2.

20 4 1
                                    

Sudah tiga jam Diana berada di pesawat, di samping terlihat papanya sedang tertidur sangat pulas.

Diana mengalihkan pandangannya menatap langit biru lewat jendela pesawat. Dirinya berdiam diri menikmati pemandangan indah diluar sana, dan dengungan hebat yang sedari tadi didengar olehnya.

Sebenarnya Diana sangat terganggu, tetapi apa boleh buat, tidak mungkin kan Diana akan berteriak di dalam pesawat hanya karena dengungan yang sangat mengganggunya.

Akhirnya, Diana memutuskan untuk memejamkan matanya, berusaha memanggil mamanya untuk hadir ke alam bawah sadarnya. Mungkin dengan bermimpi Diana akan sedikit menghilangkan rasa rindu itu.

***
Sudah lebih dari dua belas jam perjalanan Diana dan papanya dari Jerman ke Indonesia, akhirnya mereka sampai di bandara soekarno hatta. Tepat di ibu kota negara ini, yaitu Jakarta.

Sudah lama sekali Diana tidak menginjakkan kaki di kota jakarta. Hmm... Mungkin sudah hampir 5 tahun Diana tidak ke negara kelahiran papanya nya ini.

Walaupun sudah malam begini, tetap saja kota jakarta masi sangat ramai seperti saat terakhir kali dirinya ke kota ini.

Diana menatap papanya yang tersenyum, mungkin papanya juga rindu dengan negara kelahirannya. Hanya papanya lah hampir setiap tahun datang ke Indonesia, bukan untuk berlibur tetapi mengurus perusahaan nya yang ada di negara ini.

Diana sedikit bahagia melihat wajah papanya yang seperti itu, bagaimana pun keadaanya sekarang wajah itu tetap memancarkan senyuman.

"Ayo sayang kita keluar, pak jono sudah menunggu kita." ajak papanya.

Diana yang mendengar itu hanya mengangguk mengiakan.

Setelah berjalan beberapa langkah sambil menyeret koper,  pak Jono. supir mereka,  sudah tiba menunggu mereka di lobi bandara.
Saat pak Tian dan Diana sudah terlihat olehnya, langsung saja Pak Jono meraih koper Diana dan papanya kemudian menyeret nya menuju mobil mewah yang terparkir tidak jauh dari depan lobi.

"Gimana pak, capek tidak perjalanannya?." ucap Jono mencairkan suasana.

"Sedikit pak, udah agak pegel juga nih punggung."

"Nanti sampe rumah langsung olesi minyak aja pak, saya punya tuh minyaknya kalau mau nanti saya kasi." tawar jono menyarankan Tian.

"Boleh juga tuh,"

"Yauda nanti sekalian saya urut kan juga gapapa pak."

"Memang kamu bisa?"

"Bapak meragukan saya?"

"Haha tidak kok pak saya hanya bercanda." jawab Pak Tian tertawa sambil merangkul supirnya itu.
Kedekatan mereka memang sudah tidak dipungkiri lagi, pasalnya pak jono sudah menjabat sebagai supir keluarga Diana sudah lebih dari 10 tahun di Indonesia. Maka dari itu tak heran jika mereka sudah seperti saudara.

Diana yang mendengar itu membuat bibirnya sedikit terangkat, ia senang papanya masi bisa tertawa.

"Non Diana pegel juga tidak?."

"Tidak kok pak." jawab Diana seadanya tersenyum kecil.

Jono yang mengerti keadaan majikan nya itu hanya tersenyum mengerti. Melihat pak Tian tertawa saja sudah sangat bersyukur untuknya.

Tak terasa sudah dua puluh menit perjalanan dari bandara ke rumah baru mereka.

Diana dan papanya turun dari mobil.

Diana menatap rumah itu, rumah baru dan Pasti akan ada suasana baru juga. Rumah megah itu sama sekali tidak terlihat sama dengan rumah lama mereka, dimulai dari desainnya dan juga letak yang berbeda, sangat berbeda.
Namun hanya satu yang sama, halaman rumah ini dipenuhi oleh bunga yang disukai oleh mamanya, Bunga Matahari. Bunga yang mengartikan kecerahan setiap saat.

"Ayo masuk Diana." ajak pak Tian.

"Iya pa."

Diana dan papanya melangkahkan kaki memasuki rumah baru mereka.
Keduanya disambut hangat oleh seorang perempuan yang sudah sedikit tua, mungkin pembantu baru mereka.

"Selamat malam tuan," sapa nya tersenyum hangat.

"Selamat malam juga." jawab pak Tian yang juga tersenyum.

"Sayang ini Bi Ijan, pembantu baru kita. Semoga kamu suka ya,"

"Ini yang namanya non Diana?" tanya pembantu nya itu.

Diana yang merasa di tanyai mengangguk tersenyum, mengiakan perkataan pembantu barunya.

"Wah cantik banget kamu, ternyata benar yang dikatakan kata Pak Jono." kagum Bi Ijan pada wajah Diana yang seperti Bule pada umunya dan tanpa segan memegang pipinya seperti anak sendiri. Pak Tian tidak terkejut, beliau hanya tersenyum melihat itu.

Diana tersenyum atas pujian Bi Ijan, pujian yang tulus. Aura ibunya seakan kembali dihadapannya.

"Kamu bisa bahasa indonesia?." tanya Bi ijan melepaskan tangannya dari pipi Diana

"Bisa kok Bi,"

"Yasudah saya masuk ke kamar dulu ya bi, tolong antar kan Diana ke kamarnya." perintah pak Tian.

"Baik Tuan," jawab Bi Ijan mengangguk.

"Ayo non Diana, Bibi antar ke kamar," ajaknya sambil menyeret koper milik Diana.

"Panggil Diana aja bi," Bi Ijan mengangguk mengiakan.

Setelah menaiki tangga, mereka berdua sampai Di kamar baru itu. Bi Ijan membuka pintunya, menyuruh Diana Untuk masuk.

"Ayo nak Diana masuk,"

"Iya Bi,"

Diana menatap isi kamar nya, warna dinding yang bernuansa abu-abu kesukaannya. Ternyata kamar Diana yang baru ini hampir sama seperti kamar lamanya yang di Jerman, tidak banyak perubahan. Papanya sangat tahu selera Diana seperti apa.

"Saya pergi dulu ya nak Diana," ucap Bi Ijan ingin pamit.

"Oh iya Bi,"

"Nanti kalau ada perlu panggil aja bibi di kamar bawah,"

Diana mengangguk mengerti. Diana meletakkan kopernya di samping lemari, dan langsung duduk di kasurnya menatap sekali lagi isi kamar nya ini.

"Cantik," ucapnya tersenyum.

_____

Ig: Juliarahma.22

















DIANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang