5. Kata Pergi

28.6K 5K 1.5K
                                    

Bagian Lima

Ternyata terlihat baik-baik saja di saat terluka, sangatlah tidak mudah—Laras

Sebenarnya kamu sudah lama pergi, aku saja yang masih sulit menerima kenyataan dan berharap bahwa semua hanya mimpi—Wira

-Pull String-

"Nanti biar derek aja ngambil mobilnya," Aku mencoba sekali lagi menghidupkan mesin mobil, dua kali mencoba, mobil itu tidak kunjung hidup.

Laras mendesah, kepalanya menoleh ke kanan kiri, seolah mencari transportasi yang bisa diandalkan dalam kondisi mendesak seperti ini.

Satu jam lalu, Laras mendadak menghubungiku, dia bilang bahwa mobilnya mogok di dekat Sarinah. Antara Sarinah dan kantorku memang tidak begitu jauh, makanya saat ia menghubungiku, aku langsung mendatanginya—untungnya kerjaanku sudah selesai dan sesuai jam pulang.

"Gue bisa antar lo pulang," tawarku.

Dia tidak menoleh, tapi gelagatnya yang terlihat menghindar. Aku paham bahwa dia kurang setuju dengan penawaranku.

Aku menutup kap mobil, lantas berdiri di sebelahnya. "Udah malam, Ras."

"Nggak apa, gue bisa sendiri." Meskipun mengatakan itu, manik mata Laras masih berada di handphone. Dari apa yang kuintip, dia sedang membuka aplikasi ojek online. "Makasih udah nolongin."

"Ras." Aku menyentuh lengannya, berharap agar ia menoleh kepadaku.

Karena gerakanku mengagetkan, Laras menjadi agak tersentak dan segera menggeser tubuhnya untuk memberi jarak.

"Oke," putusnya. Mungkin, ia melakukan itu karena tahu bahwa aku tidak akan menyerah sekalipun dia menolakku belasan kali. Sehingga, Laras memilih untuk menurut saja.

Aku menganggukan kepala, lantas berjalan duluan menuju motorku yang terparkir tidak jauh dari mobilnya. Untuk sehari-hari, aku memang lebih suka naik motor. Aku menoleh ke arah Laras dengan tangan yang mengansurkan helm untuknya. Beruntung aku selalu saja membawa helm cadangan, entah karena aku berfirasat bahwa hal ini akan terjadi atau memang karena  ini takdir.

"Sorry, nggak apa kan kalau naik motor?"

Laras tidak menjawab, tapi ia menyambut uluran helm yang aku berikan. Setelah mengenakan helm, ia segera duduk di boncengan. Sempat dia kebingungan, harus berpegangan dimana, dan aku membantunya untuk menahan sebelah tangannya di pundakku.

"Udah?" tanyaku.

Dia menganggukan kepala, memberikan jawaban iya atas pertanyaanku barusan. Segera saja, aku menghidupkan mesin dan melajukan motorku membelah jalanan kota Jakarta.

Seperti yang kupikirkan, Laras tidak berbicara sepanjang perjalanan. Matanya bahkan tertarik menyusuri jalanan yang kami lewati

Sebenarnya antara tempat mobil Laras mogok dan rumahnya tidak terlalu jauh, bersin sekali saja sampai. Aku perlu waktu untuk berbicara dengannya, makanya ketika sudah berada di blok kompleks perumahannya, aku sengaja membelokkan ke arah lain. Sudah kubilang... aku perlu waktu.

Sadar dengan apa yang kulakukan, Laras langsung melempar tatapan mendelik ke arah spion. Aku dapat menangkap itu.

"Rumah gue bukan di arah sini."

"Tahu kok."

"Terus kalau tahu kenapa tetap jalan, bukannya balik arah?" Meskipun terdengar menyindir, Laras mampu menyimpan kekesalannya dengan amat baik. Dia seolah menahan dirinya untuk tidak berdebat. Padahal, aku rindu berdebat dengan dia karena masalah-masalah sepele.

Pull StringTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang