1. Zara, Rahasiaku

83 5 1
                                    

Aku berlari menelusuri gang kecil yang selalu aku lewati setiap pulang sekolah. Beberapa siswa dengan seragam yang sama denganku masih mengejarku seraya meneriakan namaku. Jantungku berdegup kencang. Berusaha secepat mungkin keluar dari gang ini. Tak akan ada yang bisa menolongku karena aku tahu gang ini selalu sepi dan jarang di lewati orang-orang. Warga sekitar meyakini bahwa gang yang aku lewati adalah gang pembawa sial, karena banyaknya kasus pembunuhan serta pemerkosaan yang sering terjadi di gang ini. Satu-satunya alasan aku memilih gang ini adalah karena jaraknya jauh lebih dekat untuk sampai ke rumahku dari pada harus melewati jalan biasa.

Aku menoleh sejenak ke belakang. Sial. Jarak mereka semakin dekat.

"WOI, BARA! BERHENTI!" salah satu dari mereka meneriakan namaku lagi.

BRUK!

Lubang jalanan yang cukup kecil membuat kakiku tersandung, aku tak cukup awas untuk memperhatikannya. Tubuhku dengan cepat jatuh ke jalanan. Aku mengaduh kesakitan. Merutuki kecerobohanku.

Kelima siswa yang sedari tadi mengejarku kini berdiri mengelilingi tubuhku yang masih limbung. Napas mereka menderu cepat, begitu juga dengan napasku.

"Tolong—"

BUGH!

Satu tinju lebih dulu menghantam perutku sebelum aku selesai berbicara. Sakit.

"Hajar! Jangan kasih ampun!" Leon—ketua geng—berseru menyuruh teman-temannya. Yang segera dibalas anggukan dari yang lainnya dan mulai membabi buta menghajarku. Pukulan, tinju, tendangan, semuanya mendarat tepat ditubuhku.

Lima lawan satu. Aku kalah telak dengan sekujur tubuh babak belur.

"Lo jawab pertanyaan gue baik-baik!" Leon menarik rambutku begitu aku terkulai di jalanan, membuatku terpaksa mendongak dan menatapnya dengan satu mataku yang terasa lebam parah. Aku bahkan mulai kesulitan membuka mataku.

"Siapa yang ngelaporin gue ke guru BK?! Elo kan?! Jawab!!" wajah Leon memerah, terlihat amat marah kepadaku.

Aku menelan ludah. Tak ingin mengakuinya sama sekali.

Benar. Benar bahwa aku melaporkan kenakalan Leon tiga hari yang lalu kepada guru BK. Aku mendapatinya sedang membully seorang gadis dari kelas sebelah di lapangan indoor ketika pulang sekolah. Maka tanpa berpikir panjang, aku merekam kejadian itu selama satu menit, kemudian segera berlari menuju gerbang sekolah, meminta pertolongan kepada Pak Idris—Penjaga sekolah—agar menyelamatkan gadis itu.

Sebut aku pengecut karena tak berani menolongnya secara langsung. Karena aku memang takut kepada Leon dan gengnya. Tapi walaupun begitu, aku tetap ingin membantu gadis malang itu dengan caraku sendiri. Maka keesokan harinya aku segera menuju ruang BK. Melaporkan kejadian tersebut seraya menyerahkan bukti yang ada—aku juga mengajak Pak Idris sebagai saksi. Bahkan hari ketika aku melaporkan kejadian itu, gadis itu diketahui tidak masuk sekolah. Hal itu semakin memperkuat bukti yang aku punya.

"Bangsat!" Leon memaki, meninju wajahku.

Salah satu temannya mendekat, mengeluarkan gantungan kecil berbentuk ikan beluga. Aku tanpa sadar membelalakan mata. Gantungan itu milikku.

"Punya lo kan? Gue nemu di dekat pintu lapangan indoor." Tara tersenyum miring, tertawa meremehkan melihat ekspresi wajahku.

Lagi, mereka menghajarku habis-habisan. Menambah rasa sakit yang semakin menjadi. Tubuhku rasanya hampir hancur. Aku terbatuk. Darah keluar dari bibirku. Ya Tuhan. Jika aku tak sadarkan diri di tempat ini, siapa yang akan menolongku? Bagaimana nasibku nanti? Aku akhirnya mulai menangis tanpa suara, hanya mampu melindungi tubuhku dengan kedua tangan di depan kepala.

BARATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang