4

15.7K 3.8K 1.8K
                                    

[Dia Yoon Jaehyuk]
-4th regret, Park Jihoon-

.
.
.

Bulan Desember lalu, salju mulai berjatuhan menyelingi pijakan kaki yang diciptakan oleh manusia. Bulir-bulir putih yang datang dari langit itu membawa dingin yang sarat akan kejenuhan. Tiap kali melihat salju turun, aku ingin berada di tengah-tengahnya. Melepaskan semua kehangatan, seakan-akan udara sejuk adalah tempat yang tepat untukku.

Setiap kali bulan Desember datang, perasaanku berkecamuk. Yang bisa kupikirkan hanyalah menenggelamkan diri di sungai Han sampai raga-ku membeku. Namun, keinginan itu sampai sekarang hanya menjadi sebuah sensasi rasa yang mati-matian aku tahan.

Hari terakhir di bulan Desember, sekolahku membuat acara akhir tahun. Banyak tenda-tenda yang di pasang di tengah lapangan sekolah. Ada yang bermain gitar, ada yang bercerita, dan ada pula yang melakukan beberapa permainan. Sekedar menunggu detik-detik di mana tahun akan berganti.

Aku, Park Jihoon—biasanya tak suka datang ke acara seperti itu. Namun hari itu, aku sengaja datang ke sekolah. Duduk di belakang gedung sambil melihat bulan yang hanya separuh. Menenggelamkan suara-suara ricuh di lapangan. Namun ternyata cara ini tak berhasil menenggelamkan rasa di benakku yang berupaya ingin menghilang dari bumi.

Aku pernah beberapa kali menemui psikiater. Mereka bilang aku punya seasonal affective disorder. Efeknya ada di musim dingin. Setiap kali musim dingin datang, aku selalu punya pikiran untuk menghabisi nyawaku sendiri. Ketika dingin mulai menyembangi permukaan bumi, sekujur tubuhku seakan tidak bisa dikontrol. Aku hampir mati setiap pergantian tahun karena ulahku sendiri. Masih hidup sampai sejauh ini merupakan keajaiban.

Hari itu juga sama, aku mulai berkeringat dingin. Rasa sesak menumbuhkan hasratku untuk mencekik leherku sendiri. Upaya dengan datang ke sekolah hari ini agar pemikiran itu tak lagi datang, awalnya kupikir akan sia-sia.

Sebelum kemudian Jaehyuk tak sengaja lewat kemudian sontak menjatuhkan plastik berisikan minuman kaleng yang ia bawa. Ia berlari ke arahku karena kaget melihatku kesulitan bernapas akibat cekikan tangan ku sendiri. Ia berupaya melepaskan tanganku dan menahannya agar tak melakukan hal bodoh lagi.

Dia Yoon Jaehyuk, yang datang dengan tulus karena mengkhawatirkanku.

"Kau kenapa?!" Bentaknya. "Kenapa kau melakukan ini?!"

Aku yang masih sulit mengontrol napas tak mampu memberikan jawaban. Karena aku sendiri pun tak tau kenapa aku melakukannya.

Tak ada orang di sana pada saat itu. Hanya ada aku dan Jaehyuk yang masih berusaha menenangkanku. Menyuruhku untuk bernapas pelan-pelan sampai aku benar-benar membaik.

Melihatku yang hanya berlapis kemeja, Jaehyuk memakaikanku jaket Dongker kesayangan-nya. Ia pun menghangatkan tangannya kemudian mengenggam tanganku. Aku bisa melihat dari matanya; tatapan setulus itu—baru kali ini kulihat sepanjang hidupku. Dia benar-benar serius meng-khawatirkanku yang sebelum ini pun tak pernah dekat dengannya.

Malam itu, kami bersandar di belakang gedung sekolah bersama. Jaehyuk memilih di sana karena dia takut aku melakukan aksi bunuh diri lagi. Padahal aku menyuruhnya pergi berulang kali. Senyap pun mengambil alih. Hanya ada suara-suara sorakan yang samar dari siswa-siswi lain.

"Kau tidak ingin bertanya?" Ujarku buka suara.

Jaehyuk menoleh. "Apa tidak sakit?"

Dia Yoon Jaehyuk, orang pertama yang menanyakan soal rasa sakit padaku.

i. the day after today ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang