Chapter 2

12 3 0
                                    

Di dalam kamar, aku mengernyit menyadari hpku tidak ada di tempatnya, tapi bagaimana bisa, aku masih ingat tadi kutaruh di atas nakas saat kucharger. Kudekati letak nakas berada, kucari disekitar nakas, bahkan di bawahnya, tidak ada. Dan aku menyadari bahwa tasku yang sebelumnya ada di atas ranjang pun ikut menghilang. Kucari diseluruh kamarku, tetap tidak ada. Kalau begini, pasti ada yang mengambilnya. Kuputuskan untuk mencarinya esok saja, karena saat ini mataku sudah tidak bisa diajak berkompromi.
————————————

KRIIIIING

KRIIIIING

Aku terduduk dengan mataku yang masih lengket lalu mematikan alarm yang berasal dari hpku. Tunggu, hp?!

Aku mengerjapkan mataku sekali lagi. Kucoba mengumpulkan kesadaranku. Bukankah semalam hpku tidak ada? Lalu bagaimana bisa sekarang ada di sini. Aku melongok ke bawah ranjang di samping nakas.
Bahkan tasku sudah kembali. Aku mengambil tasku lalu membukanya. Buku, tempat pensil, bahkan earphoneku masih ada. Kalau begini, pasti benar-benar ada yang mengambilnya lalu mengembalikannya. Tapi untuk apa?

Kulangkahkan kakiku menuju kamar mandi untuk membersihkan diri lalu mengambil baju yang modelnya sama seperti kemarin. Ah, apa mereka tidak punya selera? Mengapa semua bajunya sama, aku bukan tokoh kartun yang selalu memakai baju khas mereka agar dikenali penontonnya.

Aku baru ingat kalau aku membawa jam tangan yang kumasukkan ke dalam tas. Kuambil jam tangan itu lalu memakainya di pergelangan tangan kiriku. Untungnya jam tangan ini cocok dengan bajuku. Sama-sama hitam. Pun aku bersyukur karena di sini waktu masih berjalan 24 jam.

Saat ini jam menunjukkan pukul 6 pagi. Jangan tanya mengapa aku memasang alarm jam 6, karena jadwal masuk sekolahku jam 8. Hah, bagaimana kabar di sana ya. Aku tidak perlu mencemaskan keluargaku karena mereka semua tidak peduli denganku. Bukan, aku bukan anak broken home. Aku cukup bahagia dengan keluarga kecilku. Aku anak tunggal.

Ayahku seorang pengusaha yang cukup kaya. Ibuku seorang desainer baju lokal yang sudah mendirikan butiknya sendiri, bahkan butik itu sudah mempunyai dua cabang. Mereka cukup sibuk dengan pekerjaan masing-masing sehingga mereka memasukkanku ke sekolah dengan asrama agar aku tinggal di sana, dan aku menerima keputusan mereka.

Aku berinisiatif untuk menuju hutan tempat di mana pertama kali aku berada di dunia ini. Siapa tahu aku menemukan jalan pulang. Bukannya aku tidak ingin membantu mereka. Aku hanya penasaran saja dengan apa yang membawaku ke sini di hutan itu.

Jarak antara kamarku dan hutan itu sebenarnya cukup jauh. Entah bagaimana bisa kemarin aku mau mau saja saat diajak kemari dengan berjalan kaki oleh Drake.

Aku keluar dari kamar dengan membawa wireless earphone dan juga hpku. Jujur aku tidak bisa hidup tanpa kedua benda ini. Aku juga berharap di hutan itu ada sinyal, meski sebenarnya tidak mungkin bukan di hutan ada sinyal.

Aku tidak melihat siapapun di luar kamar. Sebenarnya kamarku ini seperti asrama di sekolahku, bangunannya bertingkat-tingkat. Bedanya di sini tidak ada tangga. Sialan, kan. Bagaimana jika sapu terbangmu patah dan kamarmu berada di lantai dua. Tapi kenapa juga aku repot-repot memikirkannya. Toh, kamarku berada di lantai paling bawah.

Di sebelah bangunan ini ada bangunan untuk sekolah. Mereka menyebutnya akadimía, sih. Aku tidak terlalu mengenal tempat ini, belum sempat maksudku.

Aku sampai di hutan beberapa menit setelahnya. Aku melihat sekeliling. Hutan ini berbeda dari hutan biasanya. Ingat kemarin aku bilang ada tanaman seperti bunga matahari namun berwarna ungu? Di sini tidak jauh berbeda, justru banyak tanaman aneh di sini. Warna-warnanya sangat mencolok. Seperti gambaran anak TK, berwarna-warni.

The Second WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang