Jadikan shalat dan shabar
Sebagai penolongmu
"Cuma salat dan sabar?"***
Aku melangkah ke kos dengan malas. Selain nggak jadi pergi, juga segan untuk, ah, lagi-lagi situasi numpang lagi. Kadang aku berpikir apakah memang aku terlalu pelit untuk mengumpulkan uang sejumlah sewa kos? Lagipula, darimana uang itu? Pinjam? Kalau iya, sepertinya tidak ada jaminan bisa mengembalikannya.
Sesampai kos, ketemu mereka yang baru pulang kerja, percaya atau tidak saraf-saraf di pori-poriku seperti terkena ombak halus dari gelombang, menjadikan terasa merinding tetapi bukan takut, entah apa, saat melihat mereka tersenyum melihatku di kosan.
Kamu boleh menyebutnya senyum yang dipaksakan, tetapi percayalah, rasanya itu kurang tepat mendefinisikannya. Semacam campuran antara rela dan tidak rela, senang dan terganggu, dan lain-lain.
Hingga pada akhirnya hal itu semakin mewujud.
Dengan waktu yang terus berdetak, satu per satu mulai kurasakan sebagai sebuah ketidaknyamanan dan lalu aku cuma bisa mbatin, "Tapi, mau kemana lagi?"
Ketika masih hari pertama-kedua, seperti umumnya mereka bahkan menawari makan. Tentu saja dengan nasi yang monggo tandhuk monggo. Setelah aku bilang akan pergi tetapi ternyata nggak jadi itu, Zaed dan Fulan membicarakan stok beras yang mulai menipis. Aku ada di samping mereka.
Kamu juga boleh menyebut ini salahku yang terlalu negatif thinking. Su'u dzon.
Tepatnya saat sahur. Sebagai anak kos yang baik, sahur dilakukan dengan lauk alakadarnya. Sahur kali itu lauknya endok dadar.
Mungkin karena dia masih ngantuk. Bawang-brambang kebetulan ada di depan teve, bukan di dapur. Nah di sini ada gunting. Dia menggunting bawang-brambang itu. Lalu aku ke dapur sejenak. Lalu balik lagi dengan membawa pisau dan tatakan. Kuserahkan itu dan meletakkannya di depannya. Tetapi dia masih tetap menggunting. Kebingunganku bergejolak. Apa salahnya menghargai usaha orang lain? Oke aku memang kere dan numpang, dan tidak berhak banyak protes, tetapi... aku tidak menemukan kata penengah yang pas.
Setelah selesai dengan bawang-brambang, saatnya menggoreng dan sahur. Nah, disaat menggoreng itu, dia cuma nggoreng dua telur. Sebelumnya, untuk memecah kecanggunganku, aku bilang bahwa telur bagianku ingin aku kasih terigu biar lebih kenyal dan wareg. Kebetulan adonan telur dan terigu sudah jadi tepat saat dia selesai mendadar telur kedua. Setelah telur kedua matang, sesaat aku mengulurkan adonan itu, dia sudah berlalu.
Fulan dan Zaed mulai sahur, aku masih nggoreng sendiri. Iya, aku merasa cukup sedih. Sebenarnya kemarin aku sempat memikirkannya, apakah aku ingin dilayani meski numpang, dan sedih setengah jengkel karena tidak dilayani? Jika memang benar begitu, betapa buruk diriku.
Saat sahur juga. Sedikit lagi nasi di piringku habis. Lalu dia mengambil piring Zaed dan mencucinya, sehingga nanti aku nyuci sendiri. Prasaku, ini semacam ada tiga orang yang asik ngobrol, tapi yang dua ngobrol sendiri tanpa melibatkan si orang ketiga. Setahuku, yang begitu itu dilarang oleh baginda nabi saw.
Apakah itu tepat dianalogikan untuk piring tadi, aku nggak tahu. Tetapi maksudku, jika mereka berdua usai sahur bersantai sejenak, pun, aku senang-senang saja mencuci kedua piring mereka. Artinya, sahur bareng maka bagusnya kalau tidak dicuci sekaligus ya sekalian dicuci sendiri-sendiri semuanya. Apalagi konteksnya cuma tiga orang. Percayalah, itu rasanya kayak dikucilkan. Dan itu menyakitkan.
Tentu saja, semua itu mungkin disebabkan oleh keberadaanku yang mengganggu.
Bagaimana tidak, posisiku numpang di sini jika kamu perhatikan, sebenarnya aku sudah menggusur tempat nonton tivi mereka.
Kebetulan, gawai yang kubawa saat ini (tepatnya milik teman yang kupinjam) punya baterai yang sudah menggelembung, dan cara menggunakannya harus terus dicas. Karena baterainya sudah ngedrop.
Nah, colokannya itu cuma satu dan pendek dan di dekat tivi. Belum lagi, aku tidurnya memang di depan tivi.
Sebegitunya aku sudah mengganggu, yang lebih membuat gelisah adalah mereka, mungkin karena budaya Jawa, tidak pernah menegurku atau bilang ke aku tentang hal-hal yang sebenarnya penting bagi mereka, atau lain-lainnya.
Aku hanya akan melihat pemandangan, mereka sahur bareng denganku dengan suasana cukup krik (karena kebetulan aku introvert, lebih banyak diam), setelah selesai lalu mereka kembali ke kamar mereka, lalu aku mendengar gelak tawa dan heboh sebagaimana kunjunganku mode hari pertama-kedua.
Apa yang bisa kulakukan? Apa yang bisa kulakukan, Tuhan? Apa? Aku memikirkannya berulang kali dan tidak menemukan jawabannya.
Kulihat jam di gawai. Waktu sudah mendekati Maghrib. Kubuka Magicom. Oh, sepertinya nasi ini cuma cukup untuk dua porsi.
Aku berpikir sejenak. Dan di sinilah aku sekarang. Di kampus dengan menenteng tas berisi laptop supaya bisa alasan wifian.
Adzan maghrib sudah terdengar. Aku melihat ke sekeliling. Sepi, hanya bangunan-bangunan, gedung kuliah yang tak berpenghuni dan sunyi. Aku sudah seperti manusia terakhir di bumi. Senyap sekali. Tubuhku lemas dan aku tidak tahu harus ngapain sekarang.
Tidak, tidak boleh. Jangan menangis, Self. Lihat, sesepi ini tidak buruk juga, kan? Setidaknya mentalmu lebih ringan. Tidak tertekan meski di dalam rumah yang nyaman.
Lagipula, ini kan ideku sendiri. Untuk memberi mereka waktu meluapkan kekesalannya padaku dengan tidak adanya aku. Untuk kembali ke aktivitas biasa sebagaimana kehadiranku belum mengganggu. Dan seterusnya dan seterusnya.
Entah ini untuk self defence, pertahanan diri, atau mugkin aku sudah sangat tidak kuat dengan tekanan ini. Aku tidak tahu. Aku tidak tahu.
Aku mulai beranjak, mulai melangkah pelan. Tanpa tujuan. Hanya omong kosong, "Siapa tahu di sana ada takjil gratis, Self. Ayok semangat!"
*****
2 Ramadhan
KAMU SEDANG MEMBACA
Loner
RandomIni semacam diary. Hanya orang-orang gabut yang membaca diary orang lain!