9. Marble Cookies

109 24 112
                                    

Kudapan dengan gradasi warna serta rasa yang dipadu untuk menyatu.
Begitupula dengan beragam sifat yang disatukan untuk berpadu dalam kisahku.

🍪🍪🍪

Dua hari tidak menjejakkan kaki di sekolah, ternyata cukup membuat selasar rindu di sudut hatiku. Kendati tak menampik bahwa sebagian besar dari mereka masih memandangku dengan tatapan menguliti. Akan tetapi aku mulai menikmati kegiatanku menimba ilmu di tempat ini.

Usai berpisah dengan Saras–dikarenakan tempat duduk kami yang berbeda–aku menempatkan diri pada bangku yang sudah berbulan-bulan ini menemaniku.

"Gemi, sudah sembuh?"

Aku mengangkat pandangan yang semula tertunduk, kini menatap pada empunya suara. Bisa kalian tebak siapa yang menjumpaiku?

"Sakit apa?" tanyanya saat mengambil tempat di sisi kiriku. "Aku sampai tanya ke TU, alamat Gemi di mana? Tapi ngga dikasi," sambungnya seolah tanpa henti.

Beberapa siswa yang lalu-lalang memasuki kelas ini, tentu saja melihat ke arahku. Entah menengok sekilas, atau menatap sembari menambah cibiran. Tuhan ... bolehkah Na menginginkan ketenangan?

"Lo, ngapain di sini Bin? Kelas Lo, kan di lantai dua!" hardik Kak Riza yang tetiba juga muncul di hadapanku.

"Terserah gue! Lo sendiri ngapain, Za? Lo mundur kelas?" Ocehan Kak Bintang hanya dianggap angin lalu oleh Kak Risa.

Teett ... teett ... tteeeettt ....
Bunyi bel panjang sebagai penanda akan dimulainya pelajaran, terasa menjadi penyelamat bagiku. Pasalnya, kini mereka berdua bersiap meninggalkan tempat ini.

"Jangan lupa minum obat satu jam lagi. Ke kantin tunggu aku, jangan jalan sendirian!" pesannya seraya berlalu meninggalkanku.

Sekilas terdengar cibiran Kak Bintang, "sok banget berkuasa." Yang hanya mendapatkan tanggapan berupa tatapan tajam dari Kak Riza.

Erika yang nampak datang bersamaan saat bel berbunyi, bergegas menuju bangku sisi kiri.

"Aluna!" Pekikan setengah nyaring. Dan disambung dengan, "Ika kangen!" Seraya menghambur untuk memelukku.

"Uhhuk ... lep-pasin, Ka!" Kutepuk berulang lengan dan bahunya yang terasa menyekik itu.

"Hehehe ... maaf! Ika senang, Luna sudah masuk lagi," ujarnya riang.

"Ini beneran gak ada pr kan?"

Ia menggeleng seraya mengangkat kedua jempol tangannya. Sepersekian detik ia berkata, "jangan sakit lagi! Ika gak ada temennya."

Ungkapan Erika membuatku terkikik geli. "Kan sudah ada Chessa yang siap nemenin kemanapun dan kapanpun," godaku padanya.

"Tetep aja beda, Na. Lagian Ika kan cuma satu, gak kayak Luna punya dua. Kak Riza sama Kak Bintang."

Aku memutar bola mata sebagai pertanda keengganan untuk menanggapi ucapan Erika. Tepat saat itu pula, seorang wanita paruh baya masuki ruang kelas kami untuk memulai prosesi belajar-mengajar.

~~~

Aku berusaha mencerna mata pelajaran pertama yang mengusung tentang ilmu interaksi antar manusia ini. Kendati sejak tadi teman sebangku terus saja tak tinggal diam.

"Bentuk-bentuk interaksi sosial meliputi; kerjasama, akomodasi, akulturasi, asimilasi, persaingan ...." terang Bu Sri, guru sosiologi.

Tatapanku sejak tadi terkunci pada penjabaran beliau. Akan tetapi, suara Erika–yang berulang kali memanggil–memaksaku untuk mengalihkan pandangan padanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 10, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

🆂🅴🆃🅾🅿🅻🅴🆂 ʀᴇᴍᴀʜᴀɴ ʙɪskᴜɪᴛTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang