Bagian 2

26 3 0
                                    

Hosh,, hoshh,, hoshh,,
  
    "Kevin? Kau kenapa?" Farell mengguncangkan tubuhku.
Keringat meluncur mulus dari pelipisku, mengguyur tubuh. Nafas masih tersengkal-sengkal. Kaki ku masih terasa pegal..

    Mimpi ?
    Aneh..
 
    "Apa kau mual?" Alis Farell saling bertautan.
  
    "Tak apa, cuma habis masuk ke alam bawah sadar." Kutunjukkan senyum kudaku.
 
    "Mengejutkan saja!" Ellen mencubitku dengan tangan dinginnya dan menggoyangkan kepalanya ke kanan dan ke kiri.
 
    "Sebentar lagi kita akan sampai. 10 menit lagi." Farell menatap jam tangannya.
  
    Kami habiskan 10 mnt ini dengan dolca (ngobrol) ngalor ngidul. Namun pikiranku terbang melayang entah kemana. Semua yang mereka katakan ku jawab sekenanya.
 
    Apa-apaan itu..

   Memikirkan apa aku sampai terjeblos ke alam mimpi yang bertolak belakang dengan suasana hari ini..

     lorong itu-
  
    "Lihat! Komidi putarnya besar sekali!"
 
    Jeritan Ellen berhasil menarik paksa pikiranku dan membuyarkan lamunanku. Untung saja tak ada sepasang mata yang yang memandanginya kecuali kami yg berada di sampingnya. Nampaknya para penumpang tak acuh dengan pekikan Ellen yg cukup mampu menggetarkan gendang telinga..

----------------------(>0<;)-------------------------

    Jeritan terdengar ke seluruh bagian wahana. Jeritan dari mereka yg sedang di jempalikkan rollercoster, dan wahana lainnya yg bisa menghentikan nafasmu sejenak. Mereka berlalu-lalang hilir mudik ke sana kemari dan memenuhi tiap sisi dan sudut.
   
    "Hmm,, dimana kita akan mulai?" Ellen tersenyum sini dan mengangkat salah satu alisnya.
   
    "Tunggu apa lagi? Cuss!" Farell bersorak.
  
     Kami menginjak setiap wahana yg ada, menjajalnya, dan mengurangi uang kami karenanya. Tawa riang menemani tiap langkah kami. Pikiranku tentang liburan musim panas yang membosankan perlahan sirna digantikan kebahagiaan yang kami habiskan disini tiap detiknya..
   
    Ada 1 hal yang membuatku merasa risih. Dapat ku rasakan sepasang mata selalu setia memandang kami mengikuti dimanaoun kami berada.
 
    Apa hanya perasaanku?
    Ada apa denganku? Halu ku terlalu tinggi.
    Dasar khayalanku.. batinku.
    .
    .
    Andaikan semua belum terlambat, aku tak akan beranggapan seperti itu dan tak menginjakkan kaki ku disini..
    .
    .
    .
    "Woy Kevin" aku tersentak, dan lagi-lagi lamunanku bubar begitu saja.
   
    "Diem-diem aja . Kenapa sih, kamu sakit ya?" Ellen mengerutkan dahinya membuat guratan seperti ombak kecil.
  
    "Enggak kok, nggak kenapa-napa" ku bentuk sebuah senyuman tipis.
  
    Sepertinya mereka nggak merasa ada yang aneh.
  
    "Mau istirahat dulu?" ajak Farell.
   
    "Ide bagus." Jawabku antusias. Mungkin aku hanya kelelahan.
   
    Kami putuskan berjalan mencari tempat istirahat. Toko es krim didekat kami menarik perhatianku. Tapi lumayan ramai yang mengantri. Tapi apalah daya timing nya pas sekali kalau makan es krim.
  
    "Eh, gimana kalau kita nongkrong di toko es krim itu?"
  
    Ellen dan Farell saling tatap menatap. Farell mengedikkan bahu.
   
    "Boleh" jawabnya.
  
    Kami memilih meja yang masih tersisa. Memasang posisi senyaman mungkin.
 
    "Mau pesan apa? Biar aku pesankan." Ku ajukan diriku.
 
    "Enggak usah, lagi enggak mau." Sahut Farell.
   
    "Aku juga enggak mau." Samber Ellen saat sadar mataku tertuju padanya.
 
    “Yakin? Biasanya suka banget kalo liat es krim.” Balasku.
   
    “Mmm, suka-suka lah.” Jawabnya.
 
     Kulangkahkan kaki ku menuju meja pesan. Kuperhatikan daftar menu yang tertempel.
Mmm, masa iya aku makan sendiri?
Kuputuskan mentraktir mereka, mungkin dompet mereka sudah mulai menipis?
   
    “Mas pesan satu mokacino, satu coklat chokocips, dan durian vanila”
   
    Hufftt, nggak enak..
    Pengen pulang
  
    Entah mengapa aku ingin cepat cepat pulang dan meninggalkan Happy Land ini. Aku pun sudah lelah ke mondar mandir kesana kemari.
   
