Hari ini sekolahnya ramai daripada biasanya. Gadis dengan rambut panjang itu masih setia berjalan di koridor, memeluk buku-buku pelajaran yang hendak ia pelajari di perpustakaan pagi ini. Wajahnya tertunduk, memperhatikan langkah lewat kaki-kaki yang ia lihat. Memang, sudah bukan rahasia lagi bahwa Hyuuga Hinata—yang hanya pintar di bidang olahraga—sedikit sombong karena selalu saja diam dan tidak ada orang yang betah di sampingnya.
Hinata sedikit keheranan, karena sekolah tidak biasanya ramai seperti ini. Apalagi di jam yang bahkan masih lama untuk memulai pelajaran pertama. Dia menghela nafas pelan-pelan. Mungkin saja para murid di sini serentak masuk pagi. Atau semacamnya.
"Hinata-chan?"
Merasa terpanggil, Hinata mendongak. Sedikit terkejut melihat adik Naruto—sahabat masa kecilnya memanggilnya sambil membawa sebuket bunga. Hinata terdiam sesaat. Mungkin saja Karin mendapatkan bunga itu dari seseorang yang menembaknya. Kekasih? Hinata merasa bersyukur dan ikut bahagia kalau itu memang benar-benar dari seseorang.
"Hinata-chan. Kenapa masih di sini?" Karin menyatukan alisnya sambil melihat Hinata. Terlihat bahwa gadis Hyuuga itu sedang bersiap ke perpustakaan. Lalu dengan buru-buru Karin kembali bertanya, "bukannya kamu ikut ya?"
"Eh." Hinata terdiam kemudian menggeleng tidak mengerti. "Ke mana?" tanyanya membuat Karin langsung mendekatkan dirinya pada Hinata.
"Hari ini hari peringatan nii-chan yang ke sepuluh tahun." jawab Karin kemudian tersenyum.
Hinata memerhatikan itu. Senyuman tulus yang memperlihatkan bahwa Karin sangat amat merindukan Naruto. Mendadak jantung Hinata berdebar begitu kencang. Ia juga, ia juga rindu akan Naruto. Suaranya, bujukannya, dan lain-lain. Dan hatinya nyeri di saat melihat Naruto terbaring tidak berdaya di atas kasur, dengan kupluk yang menutupi kepalanya, saifrnya yang terlihat sayu.
Karin memegang lengan Hinata, masih tersenyum, dia kembali berbicara. "Kau sudah di tunjuk Ayah untuk mewakili kelas, menghadiri hari peringatan nii-chan." katanya dengan lembut.
"Aku?" Hinata menunjuk dirinya sendiri sambil menggeleng pelan. "Tapi aku—aku takut—" ucap Hinata lirih. Dia takut nanti dia menangis meraung-raung, takutnya akan kehilangan kendali yang berakhir dengan mencemar nama baik Hyuuga.
"Jangan takut." kini Karin tersenyum lembut, menguatkan Hinata. "Semua yang diikut sertakan akan diberi surat izin."
Hinata terdiam lagi, berpikir apakah ini salah ataukah ... tapi entahlah, dia merindukan Naruto, dia ingin bersama Naruto. Dia ingin bersama sahabat kuningnya itu. Walaupun kenangan bersamanya tidak banyak. Dia ingin merasakan kehadiran Naruto di sana.
"Jadi, bagaimana?"
"Baiklah."
Mungkin ikut tidak jadi masalah. Kepalanya sudah mumet dengan pelajaran di Sekolah, di tambah sindiran-sindiran keras Ibunya agar ia bisa mengikuti jejak kakaknya. Akhir-akhir ini Hinata sering tertekan dan berusaha keras menahan emosinya meledak-ledak, alhasil dia pergi ke kamar mandi dan memendam semuanya.
Sesekali Hinata melirik ke arah Uzumaki Karin yang sedang menyapa orang-orang dewasa—yang seumuran dengan Namikaze Minato—Ayah Karin—serta pemilik Sekolahnya. Karin tampak ramah dan menyapa dengan senyuman di wajahnya. Tidak lupa, dia juga melihat Minato dan Kushina di sana sedang mengobrol. Kalau di lihat lebih jelas, wajah Kushina—Ibu Naruto dan Karin—sangat pucat. Siapa yang tidak sedih di tinggal meninggal anak kesayangannya? Hikari, Ibu Hinata, juga seperti itu. Diam-diam dia melihat Hikari menangis tengah malam jika sedang di rumah.
"Hinata? Astaga, kau benar-benar Hinata kan?!"
Hinata terperanjat. Hampir saja teh yang dia pegang jatuh. Dengan perlahan, dia mendongak melihat siapa yang baru saja memanggil namanya. Di sana, pria dengan rambut yang sama seperti Naruto—berjalan ke arahnya memandangnya dengan ekspresi terkejut.
"Astaga, kau benar-benar Hinata!" dia menyeru lagi lalu dengan cepat memeluk Hinata, setelah itu tidak lama kemudian Minato melepaskan pelukannya. "Lama tidak berjumpa, Hinata." dia tersenyum dan senyumannya mirip seperti Naruto.
"Na—Namikaze-sama..." Hinata melirih. Ekspresinya sekarang sudah murung, kembali mengingat Naruto. Hinata menggeleng pelan, sadar akan ketidak sopanannya. Dia tersenyum.
"Anata? Kau baik-baik saja?" suara wanita menyusul. Dan Hinata melirik wanita itu. Itu Ibunya Naruto! Cantik, elegan, dan aura keibuannya terpancar membuat Hinata iri. Kenapa Ibunya tidak seperti Ibunya Karin?
"Lihat, sayang, ini Hinata!" Minato menyeru kesenangan membuat Kushina melebarkan matanya. Benar-benar tidak percaya dengan apa yang dia lihat.
Perlahan, Kushina mendekati Hinata lalu mendekapnya. "Hinata sayang ... kau sudah besar, cantik sekali." dia melepaskan pelukannya, namun masih memegang kedua bahu Hinata. "Ya ampun, kapan terakhir kali aku melihatmu, Hinata? Kau tambah cantik seperti Ibumu, Hinata." Kushina tersenyum penuh haru.
Hinata diam, dia bingung ingin bereaksi seperti apa.
"Tapi kalau semisalnya Naru masih ... ada di sini ... mungkin aku akan menjodohkannya denganmu, Hinata-chan!" Kushina menyeru kesenangan
Hinata dapat melihat foto Naruto di depan sana, foto Naruto ketika berumur sembilan tahun—sebelum di vonis kanker otak yang menjalar di tubuhnya. Hatinya berdenyut melihat foto itu. Tidak menyangka bahwa sahabatnya bisa pergi secepat itu. Bahkan, setahun setelah Naruto meninggal, kakaknya menyusul.
Hinata merasa hidupnya hampa, orang-orang yang dia sayangi pergi begitu saja. Tanpa ucapan selamat tinggal sekalipun. Huh, dua orang itu—Naruto dan Neji—bisa-bisanya dengan tega mereka meninggalkan dirinya seorang diri disini.
"Naa, Hinata-chan," Kushina memanggil. Mengamit kedua lengannya. "Bagaimana kabar Hikari?" Sorot iris hitamnya menatap mata Hinata layaknya seorang Ibu yang merindukan anaknya.
Meringis, Hinata tahu. Ibunya baik-baik saja kalau dilihat dari cara beliau mengomel. Omelan pedas yang membuat hatinya perih. Pastilah dia baik-baik saja, sehat-sehat saja. "Kaa-sama baik-baik saja, Bibi." Hinata tersenyum padanya.
"Masih seperti itu ya?" Pertanyaan Kushina membuat Hinata bungkam. "Hikari ... dia masih seperti itu ya?" Ulangnya lagi. Namun, Hinata hanya menunduk, tidak ada niatan untuk menjawab. Lantas, Kushina menghela nafasnya panjang. Tahu seperti apa sifat Hikari karena dia adalah teman semasa sekolahnya. "Jangan dipikirkan, Hinata-chan," sambil mengelus pelan kedua tangan Hinata, Kushina tersenyum teduh, "semua orang memiliki kelebihan serta kekurangannya sendiri. Yang aku tahu dari Karin, kau itu selalu mengikuti kejuaraan voli kan? Itu hebat, Hinata-chan!"
Tubuhnya bergetar seketika. Kalimat terakhir Kushina membuat Hinata merasakan getaran aneh didalam dirinya. Hatinya menghangat, bahkan dia tidak percaya dengan pendengarannya. Baru kali ini dipuji oleh seseorang. Sungguhan. Ia seperti dibawa terbang keatas langit. "Teri—Terima kasih, Bibi." Bibirnya membentuk senyum.
Kushina menarik Hinata dalam pelukannya, mengusap pelan punggung gadis itu. Sambil mengingat masa lalu; dimana Hinata, Neji, serta Naruto, dan Karin bermain bersama dirumahnya. Berlarian kesana kemari sampai-sampai suaminya takut mereka jatuh. Sebuah kenangan di masa lalu, kenangan manis yang singkat yang akan selalu dia ingat.
"Hinata-chan kah? Kaa-chan, dia mirip tenshi." Suara mungil dan cempreng milik Naruto disaat pertama kalinya bertemu dengan Hinata bergema didalam telinganya.[]
KAMU SEDANG MEMBACA
ANOTHER LIFE (ON GOING)
Fanfiction[ TERBIT SETIAP HARI RABU ] "Naruto meninggal dunia." Mendengar kalimat yang di ucapkan Kakaknya, Hinata menagis keras. Teman yang baru saja Hinata jenguk itu sudah meninggal dunia. Yang pada akhirnya tidak akan bisa hidup lagi, dan tidak akan bisa...