Mozaik 1

79 6 0
                                    


Kala itu, matahari bersinar cukup terik. Jamal yang sedang bekerja sebagai buruh di pasar itu terengah-engah. Kaos putih lusuh yang warnanya sudah kecoklatan itu ia lepas, kemudian ia lingkarkan di lehernya. Dengan sobekan kardus bekas mi instan ia mengipasi dirinya sendiri, keringat buruh kasar itu terlihat mengkilap di kulitnya yang sawo matang.

"Jamal, angkut karung yang ada di truk itu ke gudang tokoku", kata may, perempuan berusia paruh baya yang sering menggunakan jasa Jamal.

Jamal tersenyum dan membuat tanda mengiyakan dengan ibu jarinya. Tak butuh waktu lama bagi Jamal memindahkan karung-karung berisi beras itu, bahunya yang luas dan dadanya yang bidang menjadi keuntungan baginya. Ah iya, ia tidak pergi ke pusat kebugaran untuk itu, ia hanya terbiasa mengangkat beban sehingga tubuhnya terebentuk dengan sendirinya. Setiap hari, selama bertahun-tahun, Jamal mempertaruhkan tenaga dan menggantungkan hidupnya di pasar itu.

Dari sudut pandang orang awam, pastilah hidup jamal terbilang keras. Gaji yang ia dapatkan, hanya cukup untuk makan sehari-hari, besoknya, harus cari makan lagi. Utang pun begitu, hari ini ia berhutang rokok sebungkus di warung, besoknya di bayar, kemudian lusa, ia mengutang lagi. Begitulah waktu berjalan bagi Jamal. Sebagai anak tunggal dan karena sudah yatim piatu, ia tidak bisa berkeluh kesah pada siapa pun lagi. Istri ?, ah sudahlah, tidak usah membahas hal sudah pasti mustahil bagi Jamal, siapa pula yang mau berbagi beban hidup dengan seorang buruh kasar rendahan seperti dia itu.

Tapi rupanya, Tuhan tidak lupa memberi ujian lain. Hidup yang sudah semrawut itu ditambah dengan hal lain yang menyulitkan Jamal. Mata jamal minus parah. Terakhir ia memeriksakan diri di puskesmas dengan BPJS, minusnya tembus 6,75 , sebuah angka yang sekiranya pas untuk memberi nilai matematika anak yang tidak cukup pandai namun juga tidak dungu sekali. Mata minus yang kurang ajar dan tidak tahu diri itu membuat Jamal harus memakai kacamata yang tebal.

Sebenarnya tidak mungkin juga kalau Jamal tidak mengeluh dengan kondisi itu, tapi ia hanya memendamnya sendiri sembari sesekali mengumpat lirih. Saat cuaca hujan, rintik air hujan itu menggenangi kacamatanya. Hal ini tentu mengganggu geraknya, Jamal sering terpeleset gara-gara itu, kurang ajar betul!. Saat jalanan berdebu karena panas dan ia mengenakan masker, ketika Jamal bernapas, kacamatanya berembun. Kesabaran memang harus dipupuknya dalam-dalam di dada laki-laki itu.

KACAMATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang