satu - senja yang berbeda

69 22 5
                                    

Riska, perempuan yang mungkin sudah tidak percaya lagi akan kata cinta. Menurutnya, semesta tidak pernah adil dalam menetapkan keputusan, karena ia telah menghadapi terlalu banyak perpisahan. Di dalam hidupnya terdapat banyak awan mendung yang sulit untuk diusir, sekalipun dengan sinar-sinar cinta yang sudah ribuan tokoh masuk ke dalam ceritanya.

"Ngga semua yang pergi bisa kembali seperti semula lagi, Ka," wejangan pagi ini dari wanita paruh baya yang separuh jiwanya ia persembahkan untuk Riska.

"Riska berangkat dulu ya, ma. Riska sudah minta mang Asep untuk bersihkan tamannya nanti sore."

Ia segera bergegas sebab jadwal bis yang akan ia naiki sebentar lagi tiba.
Seperti biasa, ia terlambat mendapatkan tempat duduk, semua tempat duduk sudah terisi penuh dengan banyak penumpang yang ada. Sesekali ia melihat keadaan di luar sambil berdecak, "kota memang tidak ramah, keramaian di mana-mana".

Ia memakai airpods nya, memutar lagu-lagu yang mungkin sudah ribuan kali ia putar. Menurutnya, lagu-lagu itu menyimpan banyak kenangan dengan orang-orang yang sekarang sudah tidak ada lagi di dunianya.

***

"Ka, nanti lo pulang bareng gue, ya!" Ucap Radit, satu-satunya sahabat Riska.

Tanpa Riska menanggapi, Radit pun sudah tahu kalau jawabannya tidak pernah jauh dari "ya".

"Ada yang mau kenalan sama lo, Ka, denger-denger sih anak Teknik,"

"Dit, denger ya, lo udah ngasih gue banyak cowok yang kata lo bisa bikin gue pelan-pelan ngehapus sosok Angkasa dihidup gue. Tapi ternyata? Udah lah, Dit, gue capek sama ajakan lo,"

"Kali ini dia beda, Ka. Udahlah ayo ke kafe, ngga enak bikin orang lama-lama nunggu," ajak Radit sembari menarik tangan Riska.

***

"Riska, ini Fahri. Fahri, ini Riska." Ucap Radit sebagai kalimat permulaan kedua insan tersebut berkenalan.

"Fahri, anak teknik." Jelasnya sambil melukiskan senyuman pada wajahnya.

Semesta, lihat. Tidak ada yang berbeda, selalu sama dengan sebelumnya. Batin Riska.

"Nanti malam bisa keluar, Ka?" tanya Fahri.

"Ngga bisa, Ri, maaf." Riska dengan cepat meresponsnya tanpa peduli akan seberapa hancur hati Fahri mendengarnya.

Tak lama, Riska dan Radit pergi ke kelasnya, membicarakan Fahri yang baru saja mereka temui di kafe.

"Lo ngga boleh gitu, Ka, ngga bagus nolak ajakan orang."

"Bukannya nolak, gue emang ngga minat."

***

Riska sampai ditempat ia pulang. Memeriksa keadaan taman, lalu kembali ke kamarnya. Ia melepaskan segala penat dan tanpa sadar sudah terlelap. Cepat sekali memang membuatnya hilang sadar sementara. Riska terbangun sebab sosok Angkasa hadir di mimpinya. Entah, ini mimpi buruk atau malah indah menurutnya.

Ia segera membuka notifikasi-notifikasi yang sudah sedari tadi tidak bisa berhenti bersuara. Ternyata terdapat banyak sekali panggilan-panggilan tak terjawab. Ia memastikan, meneleponnya lagi.

"Maaf, ada apa, ya?"

"Ini Fahri, Ka. Anak fakultas teknik yang siang tadi menemuimu di kafe."

"Oh, ya, Ri. Ada apa?"

"Alamatmu benar di jalan Anggrek nomor 15, Ka?"

"Iya,"

"Boleh keluar sebentar ngga, Ka?"

"Ok, Ri. Tunggu,"

***

"Ta, kamu tau ngga kenapa senja selalu memancarkan keindahannya saja?"

"Memangnya apa sisi buruk senja, Sa? Setahuku ia hanya mempunyai sisi indah saja."

"Kamu salah, Mentariku. Senja banyak menyimpan kesedihan. Ia ingin sekali menyinari kehidupan Angkasanya. Namun tetap saja, ia tidak bisa. Karena semesta menakdirkan Mentarinya hanya menyinari bumi saja, tidak dengan Angkasanya." Jawab Angkasa hingga membuat Mentari nya tak bisa berkata-kata.

Sepertinya tenggelamnya senja kali ini membawa berita buruk untuk Tari, tidak seperti senja-senja yang pernah ia saksikan bersama Angkasa sebelumnya.

"Jadi maksudmu aku ngga bisa menyinari kehidupanmu, Sa?"

"Iya, Ta, sebentar lagi kisah kita akan berakhir. Tapi yang berakhir hanya kisah kita, bukan cinta kita, Ta,"

"Untuk apa aku terus-menerus mencintai insan yang tidak semesta takdirkan untukku, Sa?"

Mentari menangis di pundak Angkasa, menumpahkan semuanya sebelum ia ditinggalkan Angkasa satu-satunya itu.

"Kamu masih berhak mencintai apa yang ngga semesta takdirkan untukmu, Ta. Perlahan kamu akan mengerti,"

Semesta, aku tak kuasa meninggalkannya, atau mungkin aku tak bisa. Ia terlalu lembut untuk tersakiti. Pikir Angkasa.

***

Riska membukakan pintu untuk Fahri, membiarkan kendaraan milik Fahri parkir di garasinya.

"Kamu ngga ada pikiran mengganti jawabanmu tadi, Ka?"

"Kamu mengajakku lagi, Ri?"
"Sebenarnya aku ngga terlalu sibuk hari ini, mungkin bisa jika hanya pergi sebentar mengelilingi kota."

***

Tari bingung harus menjawab apa, semua kata tidak tepat untuk menjawab pernyataan Angkasa. Ia bungkam. Dan sementara itu, matahari perlahan tenggelam dengan indahnya, tanpa peduli dengan sepasang kekasih yang sedang kebingungan harus diapakan hubungan mereka.

"Sekarang waktumu pulang, Ta. Sudah petang,"

Lagi-lagi Tari hanya diam.

Sa, mengertilah, aku tidak ingin pergi darimu. Pikir Tari sembari berharap Angkasa mendengar isi hatinya.

Angkasa tak mengerti apa yang Tari pikirkan. Menurutnya, jalan terbaik adalah mengantarkan Tari pulang. Karena jika bersamanya, ia hanya bisa membuat Tari menangis terus-menerus.

Ta, kisah kita telah berakhir disini. Yang kamu sebut Angkasamu ini hanya bisa menyakitimu tanpa tahu bagaimana menyembuhkan lukamu, Ta. Perlahan, kamu akan mendapatkan obat terbaik untuk menyembuhkan segala lukamu, Ta. Terima kasih sudah menemaniku, aku mencintaimu tanpa mengharapkan balas. Semoga semesta bisa mengirimkan yang terbaik untukmu, ya. Ucap Angkasa setelah mengirimkan Mentari kesayangannya ke pelabuhan.

Mentari yang tenggelam [COMPLETED!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang