Don't Look At The Cover

13 4 0
                                    

Karya :

- Dewi pow.
- Mille.

Tepat  jam tujuh pagi upacara dimulai, semua murid sudah siap di lapangan. Berbeda dengan Wina yang melangkah dengan santai menuju lapangan, tidak peduli pada hukuman yang guru BK akan berikan.

Gadis yang irit bicara ini suka menyendiri dan termasuk murid langganan ruang BK. Dia tidak punya teman, entah itu karena murid-murid lain takut dengan reputasi yang dimiliki atau dia yang tidak pernah mempersilahkan seseorang memasuki hidupnya setelah sang Ibu meninggal. Apalagi ayahnya memutuskan menikahi seorang wanita untuk menjadi ibu tirinya.

Seperti biasa, Wina sudah berdiri di depan ruang BK bertepatan dengan selesainya upacara. Pak Fauzan terkejut kala menyadari keberadaan Wina—karena baru kali ini ada murid yang menyerahkan dirinya sendiri ke BK.

Akhirnya Wina mendapatkan hukuman untuk melakukan pose hormat pada bendera sampai jam istirahat. Tapi, setelah bel istirahat berbunyi, Wina malah membolos dan pulang ke rumah.

"Tumben rame. Kenapa ya?" gumam Wina.

Saat berada di ruang tamu, dia menyadari ayahnya sedang mengucapkan ijab kabul pernikahan dengan istri barunya. Wina menarik napas panjang lalu berjalan ke kamar tanpa menghiraukan tatapan mata para tamu yang tertuju arahnya—begitu juga dengan sang Ayah yang telah selesai mengucapkan ijab kabul.

Wina menyimpan baju-baju yang sudah dilipat di koper bersama barang-barang berharganya. Dia tidak lupa menaruh surat yang ditulis untuk ayahnya di meja belajar. Memutuskan untuk tidak menarik perhatian, Wina pun keluar lewat jendela.

Dia pergi ke pondok pesantren yang selama ini sering dikunjungi. Di sana, Wina disambut oleh sepupunya yang bernama Dena. Dena menyuruh Wina untuk tidur sekamar dengannya.

Sepertinya setelah melihat wajah Wina yang tidak enak dilihat, Dena memberanikan diri untuk bertanya. Dari situlah Wina menceritakan kejadian tadi sedetail mungkin hingga berujung padanya diajak ke musholla pondok untuk menenangkan pikiran.

Saat semua santri sedang mengaji kitab, Wina memilih untuk dikamarnya membaca Al-Qur'an dengan bertartil. Sementara itu Dena diutus ibunya untuk menggeladah seluruh kamar—mencari santri yang masih nakal tidak mengikuti ngaji kitab. Dena membuka pintu kamar perlahan karena penasaran akan apa yang sedang dilakukan Wina.

Subhanallah, batin Dena memuji. Dena melongok kaget serta takjub akan suara lantunan ayat Al-Qur'an yang indah serta seluruh tajwid yang tepat. Serentak Dena ingat akan lomba Tahfidzul Qur'an yang akan diadakan minggu depan. Dena memilih untuk memberitahu Wina nanti, dia pun kembali menjalankan amanah dari ibunya.

"Win, pokoknya kamu harus ikut lomba ini!" Dena berseru dengan antusias selepas menjelaskan pada Wina mengenai lomba yang sempat melintas di pikiran gadis itu. Wina hanya memberikan anggukan. Tidak ada salahnya juga sesekali mengikuti lomba. Hitung-hitung pengalaman.

"Sebenernya yang ikut lomba aku atau kamu?"

"Ya kamu dong!"

Wina heran mengapa Dena terlihat menggebu-gebu menjelaskan tentang persyaratan lomba dan sebagainya? Sementara dia, yang mengikuti lomba, nampak santai.

"Inget ya, lombanya tiga hari lagi. Kamu siap-siap."

"Iya, iya." Wina berharap ayahnya akan datang.

Tiga hari berlalu begitu saja dan kini dia sedang berdiri di ruang tunggu untuk para peserta lomba. Wina menghela napas, bukan karena rasa gugup, melainkan kecewa. Kecewa karena sampai detik ini Wina belum bertatap muka dengan sang Ayah setelah kejadian itu. Apalagi di lomba pertamanya ini ... dia sangat mengharapkan kehadiran pria itu. "Sia-sia berharap," gumamnya.

"Peserta selanjutnya silahkan!"

***

Pria itu mengganti saluran televisi berulangkali. Fisik lelah akibat dua hari pulang malam karena pekerjaan, ditambah jiwanya yang juga lelah sebab memikirkan keberadaan putri semata wayang. Akhirnya dia memutuskan untuk beristirahat di rumah sehari, namun siapa sangka akan sangat membosankan?

"Saatnya pengumuman pemenang. Gimana? Kalian gugup ya?" Si pembawa acara tertawa.

Dia tidak mengerti mengapa memutuskan menonton acara ini. Lomba Tahfidzul Qur'an? Sama sekali tidak cocok untuk orang yang jarang beribadah dan melakukan kegiatan agama lainnya.

"Selamat kepada Wina Andrea!"

Anton—nama pria itu—mengerjap begitu mendengar nama pemenang lomba yang amat familiar. Tidak berselang lama seorang gadis remaja naik ke atas panggung. Meskipun tidak menunjukkan senyum, kedua bola mata jernih itu memancarkan kebahagiaan. "Wina...?"

"Selamat ya Wina. Coba kasih tau kita gimana perasaan kamu?"

Wina mengambil alih mikrofon yang diserahkan padanya. "Saya senang dan bangga sama diri sendiri." Wina tampak mengambil napas. "Sejujurnya saya berharap ayah saya ada di sini. Nyatanya dia gak datang. Saya sempat kecewa, tapi saya udah putuskan untuk fokus sama lomba. Alhamdulillah, saya jadi juara."

Hati Anton terasa sakit seolah-olah ditusuk oleh ribuan jarum. Keinginan gadis kecilnya begitu sederhana, namun dia masih tidak bisa mengabulkan. Bukankah Rina, istrinya yang sekarang, mengatakan kalau Wina butuh waktu sendiri? Tapi Wina mengatakan dia menginginkannya hadir di sana. Lalu bagaimana dengan kabar kalau Wina hanyalah anak nakal yang tidak berprestasi? Wina membuktikan hal itu palsu dengan menjadi juara di lomba Tahfidzul Qur'an.

Dia yang mudah percaya omongan orang, sama saja dengan menilai buku dari sampulnya 'kan?

"Mas? Kamu mau kemana?"
Rina bertanya begitu melihat Anton yang buru-buru menyambar jas, terlihat tergesa.

"Ke putriku, kenapa?" sinis Anton.

"Lho? Aku kan udah bilang buat biarin dia sendiri dulu."

"Nyatanya apa? Dia butuh aku, ayahnya!"

Anton tahu berdebat dengan wanita itu tidak akan cepat selesai. Jadilah dia menghubungi kerabatnya, meminta lokasi Wina—yang Anton yakini mereka tahu. Dia sudah memutuskan untuk meminta maaf pada Wina, semoga saja juga bisa hidup bahagia dengan anaknya.

[End]

Amanat :

1) Jangan pandang orang sebelah mata.

Goresan KataWhere stories live. Discover now