Matanya bengkak.
Kurasa aku tak sadar saat melukainya tadi.
Airmataku turun tanpa sadar melihat kondisinya.
Kenyataan menamparku karena aku masih berani mengkhawatirkannya.
Aku mengikutinya kemanapun.
Jejaknya tanpa tahu telah bersatu dengan jejak sepatu ukuran 42 yang aku pakai.
Sudut hatiku terus menerus berharap kesedihan yang aku bubuhkan padanya tidak berpengaruh dengan masa depannya.
4 hari berlalu.
Hari ini sudah ke-3 kalinya aku menunjukkan keberadaanku dengan wanita yang berbeda-beda didepannya.
Dia semakin acuh tak acuh, semakin handal tak menghiraukan eksistensi diriku.
Aku mulai tersenyum bangga.
Memang seperti ini seharusnya.
Sejak awal kamu tak pantas menaruh rasa pada lelaki brengsek sepertiku.
Dan kamu tak perlu sibuk berusaha menjadi peran dalam kisah masa depanku yang hancur ini.
Tahun berlalu dan aku semakin terpuruk.
Kabarmu terus saja mengalir menjadi setitik oasis di padang gersang milikku.
Aku menatap pantulan diriku di cermin kamarku yang sunyi.
Setelan jas terbalut pas di tubuhku yang semakin kurus.
Hari ini tepat 4 tahun sejak aku tak lagi bisa melihat keberadaanmu secara langsung.
Dan hari ini aku akan bermain peran menjadi seseoarang yang baik-baik saja setelah meninggalkanmu.
Pesta reuni penuh dan terasa sesak untukku.
Diantara ramainya alumni angkatan, aku melihatmu.
Wajah dewasamu mencerminkan kabar baik yang selalu datang padaku.
Dari sekian banyak perubahanmu, senyum lebar yang terpulas indah di kanvas wajahmu tetap saja seindah dulu.
Ya, sepertinya sudah cukup.
Aku sudah menemukan dan melihatmu langsung.
Aku pergi.
Dan untuk yang terakhir kalinya,
Aku masih saja menyukaimu.
Sekali lagi, untuk akhir yang benar-benar akan berakhir.
Jaga dirimu baik-baik. Temukanlah seseorang yang bisa memuatmu bahagia sepanjang masa hidupmu.
Semoga umurmu sepanjang yang aku harapkan.