Amara merenggangkan otot tangannya yang kaku karena terus menulis. Mempunyai tulisan yang cukup bagus, membuat Amara mau tak mau harus mengikuti kemauan gurunya yang mengharuskan ia menulis cerita dan akan di lombakan.
Amara melirik jam yang berada di ujung perpustakaan. Sudah menunjukkan pukul 3 sore lewat 15 menit. Yang artinya ia sudah berada di perpustakaan selama 45 menit setelah pulang sekolah. Amara menatap kertas yang berisi tulisan tangannya. Sungguh, kalau ia menyelesaikan sekarang, bisa bisa ia pulang larut malam.
Amara merapihkan semua buku dan alat tulisnya dan memasukkannya ke dalam tas. Sekolah tidak biasanya sepi seperti ini, biasanya banyak anak lelaki yang bermain bola atau sekedar menongkrong didepan sekolah.
Baru saja Amara keluar dari perpustakaan, ada lelaki jatuh tepat didepannya. Namun, Amara mendengar sangat jelas benturan kepala lelaki itu dengan lantai. Amara berjongkok sambil menggigit jarinya. Kebiasaan ketika ia sedang panik atau pun khawatir.
"Kamu nggak apa apa? Ada yang sakit?" Lelaki itu hanya diam dan tidak menatap Amara. Ia memegang kepalanya yang sakit akibat terbentur lantai tadi.
"Aku bawa kamu ke UKS ya?"
"Enggak."
Amara menegang ketika mendengar suara dari lelaki itu. Amara ingat betul siapa pemilik dari suara ini. Amara langsung berdiri dan menatap lelaki itu yang masih duduk.
"Tapi, kepala kamu merah." Lelaki itu mendengus sebal dan berdiri lalu menatap Amara. Amara mencoba menahan degupan jantungnya.
"Urusannya sama lo apa, sih? Gue cowok, jatoh segitu nggak ada apa apanya buat gue." Ucapnya lalu pergi begitu saja meninggalkan Amara yang mematung.
"Kamu nggak inget sama aku, Tha?" Lirihnya pelan. Namun, lelaki itu masih bisa mendengar dan memberhentikan langkahnya. Amara menempis air matanya yang jatuh begitu saja. Ia tidak sadar kalau Artha, lelaki itu masih berada di belakangnya. Perlahan, Amara pergi meninggalkan Artha yang menatap punggungnya yang lama kelamaan menghilang.
'Senang rasanya saat bertemu lagi denganmu. Namun sayang, kamu tidak mengenalku lagi. Sedih rasanya melihat kamu yang begitu acuh. Tidak bisakah aku memutar waktu, saat pertama kali kita bertemu? Aku ingin melihat senyuman manismu lagi.'— ✨
Amara segera berlari setelah menempelkan secarik kertasnya lagi di mading. Yang ia butuhkan saat ini hanyalah menyendiri dan melupakan kejadian tadi. Jujur, hatinya sangat sakit melihat Artha yang sama sekali tidak mengenalinya.