Angin berdiam diri,
Suara pun memilih berhenti,Tahukah kau?, aku seperti berbicara dengan sunyi,
Bahkan kehadirankupun tak pernah kau sadari,Hai! Aku masih disini,
Percayalah, aku tak pernah dan tak akan beranjak pergi meninggalkanmu sendiri.🐢🐢🐢
"Asyekkk, pulang cepet nih" teriak Gala yang membuat telingaku berdengung secara otomatis,
"Ishh, gue tiup tuh mulut ntar hilang loh" kataku sambil menutup cuping telinga. Mendengar teman sebangkunya menanggapi dengan ketus, Gala hanya merotasikan matanya.
Dengan sigap ku bereskan buku yang belum pernah kusentuh hari ini, kumasukkan dalam tas hitam yang penuh dengan mural putih buatanku sendiri.
"Duluan ya Wa," kata Gala sambil menepuk bahuku, karena dia tahu kalau aku akan pulang paling akhir. Aku pun mengangguk. Kuikuti Gala dengan sorotan mataku hingga Gala dan semua siswa dikelasku telah pergi. Aku menyendiri, dan kelas pun sepi.
Dan sebuah memori kelam teringat kembali.
Memori yang membuatku tak pernah bisa pulang dengan tenang dan nyaman, memori yang membuatku kehilangan berjuta keberanian.
Tanpa disadari, sebuah titik air jatuh dari mata, melesat kebawah tanpa aba - aba. Jari jempolku berusaha menyingkirkannya, sambil berharap bahwa tidak ada titik air lagi yang keluar dari mata.
Aku berusaha menarik nafas dalam - dalam, agar aku bisa menarik emosiku yang terlanjur tenggelam.
Tebak apa yang terjadi?, emosiku malah semakin menjadi - jadi tanpa bisa kukontrol sendiri.
Aku menangis dan sesenggukan sesekali. Tidak, tidak, aku tidak bisa pulang dengan kondisi seperti ini. Tidak dengan raga yang lemas dan mata yang panas.
Ku coba cara lain untuk menghentikan deraian air mata, dengan meminum air sebagai obatnya. Setelah 15 menit berlalu, akhirnya aku bisa mengendalikan emosiku.
Kupasang tameng baja, agar tidak ada yang tahu seperti apa rasa dalam raga 'Dewa'.
Aku berjalan menuju halte didepan sekolah, dan duduk menunggu bagai orang yang punya banyak masalah.
Sebuah bus lewat dan tepat didepanku bus itu berhenti, bodohnya aku sampai tak sadar hingga supir kendaraan itu memanggilku beberapa kali.
"Dewa, gak pulang?" tanya seorang laki laki paruh baya melalui celah jendela dan aku pun menganggukkan kepala sebagai jawabnya.
Jangan tanya mengapa aku bisa mengenalnya, itu karena aku selalu menggunakan bus kota sebagai ganti dari motor vespa yang sekalipun aku tidak pernah menyentuhnya. Tidak, tidak setelah kejadian yang waktu itu, kejadian yang membuatku selalu merasa bersalah walau sudah terlampau waktu.
Aku menaiki bus kota, dan duduk ditempat biasanya. Entah bagaimana,
pojokan bus dan yang paling dekat jendela menjadi tempat favorite ku seketika.Aku mengambil sebuah buku notes dari tas, dan jari - jari kupun meliak - liuk dengan lepas.
Semesta pilih kasih,
Dengan membiarkan hatiku lemah dan terperih.