    Kuterima es krim yang mengepul di tangan ku dan kembali ke meja.
  
   “Tadaa! Aku traktir deh.” Pekik ku sembari menaruh es krim es krim itu.
 
   “Dah aku bilang nggak mau masih aja di pesan kan.” Farell menghela nafas
  
    “ Enggak apa-apa makan aja.” senyum ku muncul.
.............
   
    Kutatap es krim coklat dengan toping chokocips ditemani balutan susu coklat di atasnya. Kabut tipis mengepul menerpa wajahku dan cukup membuatku merasa sejuk. Kualihkan pandanganku ke kedua sahabatku yang sedang bercakap cakap sendiri sampai mereka blm menyentuh es krimnya sama sekali. Senyum tipis tercoret di wajahku. Aku senang bisa bersahabat dengan mereka berdua. Aku sangat ingat bagaimana pertemuan kami saat MOS..
 
    Saat itu aku sedang dibentak-bentak gara gara aku tidak sengaja menumpahkan es milik kakak kelas, Ellen yang saat itu sedang lewat dan menyaksikan ini tiba-tiba menghampiri kami. Dengan berani ia membentak balik kakak kelas itu dengan galak khasnya.
 
    “Heh, mentang-mentang kakak kelas jadi seenaknya maki-maki adek kelas. Lagi pula dia enggak sengaja. Berapa sih harga es itu? Sini aku ganti kalo enggak ada uang. Gitu aja kok ribet.” Ketusnya sembari menunjuk-nunjuk.
  
    Tapi apalah daya? Kakak kelas tetaplah kakak kelas. Kami pun dihukum untuk membersihkan toilet yang ada di halaman belakang. Sungguh baunya dapat mencekik.
  
   Lalu dengan Farell?
  
   Masih di kejadian yang sama dan hari yang sama.
  
    Saat sedang serius mengepel ditemani menggibah kakak kelas tadi, dengan santainya aku menyiram air kotor ke halaman, di saat yang bersamaan ada orang yang lewat dan siapa lagi kalau bukan Farell. Pada saat itu dia sama baunya dengan toilet. Bukannya meminta maaf, kami malah tertawa terbahak bahak daiatas penderitaan orang lain.
   
   “Mas bro, ngelamun lagi? Ada masalah? Cerita aja, kan kita sahabat.” Lagi lagi Ellen membubarkan lamunanku.
   
    “Tidak, tiba-tiba aja flashback. Apa kalian ingat saat pertama kali kita bertemu?” kutatap kedua sahabatku. Mereka saling tatap menatap.

    “Mmm,, ehem,, ya aku ingat.” Farell mengarahkan pandangannya ke bawah.

    “Ada apa? Aku tahu, kau pasti masih trauma dengan kejadian itu kan?” aku tertawa lepas sendiri.

    “Bagaimana perasaanmu waktu itu?” aku tak kuasa menahan tawa.

    “Perasaan? Mmm,, ya, senang lah.” Ia tersenyum simpul.

    “Senang? Apa kau lupa? Waktu itu-“

    “Ah ayolah sudah. Kita lanjutkan bermain saja.” Ellen memotong pembicaraanku dengan paksa.
  
    Kupandang es krim mereka. Kini sudah menjadi air dengan rasa yang tercampur aduk. Sepertinya mereka tak menyentuhnya sama sekali. Biarkanlah tak perlu dipermasalahkan.

    Aku izin untuk ke toilet dulu sebab sedari tadi ada keperluan pribadi yang sedari tadi tertahan.
   
    Gubrak!
  
    Terdengar suara barang tertendang dari luar bilik toilet.
  
    Siapa?

    Ku buka pintu bilik dan mengintip memastikan ada siapa.
 
    Nihil. Tak ada siapapun disini selain aku, yang kutemukan hanya sampah di bawah wastafel yang berserakan.
 
    Siapa yang menyenggolnya?

    Sepertinya dari tadi tak ada suara langkah orang masuk ke toilet. Kuangkat bahuku. Aku tak akan mempermasalahkannya jika aku tak melihat sesuatu di kaca.
   
    Sesuatu yang dapat mengangkat bulu kudukku. Dan memberontakkah denyut jantungku. Sesuatu berwarna merah tergores disana. Memberikan noda pada cermin itu.

   ‘Permainan belum selesai. Siapkan nyalimu, selamatkan nyawamu.’

Orang jahil mana yang mau membuat lelucon seperti itu? Batinku
.
.
.
.
  Aku sungguh menyesal tak mengindahkannya kala itu
.
.
.
---------------------------(ᵔᴥᵔ)-------------------------

Terimakasih buat teman teman yang masih melanjutkan membacanya. Semoga bisa memberikan sedikit hiburan #dirumahaja. (~‾▿‾)~

Nantikan cerita selanjutnya ya,

Oh iya jangan lupa masukkan ke daftar bacaan, vote, komen, dan mengikuti🥺..

Maksihh (。•̀ᴗ-)✧

Play To DieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang