Prolog

3.5K 207 45
                                    

Hening.

Angin bertiup pongah di antara keheningan kami. Begitu pula dengan mendung yang congkak merata di langit. Alam sore ini seakan memaksaku untuk cepat bicara dengannya, sedang dadaku masih sesak untuk berkata-kata. Mengambil napas berkali-kali, aku mencoba melonggarkan hati.

“Kamu tahu aku tak bisa memaksamu mengatakan bagaimana perasaanmu padaku, iya kan? Tapi, apa kamu harus menikahi Naysilla? Bersusah payah aku membebaskanmu dari tuduhan pemerkosaan, tapi kamu malah mau menikahinya? Aku tidak percaya kamu melakukan ini, Gus …”

Aku menatapnya dengan air mata yang menggenang dan suara yang tetap bergetar meskipun aku mencoba tegar. 

“Aku memang tidak lebih baik dari Naysilla, tapi dia bukan perempuan yang baik. Kamu juga masih memiliki cita-cita untuk diwujudkan, kan? Tolong … jangan korbankan masa depanmu untuknya. Jangan, Gus!” 

“Masa depan mana yang kamu maksud, Kamila? Bukankah setiap hari esok adalah rahasia Tuhan? Jika yang kamu khawatirkan adalah aku tidak akan bahagia menikah dengannya karena aku tidak mencintainya. Kamu tenang saja, aku akan berdoa kepada Allah supaya Dia menumbuhkan cinta di antara kami setelah aku menikahinya.”

Deg! Rasa sesak bertambah-tambah dalam dadaku dan air mataku pun jatuh satu per satu. 

“Selama ini … selama ini … aku … aku sudah berusaha untuk berubah menjadi lebih baik agar memenuhi kriteria istri idamanmu, tapi apa? Kamu tak pernah melihatku sedikit pun bahkan setelah semua pengorbanan yang aku lakukan untukmu? Apa kamu tidak terlalu jahat, Gus?” 

“Kamila, aku sangat berterima kasih atas apa yang sudah kamu lakukan. Tapi, keputusanku ini menyangkut hidup seseorang.”

“Jika saat ini aku yang ingin bunuh diri bagaimana? Apa kamu mau menikahiku detik ini juga?” tanyaku dengan wajah nelangsa.

Dia menatapku sedikit sayu. 

“Kamila … kamu perempuan berprinsip, kamu bisa hidup dengan baik tanpaku, aku tahu itu. Tapi, Naysilla belum tentu.”

Air mataku mengalir kian deras, dia berkata seolah sudah sangat mengenalku padahal setiap harinya dia selalu acuh padaku. 

“Selama 17 tahun hidupku, aku sudah mengalami patah hati yang paling besar dan menyakitkan tepat di hari orang tuaku meninggal. Seharusnya sakit hati karenamu sekarang bukan apa-apa. Tapi, aku …” Perkataanku terjeda karena tenggorokanku yang terasa mencekat. 

“aku … aku hanya tidak rela kamu menikah dengan perempuan yang tak sebanding denganmu. Kamu orang yang baik. Tolong, siapapun, Gus … Asalkan jangan Naysilla. Dia sudah tidak suci, dia tidak suci … dia tidak pantas untukmu.” 

“Suci tidaknya seseorang dinilai berdasarkan apa? Keperawanan? Jika iya, itu bukan masalah untukku. Apabila sikapnya yang buruk, aku bisa membimbingnya.”

Deg! Deg! Deg!

“Aku mencintaimu, Gus. Aku mencintaimu, tetapi aku tidak mau menjadi madu.”

“Siapa juga yang bilang aku ingin berpoligami?”

Jdar! Guntur di langit menggelegar keras seiring dengan hujan yang mengguyur deras. Tubuhku luruh ke tanah dan tak bertenaga. Semuanya sudah kandas. Aku menyerah, mungkin memang tidak pernah ada cinta untukku di hatinya. Sampai kapan pun aku tak akan bisa meraihnya. Bagaimana bisa aku meraihnya? Sedang cahaya tak pernah bisa digenggam, hanya bisa dilihat dan dirasakan.

Gus Akmal Rijaluddin, kamu adalah cahaya yang membakar habis hatiku setelah menyinarinya dengan kehangatanmu. 

.
.
.

Bersambung~

Fyi, cerita 99 Surat Cinta telah tersedia lengkap di KBM App, ada ebooknya di playstore, dan versi pdf yang bisa dibeli melalui link naimaadida.carrd.co.

Cerita ini juga di republish setiap bulan Ramadhan, jadi yang mau baca ulang secara gratis bisa nunggu ya.

See u soon.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 11 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

99 Surat CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang