dua - kembali

70 23 3
                                    

Mereka berdua menikmati angin malam yang juga dihiasi dengan lampu-lampu yang saling gemerlapan. Mereka bisa melihat penghuni-penghuni kota yang akan segera melepas lelahnya, walau tidak banyak yang masih berkutat dengan kesibukannya masing-masing. Suara-suara kendaraan tidak begitu terdengar dari atas sini, mungkin malah sedikit menenangkan bagi Riska.

"Kita mau ngapain, Ri?"

"Diam saja disini. Mmm.. bukannya kamu suka dengan kesunyian, Ka, walau dengan sedikit suara klakson dari bawah sana?"

"Bisa dibilang begitu."

"Dulu ayahku sering membawaku ke sini, katanya kota lebih ramah jika dilihat dari atas sini, Ka. Kita hanya menyaksikan kerusuhannya, tanpa ikut ke dalamnya. Dan entah kenapa aku percaya akan kata itu, Ka, jadi aku membawamu ke sini." Fahri mengingat-ngingatnya sambil menceritakan pada perempuan yang baru saja ia kenal.

"Hanya untuk melihat kerusuhan warga kota, Ri?"

"Lebih dari itu, Ka. Kita kadang hanya bisa melihat ketidak ramahan pada suatu hal, padahal jika kita lihat dari sudut pandang yang lebih luas akan menjadi ramah juga."
"Kita memang perlu menerima segala pandangan tentang suatu hal, sekalipun itu bertentangan dengan pendapat kita, Ka." Sambung Fahri, menambahkan sedikit pesan untuk Riska.

"Ri, gimana pendapatmu tentang seseorang yang hilang begitu saja tanpa memberi kepastian kapan ia akan kembali? Apa itu memang layak untuk ditunggu setiap waktu, Ri?" Tanya Riska yang mungkin tentang Angkasa.

"Ka, dia tidak hilang, hanya saja ia menemui dunia barunya, dunia yang menurutnya lebih nyaman. Dan menurutku, untuk apa kamu menunggu seseorang yang tidak pasti jika di hadapanmu saja ada yang pasti? Tidak perlu jauh-jauh untuk mencari sebuah kepastian, Ka."

Semesta, apa yang ia maksud? Tolonglah untuk tidak selalu membuatku beradu dengan pikiranku sendiri.

"Maksudmu, Ri?"

"Iya, semesta mengirimkan ku untukmu, Riska Natasha. Dan bukannya keputusan semesta tidak boleh disalahkan?"

Ia membuatku tenggelam terlalu dalam. Jika aku menyetujui keputusan semesta, bagaimana keadaan Angkasa yang sudah lama kutunggu-tunggu? Namun sepertinya semesta tidak pernah salah, ia pasti mengirimkan yang terbaik untuk seisinya.

Riska masih saja bingung dengan ucapan Fahri.

"Namun sayangnya aku belum bisa menyetujuinya, Ri."

Apa yang membuatnya terus-menerus tidak yakin? Apa aku harus menjadi Angkasanya? Namun aku tidak mau terus-menerus terjebak di pikirannya, aku bukan lah Angkasa. Semesta, apa yang harus aku lakukan supaya ia yakin jika ia tidak harus menunggu Angkasa lagi?

Sesampainya dirumah Riska, Fahri tidak ingin pulang. Ia ingin lebih mengetahui tempat dimana Riska berkeluh kesah.

"Kamu tidak pulang, Ri? Sekarang sudah malam,"

"Nanti saja, Ka,"

Riska tidak memedulikannya. Ia menutup pagar dan menemui kotak pos yang sudah terisi surat. Ia membawanya ke dalam dan segera membacanya.

Untuk Mentari yang selalu terjebak di pikiran Angkasa

Ta, bagaimana kabarmu? Senang sekali jika bisa mendengar kamu bahagia di sana, Ta. Bagaimana kota yang selalu kamu bilang tidak ramah? Apa memang benar-benar tidak ramah, Ta?

Ta, maaf sekali pernah membuatmu berhenti percaya akan kata cinta. Maaf sekali pernah membuatmu yakin bahwa cinta itu bisa hilang dan pudar. Maaf sekali, Ta.

Aku menulis surat ini karena aku tidak bisa menahan rinduku lagi, Ta. Lama-lama rindu ini semakin membunuhku; selalu membuatku mencoba untuk menemui sosok yang tidak pernah berhenti kurindui. Tapi aku mencoba untuk tidak, Ta. Karena menurutku jika aku menemuimu aku hanya membuatmu kembali menemukan rasa yang pernah kita hilangkan bersama dengan tenggelamnya senja, Ta. Mungkin kali ini pesanku hanya satu, "hargai mereka selagi ada." karena kamu ngga tau kapan semesta akan ambil mereka.

Namun ternyata benar, rindu ku sendiri yang membunuhku. Karena merindukanmu bukanlah suatu hal yang mudah, Ta. Sulit, namun selalu ku jaga agar tidak hilang rasa ku yang seutuhnya tercipta hanya untukmu.

Mungkin kalau surat ini sudah sampai kepada pemiliknya, maka begitu pun denganku, Ta. Aku sudah sampai kepada pemilikku. Tidak usah menangis, Ta, air matamu ngga boleh jatuh lagi karena aku. Kamu kan mentari, yang bersinar kapan pun, sekalipun hujan datang.

Aku lebih bahagia di sini, Ta. Aku bisa melihat kapan pun kamu , meskipun tidak denganku lagi.

Sebelumnya, Angkasa mengidap penyakit yang sulit sekali disembuhkan. Itu mungkin juga bisa menjadi suatu alasan mengapa Angkasa tidak pernah menjamin kebahagiaan Tari ada padanya.

"Sudah, Ta, yang berlalu biarlah menjadi kenangan. Dan perihal angan yang pernah kamu dambakan bersamanya, biarlah menjadi angin. Lupakan, Ta, meskipun itu terlalu berat untuk kamu lakukan. Tenang saja, semesta tidak pernah lengah, pasti akan ada jawaban atas semua yang pernah kamu korbankan,"

Ternyata aku tidaklah lebih dari mentari yang tenggelam. Batin Riska sembari terus meneteskan air matanya.

***

Seiring angin sejuk yang terus berembus, penantian Fahri kali ini tidak berakhir dengan kata "sia-sia". Ia akan selamanya disini, menjadi tempat pulang terakhir untuk Riska dalam waktu yang mungkin keduanya pun tak tau. Dan tentang sikap Riska, kini dirinya sudah berubah. Ia semakin bisa menerima hadirnya tokoh-tokoh baru yang masuk ke dunianya.

Mentari yang tenggelam [COMPLETED!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang