𝘴𝘩𝘦 𝘸𝘢𝘴𝘯'𝘵 𝘢𝘴 𝘪𝘯𝘯𝘰𝘤𝘦𝘯𝘵 𝘢𝘴 𝘴𝘩𝘦 𝘵𝘩𝘰𝘶𝘨𝘩𝘵
*
Keadaannya tidak pernah berubah.
Walau Miya Osamu berharap dia bisa sedikit menurunkan ego, nyatanya pikiran pria itu bukanlah sebuah labirin kompleks penuh pertimbangan. Hanya jalan lurus tanpa belokan; tidak ada jalan berbalik atau instruksi mundur beberapa langkah.
Pikirnya, "Persetan dengan tertolak dan biarkan hatiku membusuk saja bila perlu-hatiku bukan kesempatan dan tertolak bukanlah perwujudan atas [Name]." Maka persetanlah dunia, Osamu benar-benar berusaha.
Beberapa minggu setelah pertemuan terakhir mereka, Miya Osamu mendengar kabar-kabar dari angin yang berlalu-lalang. Tentang [Name] yang memenangkan lomba biolanya, tentang Osamu yang terlihat sengsara, dan tentang [Name] yang memiliki tersangka pasangan barunya.
Kalau dihunjam tidak cukup, berarti sederhanakan saja. Hati yang Osamu miliki bukan terhujam oleh kenyataan, namun tertusuk oleh praduganya sendiri. Dia pikir, [Name] benar-benar memaafkan dirinya sehingga gadis itu mau-maunya menjelaskan status hubungan mereka. Namun kenapa [Name] malah bahagia?
Apakah membuang kenangan sama halnya dengan melepehkan kepedihan atas kehilangan?
Bukankah [Name] terlalu kejam untuk menjadi nyata?
Miya Osamu hampir-hampir lupa bahwa di dalam otaknya, tidak ada instruksi untuk menyerah. Bahwa hatinya sudah membusuk dan siap untuk dibawa berperang. Bahwa dia masih ingin berjuang dan memperbaiki keadaan.
Omong-omong, dia juga melupakan diri bahwa dia adalah manusia yang bisa patah hati. Bahwa dunianya tidak bergantung hanya kepada [Name] dan bahwa dia berhak untuk membenahi diri.
Hanya karena Osamu percaya bahwa kesalahan yang dilakukannya adalah pertanda bahwa dia lebih hina daripada manusia lain. Hanya karena Osamu percaya bahwa [Name] bisa membawanya ke ranah yang lebih baik-hanya karena [Name] memberikannya kesempatan untuk berpikir, untuk berempati, dan untuk memperbaiki pribadi.
Namun keadaannya tidak pernah berubah.
*
"Sam! Pulang! Apa yang kau lakukan tengah malam begini? Kenapa tidak berada di rumah?"
Pernah terpikir bahwa [Name] masih menganggapnya ada. Namun pikiran seperti itu hanyalah tipikal harapan-yang selalu menumbuhkan benalu hanya untuk dimusnahkan kenyataan. Benar begitu, Miya Osamu kembali meminum minumannya. Berpesta ria, riang, dan gembira.
"Kau tau kisah tentang Romeo dan Juliet, [Name]?" tanya Osamu di tengah-tengah sadar dan tingginya. Pria itu tersenyum layaknya bocah lima tahun yang mendapatkan balon, sambil terkikik layaknya seorang kakek-kakek yang mengingat masa lalu penuh cerita. "Kau menyukai kisah romantis seperti itu, kan?"
Lagi, [Name] mengernyitkan keningnya. Osamu tidak suka bila wajah manis [Name] harus ditumbuhi kerutan tidak bermakna. Pria itu mencium kening gadis di hadapannya─hanya untuk mendapatkan angin karena seperti sewajarnya, gadis itu jijik kepada pria mabuk dan brengsek yang senang berpesta ini.
"Sam, pulang. Aku tidak bisa berhenti khawatir saat Atsumu bilang kalau kau belum kembali ke rumah." Ada getaran tidak indah di dalam melodi suara [Name], getaran yang hampir pecah selayaknya air mata yang menumpuk di pelupuk.
"Heeey, kau belum menjawab pertanyaanku, [Name]." Diminumnya lagi gelas dengan campuran alkohol berlebih. Tangannya terangkat, sedangkan wajahnya menatap [Name] dengan fokus. Semua orang yang tengah berbahagia palsu di samping mereka terhiraukan, [Name] fokus menarik botol di tangan Osamu. "Kau suka dengan kisah tragis seperti itu, kan? Yang dikatakan klasik, padahal berisikan dua mayat."
"Osamu kau mabuk."
"Kalau kau benar-benar menyukainya-" Osamu mengambil botol yang sempat [Name] singkirkan, "aku bisa melakukan hal yang sama, omong-omong."
Maksudnya adalah melakukan tindakan seorang Romeo yang rela membunuh dirinya sendiri demi Juliet. Yang kalau dipikir sebagai hal yang romantis, maka jadilah hal yang romantis. Namun mau dilihat dari sudut pandang manapun, rasanya Osamu ingin muntah.
Seperti kuda yang sedang berpacu, kecepatan berpikir [Name] untuk menangkap arti perkataan Osamu sangatlah cepat. Secepat tamparannya kepada pipi pria itu-yang langsung menatap gadis di hadapannya dengan tatapan terluka.
Rasanya disini, [Name] yang sangat menyedihkan. Padahal yang memerah dan terasa membakar adalah pipi Osamu. Namun yang dijatuhi air mata malah pipi milik [Name].
"Kenapa harus seperti ini?" tanya [Name] setengah sakit-sisanya adalah kecewa dan ketidakterdugaan, yang dengan cepat digerogoti kesakitan hatinya sendiri. "Kalau kau bilang aku yang salah, maka aku minta maaf. Tapi harus kutegaskan sampai kapan, Osamu? Sampai kapan harus kubilang bahwa aku tidak bisa kembali kepadamu? Harus sampai kapan kita memaksakan takdir-"
"KAU BILANG MEMAKSAKAN TAKDIR PADAHAL YANG KAU LAKUKAN HANYALAH MENJAUHIKU!"
"Osamu-"
"[Name] aku tau bahwa aku adalah pria paling brengsek yang pernah kautemui. Yang bersama denganmu tetapi tetap bermain dengan yang lain. Bukankah sudah cukup kau mengatakan bahwa aku ini manusia hina tanpa hati?
"Kau bilang kalau kau memaafkanku, tapi yang kau lakukan hanyalah menyalahkan segalanya kepadaku. Aku berusaha-demi Tuhan kau tau sendiri aku berusaha untuk memperbaiki segalanya. Untuk mempersempit luka yang kau buat, untuk- untuk mengharap kesempatan yang tak kunjung kau buat."
Di dalam pikirannya sendiri, Osamu mengernyitkan kening tidak mengerti. Dia sedang berkata apa? Kenapa segalanya runyam dan gelap? Di mana sorot lampu yang seharusnya dia dapatkan?
"Apa yang harus kurasakan bila kata maafmu hanya sebagian? Apa yang harus aku lakukan, [Name]? Berkatmu aku jadi berkaca kepada diriku sendiri, bahwa aku tidak pernah bisa menjadi seorang paduka. Bahwa yang kulakukan hanyalah menjadi benalu dan seonggok manusia hina... sudah cukup kau tegaskan, kenapa harus di setiap pertemuan kau menghunuskannya kepadaku?"
[Name] menggelengkan wajahnya sendiri. Gadis itu ditutup sendu dan dirundung pilu. Rasanya sesak menatap [Name] yang menangis tanpa arah, dan menggeleng dengan sekuat tenaganya.
Osamu membuka tangannya lebar-lebar, walau dia mabuk, dia tetap sadar bahwa gadis di hadapannya sedang kesusahan menerima pil-pil pilu berisi kenyataan. Osamu melebarkan tangannya, membuka hatinya, dan memantapkan tujuannya.
Apa yang ingin disampaikan tidak pernah terucapkan.
Namun semua dapat paham.
Bahkan saat tidak ada yang bisa dipahami─karena pada hakikatnya, pemahaman selalu datang dari diri sendiri.
*
𝘣𝘶𝘵 𝘴𝘩𝘦'𝘴 𝘵𝘳𝘺𝘪𝘯𝘨, 𝘭𝘪𝘬𝘦 𝘩𝘶𝘮𝘢𝘯 𝘥𝘪𝘥.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐜𝐡𝐚𝐧𝐜𝐞 ᎒ 𝗆. 𝗈𝗌𝖺𝗆𝗎
Fanfiction[a story about second chance and forgiveness] they said, ❝when things go wrong, nothing ever stays the same.❞ content warning : light manipulation (implied) ©bakiugou ©Haruichi Furudate 2020