Sudah dua belas jam aku terus terpaku didepan komputer sambil terus mengetik seperti orang gila.
Sekarang sudah pukul delapan malam, aku ingin segera pulang, kemudian mandi dan tidur. Tapi mau bagaimanapun aku berusaha, berkas- berkas ini seolah terus membelah diri.
Entah sudah berapa banyak makian yang kutujukan pada atasanku. Sadar bahwa atasanku tidak akan mendengarkan, aku beralih memaki seekor semut malang yang kebetulan melintas di mejaku.
"Bagus, sekarang aku mulai gila. Tinggal di sini lima menit lagi, dan aku akan mulai mengutuk semua semut yang ada di kantor ini." sambil berkemas, aku sudah membulatkan tekad untuk pulang sebelum seseorang membawaku ke rumah sakit jiwa.
Harus kuakui, selain sebagai bentuk pelampiasan, alasan lain aku memaki semut malang itu untuk menghilangkan rasa takut. Apa kaubilang? Penakut? Hei bung, coba bayangkan kau berada di ruangan gelap ini sendirian dan hanya ditemani seekor semut. Aku berani taruhan kau hanya mampu bertahan lima menit, dan sisa-sisa kewarasan akan menyuruhmu segera pulang.
Hal yang sama juga dilakukan oleh sisa kewarasanku ini. Dibandingkan takut dengan amukan serta ancaman si Pak tua itu, aku lebih takut dengan seseuatu yang tak kasat mata yang mungkin saja sedang tertawa senang melihatku lari terbirit-birit setelah mendengar suara glubug air galon.
Aku terus berjalan, (lebih tepatnya berlari) sambil terus membaca berbagai doa dengan panik. Untuk kesepuluh kalinya, aku menatap nanar sekeliling untuk meyakinkan diri kalau aku aman dari sesuatu.
Akhirnya, setelah berlari kesetanan selama lima menit, aku sampai di lobby. Dengan penuh kelegaan aku melangkah keluar saat sebentuk bayangan berdiri tepat di depanku. Seolah tertanam, kakiku hanya diam saat otakku terus meneriakkan kata lari.
"Dasar bodoh! Kau pasti lupa memakai kacamata mu, sampai kau mengira wanita secantik diriku ini setan." Dia menghentikan tawanya yang lebih mirip ringkikan kuda sekarat itu, dan beralih memelototiku,"Lagipula aku tidak habis pikir, sudah selarut ini dan kau masih bekerja? Coba pikirkan sedikit kantung matamu yang hitam itu!"
"Tentu saja, siapa lagi orang yang menginginkan aku mati selain kau. Belum puas membuatku gegar otak, kau malah ingin membuatku terkena serangan jantung." aku menatapnya jengah, ingin rasanya kutinju dia sampai kepalanya lepas.
"Aku tau tindakanku benar-benar kelewatan. Tidak seharusnya aku menuruti tipu muslihat Aefar. Tapi Adeline, aku sungguh menyesal, apa yang harus kulakukan agar kau memaafkanku?" setitik air mata jatuh, mengenai tanganku, dan segera kubersihkan dengan tatapan jijik.
"Kau mau tau cara agar aku memaafkanmu? Susul lelaki sialan itu, dan membusklah kau di penjara." aku menatapnya dingin sambil berlalu menuju halte.
Belum menyerah. Dia mengejarku. "Adeline, ini sudah larut. Bis yang biasa kau tumpangi sudah pergi dari setengah jam yang lalu. Pulanglah bersamaku, setidaknya kau tidak perlu berdiri sendirian di sini."
Mempertimbangkan kemungkinan aku akan sendirian di tempat gelap dan sepi ini, kuterima tawarannya itu meski harus menelan bulat-bulat semua ego ku, dan disambut cengiran lebar dari wajah menyebalkannya.
Aku baru mengenakan sabuk pengaman, saat dia dengan panik mencari-cari flasdisk-nya yang tertinggal. "Adeline kau tunggu dulu di sini ya, aku lupa mengambil flasdiskku yang tertinggal di meja kerjaku. A-aku akan segera kembali!"
Aku menyesal, kenapa kuterima tawarannya? Andai saja kutolak ajakannya, pasti sekarang aku sedang tertidur di kasur empukku sambil bergelung di dalam selimut kesayanganku.
Sudah sepuluh menit, dan batang hidung anak itu belum juga muncul. Dengan menelan keinginan membawa kabur mobil ini, aku beralih mengamati sekeliling. Mobil bernuansa hitam yang sangat tidak cocok dengan sifat nyentrik-nya itu.
Sebuah benda bersinar menarik perhatianku dari kegiatan memelototi setiap detail mobil ini. Benda itu tersimpan rapi di sebuah kotak bertuliskan punya Gretta, jangan diambil!, yang tentu saja kubuka dan kuambil. Ternyata isinya sebuah gelang. Gelang cantik bewarna silver, dengan bunga mawar yang di pahat di sekelilingnya.
Entah mantra guna-guna apa yang sudah dia berikan pada gelang ini, sampai membuatku menangis tersedu-sedu. Ada rasa rindu tak tertahankan di saat aku melihat sebentuk huruf "D" kecil di bagian dalam gelang ini. Tapi siapa? Siapa dia?
"Kau rindu padanya ya?"
Aku berjengit kaget, "Sejak kapan kau masuk?! Dan apakah kau kenal seseorang bernama "D" ini?! Cepat katakan! "
Kali ini giliran dia yang berjengit kaget, "Bagaimana bisa kau lupa padanya? Apakah efek benturan itu masih ada? Atau apakah kau belum pulih sepenuhnya?"
"Jangan banyak bicara dan katakan saja padaku siapa nama orang ini!" seruku tak sabar.
"David. Kekasihmu, David. Kau tidak ingat? Dia menghilang setelah kau kecelakaan" Gretta menatapku tak sabar.
Aku tidak lagi mendengar kalimat terakhir yang dia ucapkan. Karena otakku sekarang seperti tersambar petir, petir yang kembali membawa ingatanku tentangnya. Ternyata dia alasan di balik mimpi anehku selama ini. Dia alasan di balik aku begitu tergila-gila dengan biola, padahal aku tidak bisa memainkannya.
Sekarang aku berada di tempat yang penuh dengan cahaya dan kedamaian. Di sanalah dia, menyambut kepulanganku dengan senyuman hangat yang sama seperti dulu.
Meine wächterfee, David
Cerita ini telah sedikit saya revisi, dengan menambah dan mengurangi beberapa adegannya.
Tenkyu for reading ฅ'ω'ฅ
(。・ω・。) vote dan komennya jangan lupa ya wahai pembaca yang budiman
KAMU SEDANG MEMBACA
meine Wächterfee
FantasyIni tentang Adeline, si maniak nasi padang yang kehidupan damainya dirusak oleh lelaki absurd yang selalu membawa biola kemanapun dia pergi. Ini tentang si maniak nasi padang yang bertemu kembali dengan Wachfee-Nya.