I don't really need no friends

12 1 0
                                    

Kesepian yang paling miris adalah sepi dalam keramaian.
Aku sangat bodoh berdoa agar diremehkan orang lain. Ketika terwujud ternyata sesakit ini.
Dan tak berdaya.

***

Aku seorang perantauan. Saat ini hidup dengan menumpang kost-an teman.

Tepatnya beberapa teman. Ketika keadaan satu kos kutangkap sudah jengah dengan kehadiranku, aku pindah ke kos teman lainnya. Ketika kost lainnya ini mulai terusik dengan keberadaanku, aku pindah ke kos yang lainnya lagi. Totalnya ada tiga kos, dan muter terus seperti itu.

Dan ketiganya kembali ke rumahnya masing-masing, satu per satu secara berurutan.

Aku tak punya lagi tempat untuk tinggal.

Tetapi, ada satu lagi yang muncul, entah ini kebetulan atau tidak. Dan di sinilah aku sekarang. Mendapat korban baru dari keberadaanku yang, kau percaya saja, mengganggu!

Secara sekilas, terutama hari pertama-kedua, mungkin mereka menganggapku menyenangkan. Sering ketawa, nyapu, ngebersihin kamar mandi, mindah-mindahin barang supaya terlihat tertata, dan banyak sungkan. Kebetulan aku memang menyukai semua itu. Entah apakah karena aku memang berjiwa pembantu atau tidak, aku kurang tahu.

Tapi kebanyakan mereka pasti kaget dan salah sangka.

Akulah orang yang menyebalkan itu! Membosankan, memalukan, menyedihkan, menjijikkan, dan seterusnya dan seterusnya, yang semuanya bergabung jadi satu rona yang sama: mengganggu!

Kamu mungkin menganggapku merendah dan mengada-ada. Tapi, baiklah, akan kusampaikan maksudnya.

Aku menyebalkan karena setiap datang selalu menuntut ini itu dan ingin menang sendiri, belum lagi ditambah belagu, belagak. Aku membosankan karena pada dasarnya aku pendiam, dan pendiam tidak pernah menyenangkan untuk aktivitas sosial, terutama tidak punya "modal", entah material maupun sosial.

Aku menjijikkan karena, ah elah, sudah datang tidak bawa apa-apa, tidak punya apa-apa, nyusahin karena kerjaannya minta, penuh kepentingan pula. Setiap yang kukerjakan selalu dipikir kepentingannya, setiap air muka penuh topeng-topeng kepentingan pribadi. Kurang menjijikkan apalagi coba.

Dan dari kombinasi semua itu, aku sangat mengganggu, bahkan sangat-sangat-sangat meng-gang-gu, karena hidup hanya tak lebih dari parasit sebuah pohon gemuk dan bergizi, lalu perlahan ketularan kering kurus kere dan kudet seperti mayat hidup.

Ya, kurang satu itu adalah karena aku kudet. Memalukan! Baju warnanya tak pernah warna aslinya, rambut kayak gembel, raut wajah sudah mirip kakek-kakek tapi sering keras kepala kayak anak-anak... dan yang bikin parah adalah, "Hei, lu numpang di sini, ya. Kenapa bikin malu kita dengan penampilanmu yang... beli baru kek! Oh iya lupa, emang pernah lu punya duit?" Begitu kira-kira.

Seperti awal-awal aku di kost yang terakhir ini, ketika tiga kos sebelumnya sudah lockdown tak berpenghuni, mereka menyambutku dengan senyum yang begitu "bassam", senyum penuh kerinduan dan cinta kasih seperti senyuman baginda nabi saw.

Aku datang, hari pertama waktu itu, dengan background dolan. Tentulah si empunya rumah mengamalkan keutamaan memuliakan tamu.

Mereka tersenyum, ketawa, ngobrol kesana kemari dan bernostalgia, menyuguhkan hidangan kelas "setiap muslim adalah saudara muslim lainnya", dan banyak hal yang membuatmu percaya bahwa hidup ini penuh dengan hari yang berwarna-warni. Oh! Terima kasih, hari, untuk karunia ini.

"Hai Fulan, aku pulang besok. Kebetulan ada yang ngajak barengan." kataku dengan senyum ala Squidward yang dapat jatah libur dari Tuan Krabs.

"Lhooo... kok cepet-cepet. Baru berkunjung dua hari kok sudah mau pergi. Hambok di sini aja, nemenin kita biar rame." Fulan menanggapi dengan sesal seorang ayah Kevin, saat sudah sampai di bandara tapi baru sadar kalau Kevin ketinggalan di rumah, di film Home Alone.

Kami sama-sama tersenyum dengan saling iba, karena enggan berpisah satu sama lain. Betapa romantisnya.

Besoknya, aku berencana pulang ketika senja sudah mandi dan segar dan berdandan untuk menemani kepulanganku.

Tepat ketika matahari sedang tertawa di atas ubun-ubun kita, sebuah pesan wasap dengan nomor baru masuk dan membunyikan lonceng di pintu gawaiku.

*tuing.

Di kiri nomor baru itu, ada foto seserang yang kayaknya tidak asing bagiku. Kudekatkan wajah dan, oh! Rasanya jantungku mencuat dari mulutku saat itu juga.

Itu dosenku.

######
######
######

Anggap saja itu sensor, biar nggak kalah sama KPI yang bikin dadanya Sandy si tupai ngeblur. Intinya, aku disuruh bimbingan lagi, karena sudah dua bulan aku melupakan bimbingan. Mungkin itu tipo, maksudnya: sengaja melupakan.

Aku menghela napas. Mencoba tetap tenang.

Mampus.

Hal pertama yang aku pikirkan adalah Papan, karena keadaan Sandang masih aman. Segera saja aku menghubungi temanku yang sudah merelakan aku pamit, untuk minta perpanjangan (numpang) kost.

Setelah beberapa menit, ia membalas. Ia membolehkan. Fulan bilang, Zaed tidak ada masalah dengan itu.

Oke, berarti aman.

Tetapi di sinilah persoalannya. Mereka akan segera tahu sifatku yang bukan semenyenangkan kemarin. Bukan aku yang mode hari pertama-kedua. Aku yang akan melepas satu topeng dari seribu tiga ratus tujuh puluh sembilan koma enam yang kupakai.

Setiap lepas satu, semakin buruk. Semakin lepas semakin buruk.

Gawat gawat gawat. Inilah kenapa sepertinya aku memang ditakdirkan hidup sendiri dan sunyi. Perkiraanku biasanya tidak melenceng terlalu jauh.

"Tuhan, aku rapuh tanpa Papan dan Pangan. Aku juga belum punya modal untuk hidup sendiri. Kenapa, ini, harus dikirim sekarang?"

*****

1 Ramadhan

LonerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang