ᴛᴏ ꜰᴇᴇʟꜱ

78 7 10
                                    

Kalau ditanya mengenai apa yang Aiza rasakan sekarang, hormon adrenalinnya sedang berada di puncak; kadar malu tak terkira membayang-bayang di tiap langkah kaki dalam perjalanan pulang. Sekadar teringat saja Aiza sudah tak sanggup, tapi ingatan beberapa momen kecil tadi selalu terputar di benak.

Pertama, ketika gadis itu menyadari entah apa yang membuat kian hari frekuensi bertemu dan berinteraksi dengan Bokuto Koutarou meningkat.

Kedua, ketika ternyata dia dipergoki mampir menonton sekilas latihan klub voli secara diam-diam. Ditambah kepergok memberi dan menaruh roti untuk Bokuto di lokernya pagi hari tadi. Dan Bokuto sendiri yang terang-terangan mengucapkan itu di sampingnya.

Aiza menghela napas. Ia mendongak pada langit senja, yang semburatnya berwarna senada dengan pipi pucatnya kini. Takahara Aiza sedang dibuat pening oleh hal lumrah dalam permasalahan remaja, yang orang-orang sebut dengan jatuh cinta.

Gadis itu bahkan tidak ingat, semenjak kapan ia mulai mengagumi dan menyukai sosok Bokuto Koutarou. Apakah saat pertama kali bertemu, berkenalan, atau ketika sudah mengenal sekian lama pemuda itu, Aiza tak tahu pasti.

[][][]

Saat itu, Aiza masih duduk di kelas satu. Belum official menjadi manajer klub sepak bola, tetapi ia sedang gencar-gencarnya berusaha mendapatkan hati sang pelatih.

Ketika ia tak sengaja melewati gymnasium, Aiza mememerhatikan klub voli yang sedang latihan. Matanya tertegun oleh sosok tegap Bokuto, yang melompat, mengudara kemudian memukul bola dengan kekuatan yang luar biasa.

Hingga bola itu memantul keluar, menggelinding ke arah Aiza.

"Halo! Boleh lemparin bolanya tidak?" pinta Bokuto dari dalam gedung membuat Aiza tertegun. Alih-alih mengambil dengan tangan, gadis itu menendang bola dengan kaki, membuatnya melambung parabola hingga memasuki gedung.

"WOAH! KEREN!" itu seruan dari pemuda berambut hitam-putih, Aiza belum mengetahui namanya waktu itu. Tapi, seruan tersebut adalah pujian dari lawan jenis yang pertama kali ia dapat di tahun pertama sekolahnya.

[][][]

"Hidungku mengeluarkan darah!" seru Bokuto ketika ia sudah sampai di ruang kesehatan didampingi Aiza. Selama perjalanan dari lapangan olahraga, dia menyumpal hidungnya yang memerah dengan tangan, menahan rintihan rasa sakit.

Kelas 2-1 dan 2-4 sedang ada pelajaran olahraga bersama, hingga insiden bola nyasar ke wajah Bokuto membuatnya harus dibawa ke ruang kesehatan oleh Aiza yang seorang anggota komite kesehatan dan sedang berada di lokasi kejadian.

Bokuto duduk di pinggiran kasur, menunggu Aiza yang sibuk mencari perlengkapan untuk mengobatinya.

"Bersyukurlah hidungmu tidak patah, Bokuto-san."

"Haha, aku tidak menyangka bolanya mengenai mukaku."

Padahal jelas-jelas bolanya mengarah ke arahmu, tapi kau malah terdiam dan menjadikan wajahmu sebagai pendaratan bola yang berotasi cepat, batin Aiza heran.

"Tengadahkan kepalamu, terus pegangi dengan tangan. Biarkan aku mengompres hidungmu dengan es agar pendarahannya berhenti," titah sang gadis yang sedang membalut plastik es dengan handuk.

Aiza membungkukkan tubuh, berfokus dengan hidung Bokuto. Diletakkannya secara perlahan kompres es di permukaan hidung sang pemuda, membuat ia refleks merintih.

"Aw, pe-wrihw,"

"Kau ini atlet voli, jangan mengaduh seperti anak kecil, tahan."

Bokuto menurut, dia terdiam dan hanya mengatur napasnya. Ia hanya memerhatikan Aiza yang sibuk menempel-nempelkan kompres es batu di hidungnya. Hingga iris hijau mint itu bertemu dengan netra emas Bokuto, keduanya sama-sama saling pandang dalam diam selama sepersekian detik.

warm fuzzies ❥ bokuaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang