CHAPTER 1

1.1K 173 1
                                    

20 Tahun Kemudian, Tokyo, The Ritz-Carlton

Naruto tidak bermaksud untuk bersembunyi, tapi lebih tepatnya dia pergi ke bar di lantai 45 untuk menghindari sekumpulan manusia tidak berguna. Ia sulit memilih perumpamaan yang tepat. Baginya teman-temannya saat SD dan SMP, isinya para penjilat mencari muka. Mengompori dirinya untuk marah kepada teman sejawatnya.

Meskipun kejadiannya telah berlalu, tetapi rasa sakit menjadikan Naruto enggan kembali berkerabat dengan yang lainnya. Cukup baginya hingga hari ini, Sasuke dan Gaara menemaninya. Mengajari banyak hal tentang kehidupan para taipan tersohor. Sebelum meneguk wiski yang dipesan olehnya. Naruto membalas pesan kedua teman baiknya. "Aku ada di Bar lantai 45, tolong jangan suruh aku datang ke sana sekarang. Aku muak." Begitu sudah dikirim pesan itu, ternyata temannya ada di belakang dirinya duduk-duduk di kursi bartender.

Gaara Sabaku. Pria berambut merah yang terkenal pemberontak karena anak bungsu. Ibunya si pembela sejati. Maka wajar pada akhirnya Gaara memiliki dua puluh gerai kopi dan uang sendiri untuk berfoya-foya.

Gaara melirik ponsel. Pesan telegram masuk dari temannya. "Oh, kau membalasnya, padahal aku di sini."

"Kau tidak bilang akan pergi ke sini."

"Aku tahu, kau butuh minum kalau berurusan dengan masa-masa kecil kita." Gaara mengambil duduk di kursi sebelah Naruto. "Aku akan menemanimu. Karena aku juga sudah muak ketika mereka malah membahas pekerjaan, investasi, saham, pialang mereka. Apa-apaan itu." Naruto mengulum bibir bawahnya, ia malah tidak jadi minum wiski. "Reuni sekolah harusnya mengingat masa lalu yang menarik. Apalagi kita tinggal di asrama."

"Tidak ada yang menarik, kurasa."

"Benar, tidak ada yang menarik dari masa-masa kecil kita. Anak seusia kita pada waktu itu harusnya bermain pasir dan pergi ke kebun untuk mencari capung. Tapi yang kita lakukan belajar, belajar, belajar. Membaca buku yang harusnya dilakukan orang-orang dewasa dengan isi yang amat berat."

"Mempelajari etiket dan cara makan yang benar." Naruto menambahi. "Cara bersikap selayaknya bangsawan. Duh, padahal kita bukan pangeran."

Gaara menoleh. "Sepertinya hanya kau yang dapat didikan itu ketika usiamu menginjak 10 tahun."

"Seandainya tiba-tiba nenek tidak meninggalkan aku. Mungkin aku tidak akan pernah ada di asrama itu, dan bertemu banyak anak-anak tidak tahu diri seperti mereka." Gaara memesan koktail. Begitu pesanannya datang dia mencicipinya sedikit. Ia tidak mau menghabiskannya ketika obrolan di sini belum usai. "Sasuke di mana?"

"Masih ada di sana, karena tunangannya tidak mau pergi."

"Dia mengajak tunangannya?"

"Ya, karena teman Sakura berpacaran dengan alumni dari sekolah kita. Gadis itu masih senang di sana padahal pacarnya sudah ingin kabur saja dari tadi. Bisa apa Sasuke. Kakeknya mungkin akan marah kepadanya kalau membiarkan Sakura di sana sendirian."

"Uchiha memang tidak bisa hidup tanpa Haruno." Ejek Naruto. Namun sebenarnya dia agak menyesal untuk mengatakan demikian. Kalau saja di sini ada Sasuke, Naruto tentu saja tidak akan berani untuk mengatakannya. Karena Sasuke mungkin bakal tersinggung.

Jika mengingat tentang kakek Sasuke. Pria tua itu memang secara terang-terangan akan menunjukkan ketidaksukaannya. Jenis-jenis taipan selalu diseleksi sebelum masuk ke rumahnya atau mengajak para cucunya berteman.

Kakek Sasuke tidak mau bergolongan dengan jenis orang kaya baru. Ia lebih menyukai sesuatu yang dapat membesarkan dinasti keluarganya. Tipe ambisius dan hampir selalu memiliki niat terselubung.

Masalah terberat bagi Sasuke yang pada akhirnya tidak punya teman, karena Madara Uchiha tidak suka kalau cucunya mengajak teman ke rumah, apalagi tidak sesuai dengan kriteria pria tua itu. Tidak ada waktu sejam bermain bersama, teman-teman Sasuke bakal disuruh pulang.

How to Buy a Wife Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang