3

13 0 0
                                    

Tidak seperti wujud luar gubuk ini, didalamnya jauh lebih layak dari luarnya. Banyak foto-foto yang dibuat seperti skema. Dan sebuah komputer tua.

Alvon mengambil sesuatu didalam laci. Dan diperlihatkannya kepada Lecia sebuah sobekkan sampul buku diary yang dipegang Lecia. Sobekkan itu dilumuri darah kering.

Lecia menyatukan sobekkan itu. Terlihatlah satu petunjuk.

"Mereka menyobek yang terkena darah. Tapi mereka kurang teliti. Salah satu kertas ini terkena juga" Lecia mengabil robekkan kertas berlumuran darah kering.

"Ada lagi?" Tanya Lecia.

"Sebenarnya ada, tapi... cuma ini" Alvon memberikan sebuah ikat rambut berwarna hitam yang dibungkusnya dalam plastik.

Lecia membuka kantong plastik itu dan mengamati ikat rambut didalamnya. Setelah dilihat-lihat, ada butiran-butiran pasir putih.

"Pasir putih. Disini ada pantai pasir putih?" Lecia menanyai Alvon.

"Tunggu" Alvon duduk dan mencari seseuatu di komputer tua itu.

"Dia bisa meretas? Dengan komputer tua itu?"

Lecia pun heran dengan apa yang diperbuat Alvon. Seperti tau apa yang dipikirkan Lecia, Alvon langsung menjawab.

"Gue bisa meretas. Kenapa pakai komputer tua? Karena komputer ini adalah komputer paling bagus keamananya. Hanya tinggal dua didunia yang punya komputer ini"

"Komputer tercanggih sekarang pasti bakalan kalah dengan komputer ini. Pembuatnya sudah dibunuh setelah dua bulan komputer ini diluncurkan"

"Skema ini?" Lecia melihat sekitar. Banyak foto-foto orang-orang penting di sekolah ini. Mulai dari kepala sekolah, guru-guru, bahkan staff.

"Tujuan lo kesini buat bongkar semua kan? Gue sudah mengumpulkan semua. Dari dulu gue nunggu lo. Tapi bukti yang gue kumpulin selama ini hanya itu" Alvon menunjukkan sobekkan sampul dan ikat rambut.

"Itu karena lo bodoh" Ucap Lecia dingin.

"Iya gue bodoh. Dan gue nunggu lo yang pintar" Alvon membalikkan kursinya dan menatap Lecia lekat.

"Udah berapa lo dapat ini ikat rambut ini?" Tanya Lecia menunjuk ikat rambut.

"Mungkin dua bulan yang lalu"

Lecia hanya mengganggukkan kepalanya.

"Selesai" Alvon membalikkan lagi kursinya didepan komputer.

Terlihat dikomputer tersebut maps yang berbeda dengan maps sekarang. Hanya berwarna negatif, dan banyak sekali simbol-simbol yang tidak diketahui Lecia.

"Tunggu sebentar lagi" Alvon menunggu tulisan itu hingga menjadi seratus persen. Dan selesai.


Ting!!!


Nontifikasi handphone mereka berdua berbunyi. Lecia membuka handphonenya dan terlihatlah maps yang mirip dengan komputer.

"Kok bisa?" Lecia heran kenapa maps itu bisa terkirim ke handphonenya.

"Udah gue bilang, gue peretas"

"Simbol persegi enam adalah pantai. Jaraknya enam kilometer dari sini. Pertanyaannya, kita pakai apa kesana?"

Lecia mengambil sesuatu di kanton celananya. Sebuah kunci mobil, Alvon yang melihatnya pun tersenyum.

Handphone Alvon berbunyi.

"Ya Yah?"

"..."

"Alvon lagi diwarnet Yah, abis dari warnet Alvon langsung ke caffe"

"..."

"Jago juga lo" Lecia tersenyum.

Alvon yang melihatnya pun tertegun. Baru kali ini dirinya dipuji oleh seseorang selain Ayahnya. Walaupun pintar, Alvon tidak memiliki satupun teman. Mereka menganggap Alvon tidak selevel dengan mereka dari sudut ekonomi.

Alvon hanya anak penjaga sekolah yang dapat Sekolah di SMA ternama di Kota ini dengan hasil kasihan.






***








Mereka pun sudah sampai disebuah pantai yang tersembunyi. Kepantai ini pun mereka harus melewati semak-semak belukar selama kurang lebih dua puluh menit.

"Cari gundukan pasir yang menurut lo aneh. Gak mungkin ditengah, cari dipinggir semak-semak" Perintah Lecia.

Lecia dan Alvon pun berpencar mencari gundukan. Setelah beberapa menit mereka tidak melihat apa-apa. Alvon mencoba beristirahat sebentar.


Alvon duduk mengarah ombak laut. Menatap ombak laut yang selalu menghempas pasir pantai. Langit sudah mulai gelap, tetapi seperti tidak ada perasaan takut oleh seorang perempuan disana. Dia menyenteri sepanjang semak-semak disana.

Lecia berbalik badan. Walaupun gelap, tetapi remang-remang cahaya rembulan membuatnya masih bisa melihat wajah Alvon.

Lecia segera berjalan ke arah Alvon. Dan menendangnya dengan keras. Alvon pun terkejut.

"Auu.. Sakit goblok! Kenapa tendang sembarangan?!" Teriak Alvon.

"Lo goblok! Yang lu dudukin itu apa!"

Alvon melihat apa yang didudukinya. Ternyata sebuah gundukan pasir. Alvon pun mengambil sebuah skop dan membongkar gundukan tersebut.

Setelah beberapa menit membokar. Terlihatlah sesuatu yang mengejutkan mereka berdua.

Sebuah mayat manusia yang terlihat sudah membusuk sebagian.






***







"Eh lo liat berita gak. Ada mayat yang ditemukan di pantai dekat sini. Ternyata mayat itu mayat anak alumni tahun ini"

"Beneran? Gila sih"

"Katanya itu kakak kelas kita yang mimpin geng cewek-cewek disini. Lo tau kan"

"Katanya dia ngilang sebelum jadi alumni tapi ada yang bilang juga udah jadi alumni"


Katanya, katanya, katanya. Lecia muak dengan kondisi kantin sekarang. Bukannya berduka, orang-orang hanya membicarakannya seperti sebuah bahan gibahan yang harus dibahas.

Padahal Lecia sudah menahan perkataan mereka, bersikap tidak mendengar sama sekali. Namun tetap saja telinya panas mendengarnya.


Byurrr...


Sebuah cairan kental, dingin dan lengket mengalir dari atas kepala Lecia. Lecia menahan amarahnya saat melihat seorang perempuan yang berdiri hadapannya.

"Balasan buat lo yang berani-beraninya buat Elio babak belur" Ucap perempuan itu dengan tangannya yang terlipat didada.

Lecia terkikik pelan dan perlahan tertawa terbahak-bahak. Membuat perempuan itu terheran.

"Cewek sinting! Cowok lo yang babak belur, lo yang balas ke gue? Cowok cupu"


Perempuan itu tidak tahan, tangannya terangkat ingin menampar. Namun tidak jadi karena seseorang menahannya.
















-TBC.












Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 28, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Who Are You?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang