Part 1: Mr. & Mrs. Jeon

62 3 2
                                    

Pain is just the concequences of love. But is it supposed to hurt this much?

---

Don't force things to happen, because there are just things that you can't force.

Aku menghela napas panjang. Iya, aku sadar betul akan hal itu. Setidaknya setelah aku memaksa laki-laki itu untuk terikat dalam sebuah hubungan sakral satu tahun lalu. Mungkin tidak seharusnya aku memaksakan kehendak terhadap sesuatu yang tidak bisa dipaksakan: cinta dan pernikahan. Memang benar semua ini salahku, aku yang egois, aku yang ingin menang sendiri, aku yang serakah.

Namun, aku punya alasanku sendiri. Hal ini aku lakukan karena aku mencintainya. Ketika aku mengetahui satu hal yang mengubah hidupku 180 derajat, aku memutuskan untuk mewujudkan apa yang ingin aku inginkan. Dan saat itu, aku tau aku ingin bersama Jungkook. Aku ingin bersamanya, setidaknya sampai kontrak ini berakhir.

Benar, aku adalah Mrs. Jeon. Meskipun titel itu hanya diketahui oleh beberapa orang.

Aku dan Jungkook menikah hampir satu tahun lalu, di Bali. Tidak banyak orang yang datang ke pernikahan kami, hanya segelintir orang terdekat yang memang keluarga kami kenal. Kami melangsungan pernikahan ketika aku berumur 20 dan Jungkook 22. Sekarang, kami sudah tinggal di sebuah rumah mewah di LA.

"Jungkook, bangun. Sudah pagi," Ucapku setelah mengetuk pintu kamar Jungkook beberapa kali.

Terdengar Jungkook menggumam dari dalam kamar, kemudian berucap "Fine, go away now."

Benar, seharusnya aku sudah terbiasa akan hal ini. Tetapi entah kenapa, ucapan Jungkook selalu terdengar begitu menyakitkan bagiku. Ini adalah ritual pagi hari kami. Aku membangunkan Jungkook, dan balasan kasar seperti itu yang biasanya aku dapatkan. Mungkin aku seharusnya bersyukur. Setidaknya Jungkook masih ingin berbicara denganku.

Iya benar. Tentu saja kami tidak tidur satu kamar. Ia tidak akan sudi untuk tidur bersamaku, bahkan berada dalam satu ruangan bersamaku saja, dia sudah muak. Aku tau hal itu karena Jungkook selalu mengingatkanku bahwa dia sangat amat membenciku. Setiap hari. Setiap detik ketika aku berada di dekatnya.

Aku turun melewati tangga, kemudian disapa oleh wangi masakan khas Indonesia yang dibuat oleh Marie. Marie adalah perempuan berumur 55 tahun yang merupakan pembantu rumah tangga kami sejak kami pindah ke rumah ini. Aku mengenalnya dari kecil, karena dulu ia bekerja bersama keluarga Jungkook. Marie sudah tinggal dan membantu keluarga Jungkook sejak Jungkook masih balita. Ia mengenal Jungkook luar dalam, bisa dibilang, sama seperti orang tuanya sendiri.

"Pagi Marie, enak sekali baunya. Nasi goreng?" Tanyaku sambil membuat kopi latte kesukaan Jungkook.

"Your favorite," Marie tersenyum lebar kepadaku. "Aku juga membuat kimchi untuk Kookie." Katanya, sambil meletakkan makanan yang sudah siap ke dalam mangkok dan piring.

"Kookie sudah bangun?"

Kookie adalah panggilan Jungkook, hanya orang-orang terdekatnya saja yang memanggilnya dengan sebutan itu. Aku tidak pernah memanggilnya kookie... well, tidak pernah lagi. Dulu aku sempat memanggilnya dengan sebutan itu. Tetapi setelah kami menikah, ia menyuruhku untuk tidak memanggilnya dengan panggilan itu lagi.

Aku mengangguk. "Sudah, sebentar lagi turun."

Beberapa menit setelah berbincang dengan Marie, aku mendengar suara hentakkan kaki menuruni tangga.

"Pagi, Kookie." Sapa Marie ramah.

"Pagi, Marie." Gumam Jungkook sambil mengusap kelopak matanya. Ia menarik kursi dan duduk di meja makan.

Jungkook menguap sekali, sebelum aku meletakkan kopinya di atas meja. "Kopimu, Jungkook."

Ia tidak menjawab, hanya memberikanku tatapan dingin yang selalu ia berikan kepadaku.

Hidden MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang