GE.2

76 66 1
                                    

Aku kembali menggulung kertas kusam yang dimiliki setiap Golden Eyes secara turun-temurun. Aku menunduk lesu kemudian menghela napas lelah sembari berucap lirih, "Kenapa harus aku?"

Sungguh, aku tak ingin abadi. Aku tak ingin hidup seperti ini, selalu dicari ke mana pun aku pergi. Lebih baik aku menjadi gadis normal, hidup dengan damai tanpa harus memikirkan tempat persembunyian yang aman.

Aku membenci seseorang yang telah memberikan mata ini, seseorang yang membuatku harus meninggalkan satu-satunya teman hidup yang aku miliki, William. Mengingat William aku jadi teringat perkataan wanita yang memberikan mata ini, tepat di hapadan William. Katanya, "Maafkan, Aku. Seorang Golden Eyes tidak bisa bersanding dengan manusia normal. Karena, energi yang dimiliki manusia normal akan terserap oleh orang pemilik Golden Eyes, sehingga manusia normal itu mati lebih cepat."

Bukankah itu tandanya ia egois? Kenapa memberikan mata ini kepadaku jika ia tahu aku dan William harus berpisah?

Tak.

Aku tersentak kala sebuah anak panah menancap pohon tempat aku bersandar hingga menggores telingaku menimbulkan rasa perih. Aku bergegas menaiki kudaku dan mengendarainya secepat yang aku bisa. Berkali-kali aku harus belok mendadak untuk menghindari pohon yang menghalangi jalanku. Ranting pohon yang menggores kulit dan wajahku tidak aku hiraukan, yang aku pikirkan hanya lolos dari kejaran The Darkest.

Tak.

"Akhh...." Aku berteriak ketika anak panah mengenai kudaku hingga aku harus terjatuh. Tak ingin membuang-buang waktu, aku segera bangkit dan berlari sambil menahan rasa sakit di lenganku akibat terjatuh tadi.

Aku mengulas senyum tipis ketika mataku menemukan tempat yang tepat untuk lolos dari kejaran The Darkest. Seperti Golden Eyes yang memiliki kelemahan karena kemampuannya sama seperti manusia normal jika tidak ditingkatkan, The Darkest pun memiliki kelemahan yaitu, cahaya matahari.

Dengan pasti aku berlari menuju danau yang di sekitarnya hanya rerumputan tanpa pohon menjulang tinggi hingga cahaya matahari dengan leluasa menyinarinya. Aku berlari hingga tubuhku melayang di atas danau dan terjatuh ke dalamnya sedetik kemudian. Luka gores di tubuhku mengenai air danau yang dingin membuat rasa ngilu menjalar menimbulkan sensasi merinding. Kedua tanganku bergerak hingga aku mencapai permukaan, aku memandang orang-orang The Darkest yang berlari pergi bersama kudanya.

Merasa keadaan aman, aku segera ke tepi danau berjalan dengan susah payah karena gaun yang aku kenakan basah kuyup membuatnya terasa berat untuk dipakai.

"The Darkest nyaris membuatmu mati, ya?" Aku menoleh ke sumber suara dan kutemukan seorang gadis yang tengah mengelilingi danau dengan kudanya sambil menembak anak panah yang tepat mengenai sasaran. Aku terus memandanginya, panah itu tak pernah melesat dari sasarannya. "Aku abadi," ucapku menjawab pertanyaanya.

Golden EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang