Langkah Sinb membawanya ke sebuah gedung tua terbengkalai di sudut kota. Sudah lama ia tidak mengunjungi tempat pelariannya itu, gedung bertingkat yang pembangunannya terpaksa dihentikan karena kekurangan dana. Disanalah tempat Sinb berbagi keluh kesah bersama Seungcheol, si pria yang tersenyum bodoh sebelum ia pergi.
Sinb menaiki satu per satu anak tangga menuju lantai paling atas. Ia kembali teringat saat pertama kali Seungcheol mengajaknya kesana, pertama kalinya Sinb kabur dari rumah. Mereka berbagi cerita semalaman lalu pulang pagi harinya dan mendapat segudang omelan dari wanita yang mereka panggil mama.
Seungcheol memang bukan kakak yang baik. Tapi Sinb tahu Seungcheol menyayanginya selayaknya kakak pada umumnya. Seungcheol yang peduli disaat mama hanya mementingkan karirnya. Seungcheol yang menghiburnya disaat papa lebih memilih hidup bahagia bersama keluarga kecil barunya. Sinb bersyukur memiliki Seungcheol di sampingnya. Tapi sekarang Seungcheol juga pergi meninggalkannya.
Sinb tersenyum pahit. Langkahnya terhenti begitu sampai di tepi gedung. Ia mendongak menatap langit sore yang berwarna kelabu. Semilir angin berhembus menerbangkan beberapa helai rambutnya yang tergerai.
Sinb sudah memutuskan untuk pergi menyusul Seungcheol. Ia melangkahkan kakinya membiarkan tubuhnya terhempas angin dan terjun bebas dari atas gedung. Namun sebelum semua itu terjadi sebuah tangan dengan cepat menariknya ke belakang dan menjauhkannya dari tepian gedung. Tangan itu mendekapnya, memeluk erat tubuh kurus Sinb.
Sinb hanya diam. Sinb tak tahu siapa. Sinb tak mengenal wangi parfum dihirupnya, dan tak ada bau tembakau yang dibencinya seperti setiap kali Seungcheol habis merokok.
"Yak! Kau sudah gila?!"
.
.
.
_____
double up yeay :)
nulis apa dah ini