Jamal merogoh sakunya, ada selembar uang dua puluh ribu di sana. Ia menoleh ke agus di parkiran yang sedang mencoba mengeluarkan sepedanya di tengah himpitan puluhan sepeda motor.
"Gus ..., mi ayam di ujung gang rumah gimana ?", kata Jamal sambil tersenyum.
"Ok, Siip .. , lessgooo", timpal Agus seraya memberi isyarat kepada Jamal untuk membonceng.
"turun, Gus. Biar aku saja yang boncengin ", Jamal menarik kerah baju Agus, menyuruhnya untuk turun dari sepedanya.
"kamu ganteng pakai kacamata baru, ah ...tapi kamu nyeker, Mal. hahahaa", Agus tertawa melihat Jamal.
"Bangsat kamu, Gus", Jamal ikut menertawakan dirinya.
Mereka berdua melaju pelan di antara hiruk dan pikuknya jalanan Jakarta. Sesampainya di warung mi ayam, jamal mengeluarkan uang yang tinggal satu-satunya itu. "Makan sini dua, pak", kata Jamal.
"wah ... ndak cukup pakai minum ini , Mal", kata Pak Bejo penjual mi ayam itu.
"nggak apa, rumah kita dekat", Agus menimpali.
Tidak butuh waktu lama, mi ayam itu hadir di depan mata Jamal dan Agus. Mereka bersiap menyantap lahap, seolah tidak peduli bahwa sebenarnya di bawah pijakan warung yang mereka tempati sekarang adalah sebuah selokan mampat yang baunya sungguh menyengat karena hujan.
"sial...", Jamal mengumpat lagi.
"Apalagi sih, Mal ?", Agus menimpali keluhan Jamal dengan mulut penuh mi ayam.
"kacamataku berembun, Gus, Mi ayamnya panas", kata Jamal sambil tertawa.
Jamal menyantap satu suapan terakhir mi ayamnya, perasaannya hari itu campur aduk. Ia merasa kenyang dengan semua hal itu. Namun kemudian, di beranda hatinya yang gelap itu, ia mengucapkan syukur.
Setidaknya kalau pun tidak ada keluarga, tapi ia memiliki Agus. Kalau pun ia harus bekerja lebih keras dan kasar dibanding orang lain, tapi ia memiliki tubuh yang sehat. Kalau pun ia tidak memiliki lebih bahkan sekadar untuk membeli sandal baru, tapi setidaknya ia memiliki cukup untuk memenuhi perutnya. Kalau pun ia tidak bisa melihat dengan jelas, tapi ia memiliki kacamata yang selalu menemaninya setiap saat. Ia bersyukur karena itu, amat bersyukur.
Ah , Di dunia ini, ternyata Tuhan hanya memberi kebahagiaan sebatas kotak, seperti batasan sebuah frame di kacamata Jamal. Maka dari itu, manusia tidak perlu berlebih-lebihan.
Pekalongan, 28 April 2020.
iroh
KAMU SEDANG MEMBACA
KACAMATA
Short StorySetiap hari terasa begitu berat, Tuhan seolah tidak lupa untuk memberi ujian kepada hambanya, tidak terkecuali kepada Jamal, seorang buruh rendahan yang menggantungkan penglihatannya pada sebuah kacamata. Tapi benarkah Tuhan hanya memberikan kebahag...