3

6.6K 408 30
                                    


.

"Oh, Hermione!" Ginny berlonjak kaget ketika berpapasan dengan Hermione di pintu masuk asrama, membuat keduanya nyaris tergelincir tapi untung saja tidak terjadi. "Apakah kau baik-baik saja? Mukamu sangat merah. Kau demam?"

Wajah khawatir Ginny membuat perasaan bersalah menggerogoti, teringat Harry kerap menyebutkan nama gadis Weasley dalam beberapa kali kesempatan untuk meminta saran dulu. Faktanya beberapa saat lalu terjadi sesuatu antara dirinya dengan Harry di lorong menuju asrama. Hermione tidak bisa menyangkal dengan berpura-pura menganggap tidak terjadi apa pun. Terlebih itu pengalaman pertama dengan dirinya sebagai pencetus gagasan. Hermione tidak sanggup menghadapi gadis itu terlalu lama, karena itu dia hanya menggeleng singkat lalu berpamitan pergi ke kamar lebih dulu.

Lupa masih mengenakan sepatu, Hermione melompat menyeruak ke dalam selimut di atas tempat tidur. Gadis itu berguling-guling tidak karuan meredam jeritan tertahan di bawah bantal, terhenti setelah sadar belum memastikan kondisi siapa saja penghuni kamar saat ini. Wajah Hermione menyembul dari balik selimut, memeriksa ruangan lalu menghela napas lega setelah dipastikan hanya dia sendiri yang berada di sana. Tubuhnya berguling berbaring santai menghadap langit-langit dengan kedua kaki menggantung di sisi tempat tidur, berusaha mengendalikan rona merah yang selalu gagal karena peristiwa di lorong terus berulang di kepala.

Keduanya tentu sudah memerah gila saat Hermione menjadi orang pertama mencetuskan ide yang selama ini mereka tahan di kepala. Enggan, tapi begitu menginginkannya. Itulah sebabnya tidak ada satu pun yang mengambil langkah mundur ketika keduanya sudah mengambil jarak mendekat.

Mula-mula Harry mencondongkan wajah, hanya sekedar wajah karena takut memiliki efek yang lebih gila bila tangan mengikuti perintah untuk lebih berani bergerak menyentuh jemari. Hermione mengikuti alur dengan memejamkan mata untuk sejenak—kembali membuka karena tentu ragu menyelinap di benak, begitu pula pergerakan maju Harry yang tersendat-sendat. Ragu-ragu, tapi tetap tidak ada tindakan mundur.

Jantung berpacu, panas merambat memikirkan betapa dekat mereka. Tangan Hermione menyerah—meraih jubah Harry dengan alasan untuk menyelamatkan diri mencegah tidak meraih jemari pemuda itu, cengkeramannya menguat merasakan detak jantung Harry berdetak kencang di balik jubah menyerupai miliknya seiring kian dekatnya wajah. Mata tertutup rapat dengan antisipasi. Napas tersengal begitu jarak menipis, hangat menerpa wajah masing-masing tahu apa yang di mulai tidak bisa dihindarkan. Mereka akan berciuman.

"Lima poin dari Gryffindor karena menunjukkan kasih sayang di depan umum."

Hermione menjerit tanpa sengaja mendorong Harry begitu mendengar suara Minerva McGonagall—kepala asrama Gryffindor—menyela keteganggan. Panik kedua tangan gadis itu terangakat seakan memberi isyarat penyangkalan. Harry sendiri tidak jauh lebih baik, pemuda itu kikuk mebenahi jubah terbawa panik sahabatnya.

"Profesor McGonagall, itu tidak seperti yang terlihat," Hermione mengutuk diri sendiri karena seharusnya mengeluarkan suara lebih tenang, tapi yang terjadi—suaranya malah nyaris tercekik di tenggorokan.

"Ya, Profesor. Kami tidak berniat melakukan apa pun," timpal Harry yang malah memancing senyum geli Minerva McGonagall.

Kepala asrama sekaligus guru sihir Hogwarts itu menahan tawa menggeleng-gelengkan kepala. Tidak menaruh curiga apa penyebab sebenarnya sahabat yang begitu dekat bisa menjadi intim, karena yah—McGonagall tahu ada banyak potensi bagi Harry dan Hermione untuk terlibat dalam hubungan romantis. Jadi, bijak McGonagall menarik diri—memilih pergi meninggalkan kedua murid kesayangannya untuk menyelamatkan mereka dari rasa malu yang lebih banyak. Setidaknya McGonagall percaya Harry dan Hermione tidak akan mencoba melakukan pelanggaran lagi dalam waktu dekat karena terlampau malu.

PotionsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang