11 - Déja Vu (A)

4 1 0
                                    

Saat itu langit sangat cerah. Segerombolan burung terdengar sedang bernyanyi menyambut indahnya hari. Sudah beberapa hari tanah Jawa tidak diguyur hujan. Maka dari itu, Bima mengajak gadis pujaannya untuk berkeliling melepas penat.

Keduanya melewati sebuah rumah yang dipenuhi dengan berbagai macam bunga. Sejenak, mereka menghentikan langkah.

"Indah." Bima melirik gadis di sampingnya yang sedang tertegun.

"Sama sepertimu," sahut Bima membuat rona merah pada pipi gadis itu. "Kau mau bunga itu?" lanjutnya.

Gadis itu menggeleng pelan. "Tidak. Biarkan mereka tumbuh dan tidak tersentuh oleh manusia."

Bima mengerjapkan matanya, lantas baru saja dia memimpikan Laras. Kenangan itu pernah ia lalui dahulu. Saat itu, Bima menawarkan bunga pada Laras, namun gadis itu menolaknya. Oleh karena itu, Bima melukis bunga asoka sebagai pengganti bunga yang sebenarnya.

Mimpinya seolah peringatan bahwa jauh di sana, ada seseorang yang mungkin menunggunya. Bima penasaran, apakah gadisnya itu memimpikannya juga? Bukankah mimpi adalah alternatif untuk mengobati rasa rindu?

Bima melirik jam dinding yang sudah menunjuk pukul tujuh. Hari ini dia berencana untuk pergi menemui Pramudya ditemani Freya. Akhirnya, Bima beranjak untuk membersihkan tubuhnya. Sejenak Bima melirik lukisan bunga asoka yang didapatinya di candi Dukuh beberapa saat lalu. Jika dikaitkan dengan mimpinya barusan, mungkin itu bukan petunjuk untuk lukisan selanjutnya, karena lukisan bunga asoka tersebut telah ia dapatkan.

***

Freya menghabiskan malam hanya untuk bercerita bersama Bima. Kini dirinya sudah menguap berkali-kali. Segelas kopi yang ada di genggamannya, tidak mempan untuk menahan kantuknya. Saat itu, matahari mulai terasa terik, padahal jarum jam masih di angka sembilan. Freya duduk di tempat mang Ujang berjualan untuk menunggu Bima. Semalam, Freya menceritakan dirinya bahwa sudah berhenti dari pekerjaannya. Oleh karena itu, Bima mengajaknya untuk menemui Pramudya, untuk membahas proyek terbarunya.

Beberapa saat kemudian, seseorang menghalangi sinar matahari yang menyorot ke arah Freya. Tubuh tingginya benar-benar melindungi Freya dari panas. Sambil tersenyum, orang itu memasukkan kedua tangan ke dalam saku jaketnya.

"Ngapain, Freya?" Freya menggosok matanya untuk melihat jelas siapa yang mengajaknya berbicara.

"Oh Ian? Lagi nunggu Bima," timpal Freya sambil berdiri. "Tuh orangnya," lanjutnya sambil melihat ke arah tangga. Tampak Bima turun dari tangga dengan menggunakan kaos putih yang dibalut dengan kemeja hitam yang tidak dikancing, bawahannya menggunakan ripped jeans, dan tak lupa topi bucket yang membuat Freya tidak percaya bahwa orang itu berasal dari masa lalu. Freya tertawa kecil membayangkan Bima masih menggunakan pakaian dari tempatnya berasal.

"Pagi, Bim." Sapaan Septian membangunkan Freya dari lamunannya.

"Pagi, Ian, Freya." Bima menyapa keduanya.

"Kalian mau jalan?" tanya Septian tiba-tiba.

"Ah.. ada beberapa hal yang harus diurus," timpal Bima.

"Awalnya gue pikir kalian pacaran," ujar Septian yang mendapat tatapan tajam dari Freya.

"Oh... enggak, ya? Tapi cocok. Ya udah gue berangkat duluan ya," ucap Septian sambil melambaikan tangannya.

Freya meremas kemasan kopinya yang sudah habis. Septian berkata seperti itu membuatnya canggung sekali. Bima yang merasa gadis di hadapannya diam saja, lantas membuka suara.

"Masih ngantuk, Freya?"

"Hmm... enggak kok. Yuk berangkat."

Tidak perlu waktu satu jam untuk sampai di Museum milik Pramudya. Tepat di depan pintu masuk, Pramudya sudah berdiri untuk menyapa Bima dan Freya. Keduanya tersenyum sambil melambaikan tangan, lalu masuk ke dalam ruangan. Pramudya menjelaskan rencana mengenai galeri untuk memajang karya Bima. Sebelumnya Bima mengatakan kepada Pramudya, bahwa Freya akan membantunya dalam mewujudkan proyek terbarunya. Hari itu pun diisi dengan berbagai diskusi seputar proyek galeri.

G R A D A S ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang