Senjata Makan Tuan

17 5 0
                                    

Karya :
-Zaskia Putri
-Novi Nurjanah

Kalau saja amplop cokelat pemberitahuan diterimanya ia melalui jalur beasiswa tidak dibaca oleh ibunya, mungkin Zia lebih senang membantu beliau mengelola bisnis warung makan alih-alih menimba ilmu.

Bahkan setelah rentetan panjang ceramah dari ibunya—tentang betapa pentingnya belajar—lebih dari sekadar belajar perihal agama, hati Zia tak kunjung tergerak. Sepintar-pintarnya ia hingga dapat diterima di SMA negeri terbaik di kota atau nilainya yang melonjak di semester awal.

Gadis itu tetap tak dianggap eksistensinya, kecuali saat teman-teman sekelas membutuhkan objek untuk dijadikan bahan tertawaan.

Ia juga bukan satu-satunya gadis muda dengan kemampuan akademik yang menjanjikan. Murid-murid seperti itu tak akan jarang ditemui di sekolah ini, terutama di kelas unggulan ini. Namun, hanya ada satu gadis dengan kecantikan, kekayaan dan kepintaran yang menonjol. Yang bahkan gaya hidupnya begitu kontras dengan semua remaja-remaja borjuis yang bersanding dengannya di kelas yang sama.

Dan, Zia tak menyukai fakta bahwa gadis dengan trah Angretta itu duduk di meja di dekatnya. Seperti sedang meledek bahwa ia tak perlu bangku terdepan untuk menunjukkan bahwa dirinya mampu menjuarai semua mata pelajaran.

“Eh, Zi ngapain lo belajar? Emangnya lo mampu bersaing sama gue?” cibir Joyce.

Ia tertawa meledek, “Jangan tekun gitulah, lo enggak mungkin bisa bersaing di sini. Kebetulan aja nilai lo kemarin bisa dua tingkat di bawah gue. Semester ini jangan harap lo bisa masuk tiga besar lagi.” Joyce melempar kertas yang sudah terkepal hingga mengenai sisi kiri kepala Zia.

Para remaja lain di kelas itu mulai melontarkan kalimat-kalimat meremehkan yang sama sekali tak enak didengar. Sesekali mereka ikut melemparkan kertas-kertas kecil untuk mengusik Zia.

Walapun seisi kelas meledek Zia, ia tidak memedulikannya dan fokus dengan buku yang sedang dibacanya. Baginya, apa yang dikatakan oleh Joyce sudah menjadi bagian dari keseharian. Lagi pula Zia memang sadar kedudukannya jika dibandingkan Joyce.

Zia masih bersikap tak acuh dengan ledekan Joyce dan teman sekelasnya yang datang bertubi-tubi. Menyakiti tak hanya hati dan perasaannya namun juga gendang telinganya.

Perhatian Zia tersita tatkala seorang wanita muda berkerudung panjang berjalan memasuki kelas sembari membawa buku dan tas tangan. Tak seorang pun siswa yang terlihat menyadari keberadaannya. Mereka sibuk menjadikan Zia sebagai bahwan tertawaan dengan Joyce sebagai 'kompor.'

Saat tatapan Zia dan guru itu bertemu, gadis itu lantas langsung menunduk.

Tak lama kemudian wanita berparas rupawan itu berbicara dengan nada tegas, “Hentikan! Hentikan suara tawa kalian!” pintanya dan seisi kelas berubah hening. Hanya menyisakan bunyi-bunyi dari bangku dan meja yang digeser. Memperbaiki ketidakberaturan yang terjadi saat mereka meledek Zia.

Zia menaikkan sedikit pandangannya, dilihatnya ketegasan di raut wajah wali kelas mereka dan pandangan wanita bernama Sarah itu tertuju kepada Joyce.

“Cepat minta maaf dengan Zia, Joy!” pintanya sambil bersedekap. Zia melirik Joyce, padahal tak hanya gadis itu yang meledeknya, namun ia yakin Sarah tahu pasti siapa pemicu awal keributan tadi.

Joyce menjulurkan tangan kanannya, hal yang tak diperkirakan Zia akan dilakukan olehnya. Zia menatap Joycea dan meragu, di balik bulu mata yang indah itu Zia tak dapat menebak-nebak apa yang direncanakan oleh Joyce. Ia meraih tangan lembut milik gadis angkuh tersebut.

“Gue bakalan minta maaf dan berhenti gangguin lo. Kalo seandainya nilai lo lebih bagus dari gue semester ini.”

Tak lama setelah mengatakan itu kelas kembali riuh dan Joyce secara sepihak mengayunkan tangan mereka, berjabat tangan.

Zia menarik tangannya, sementara Sarah menggeleng. Wanita itu kemudian menyuruh Joyce untuk keluar dari ruang kelas dengan alasan mengganggu jalannya KBM.

Joyce meninggalkan kelas dengan langkah santai menuju ruang konseling, dagunya terangkat penuh kepercayaan diri yang menunjukkan bahwa ia tak perlu mengikuti kelas kimia ini untuk mendapatkan nilai sempurna.

Zia menatap telapak tangannya yang mengepal, tiba-tiba saja ia merasa muak sekaligus kesal dengan perilaku Joyce. Sudah lama rasanya ia ingin gadis itu menghentikan perilakunya yang kurang ajar. Namun, Zia tidak memiliki keberanian. Kini ada satu kesempatan ia bisa membuat Joyce jera sekaligus menjadikan tantangannya tadi sebagai senjata makan tuan.

[**]

Sudah hampir genap setahun Zia menduduki bangku di kelas ini, hari ini akan menerima pengumuman nilai rapotnya. Gadis itu berharap semua usaha dan doanya tidak mengkhianati hasil yang kini berada di tangan Sarah.

Zia meremas lipatan roknya sampai kusut, keringatnya sebesar biji jagung mengalir turun sampai dagu. Berbeda halnya dengan Joyce yang terlihat percaya diri sedang mewarnai kukunya.

Sarah menyebutkan nama siswa satu per satu, tidak banyak perubahan peringkat kedudukan kelas dengan semester sebelumnya.

Debar jantung Zia semakin tak beraturan saat angka peringkat yang diucapkan Sarah mulai mengecil.

Hingga akhirnya dengan senyum mengembang Sarah menyebutkan nama Joyce Anastasya Anggreta lebih dulu sebelum nama Reynade Zia Salsabillah.

Zia tak dapat menahan air matanya, wajahnya bersemu karena senang dan air mata bahagia mengalir turun disertai tepuk tangan dan decak kagum teman-teman sekelasnya. Secara spontan gadis yang menjuarai kelas itu melihat rekan duduknya yang terpaku tak percaya.

Teman-teman sekelas mereka mulai mendorong-dorong Joyce untuk segera meminta maaf seperti janjinya waktu itu, mereka bertepuk tangan dengan nada yang sama dan menyuruh Joyce mengakui kekalahannya.

Zia dapat melihat betapa malunya Joyce saat gadis itu berjalan menghampiri mejanya dan mengulurkan tangan. Bibirnya dilapisi pelembab bergerak pelan, “Maafin gue, Zi. Lo menang. Lo juaranya. Gue janji enggak bakalan ganggu lo lagi,” katanya sambil membentuk angka dua dengan tangan kiri.

Zia mengangguk senang dan meraih tangan Joyce untuk bersalaman yang langsung menepisnya.

“Woi, gue baru pake kuteks, nih,” gerutu Joyce kesal sambil menatap kukunya yang berwarna jingga.

Seisi kelas tertawa, namun kali ini mereka tidak sedang menertawai Zia.

[End]

•••

Amanat

1) Amanatnya jangan seenaknya ngomong, manusia punya hati, nggak semua hal bisa dibercandain.

2) Amanatnya jangan membully orang lain sebab semua orang pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

3) Jangan suka meremehkan orang lain dan memandang rendah diri sendiri.

Goresan KataWhere stories live. Discover now