahku, dan ku berwudhu. Aku dirikan salat tanda syukur karena di antara puluhan pasien yang meninggal, masih ada satu pasien yang masih diizinkan bertahan oleh Tuhan subuh ini. Covid-19, penyakit dari virus korona ciptaan Tuhan, ternyata selain memberikan kepedihan, memberikan juga pengalaman dan rasa syukur.
Jam dinding menunjukkan pukul 4 subuh. Aku bergegas kembali ke instalasi gawat darurat untuk sekadar izin pulang kepada Prof. Hermawan.
Tiba-tiba...
"Dokter Azfar...! terima kasih, terima kasih!"
Ibu remaja tadi mendekatiku dan mencium tanganku. Aku pun kaget dan meminta ia tak melakukannya.
"Tak usah, Bu. Alhamdulillah, semua berkat Tuhan," timpalku. Aku tak lama berbincang dengan sang ibu karena aku harus mendampingi Rania melahirkan anak pertama kami. Aku bergegas ke parkiran rumah sakit universitas. Namun, di sana kulihat Sahla dan Anton sudah menunggu sambil tetap memakai masker.
"Jadi, kau yakin mau langsung ke rumah sakit bersalin?" tanya Anton dengan wajah agak lelah.
Aku mengangguk pelan. Aku tahu bahwa keduanya memerlukan klarifikasi lebih lanjut tentang formula antivirus yang sudah di-ACC negara. Namun, pagi ini kurasa rencanaku untuk rapat dengan mereka dan Prof. Hermawan meleset.
"Ya, aku harus bergegas. Oh, ya, soal antivirus Covid-19..," kataku ragu.
"Tenang saja! Aku sudah mendapatkan uji klinis dan formulanya dari Mbak Alida! Pagi ini kami bertiga akan rapat! Kau, pergilah secepatnya! Rania sudah menunggu!" potong Anton sigap.
"Pasti, kelahiran anak pertamamu nanti adalah kado terindah, ya, Far! Selamat, kamu memang pahlawan! Thank you, hero!" timpal Sahla dengan tawa renyahnya.
Aku tersenyum tipis. Mereka berdua sudah lelah berjuang sampai subuh, tetapi masih sempat-sempatnya mengucapkan selamat.
"Kita semua, Hero!" balasku seraya masuk ke dalam mobil kotaku yang mungil. Di dalam mobil, sambil menyalakan mesin, aku tertegun. Sebenarnya kata hero sama sekali tak tepat bagiku. Karena, mungkin aku bukanlah hero untuk Rania dan anak kami, dua orang paling penting bagiku saat ini.
Selesai
KAMU SEDANG MEMBACA
Covid-19 Sebuah Kisah
General FictionAzfar, seorang dokter peneliti, harus berjibaku mencari vaksin Korona. Ia bersama kedua temannya menghadapi tantangan berat setiap hari dengan kondisi tak menentu. Terlebih, istri Azfar sedang hamil tua. Dapatkah Azfar menghadapi dilemanya?