Prolog

56 14 21
                                    

"Bagaimana nak? Apa kau menerimanya?" Tanya seorang kakek dengan pakaian serba putih, begitu pula dengan jenggot dan kumisnya yang terlihat memutih dan juga panjang. Kerutan-kerutan nampak di wajahnya yang masih terlihat gagah. Rambutnya yang lurus tapi berwarna putih keseluruhan membuat kesan anggun dan elegan. Tatapan, dan juga karisma darinya begitu menunjukkan pengalaman yang telah dia lalui.
Saat ini, dia berdiri berhadapan dengan seorang pemuda enerjik berambut coklat agak kemerahan.

"Dengan senang hati, aku terima!" Balas seorang pemuda dengan lantangnya. Namun, sesaat kemudian, dia mengimbuhkan,

"Ngomong-ngomong, keuntungan macam apa yang aku dapat dengan menerima gelar ini?"

Si kakek tadi sedikit tertegun mendengar pertanyaan yang dilontarkan anak muda itu. Tanpa ada perubahan emosi, dia lalu menjawab,

"Dengar nak, pada intinya, kau bisa hidup kembali. Kau akan menjalani yang namanya kehidupan, untuk kedua kalinya." jawabnya.

Setelah mendengar perkataan si kakek, mata anak muda tadi terlihat berbinar.

"Wooaaaah! Apa kau serius? Aku benar-benar bisa hidup lagi?" Tanyanya tergesa seolah tak percaya dengan apa yang diucapkan si kakek.

"Tentu saja, jika kau memang mau menerima dan mengembannya."
Si anak muda tampak diam untuk sesaat dan memegangi dagunya sepeti pose orang berpikir pada umumnya.

"Ummmmm- baiklah!"

"Kalau begitu, sekarang kau hanya perlu untuk memanggil Dia." Titah si kakek.

Bukannya melakukan apa yang diperintahkan oleh kakek tersebut, si anak muda malah terlihat kebingungan dan memiringkan kepalanya.

"Siapa?" Tanyanya dengan ekspresi yang kikuk.

"Siapa lagi, tentu saja sang penjaga altar api."

"Iya, aku tahu. Tapi, penjaga altar api itu siapa?" Masih dengan pertanyaan yang sama, si pemuda tetap memasang ekspresi kikuk.

Si kakek menarik napas dalam-dalam, dan mencoba untuk kembali terlihat tenang. Setelah dia merasa cukup tenang, dia kembali menjawab.

"Para jiwa yang merupakan perwujudan dari harapan yang menyinari dunia. Dengan kata lain, api itu sendiri." Jawab sang kakek dengan singkat, namun jelas.

"B-baiklah. Lalu, apa yang harus kulakukan?"

"Sudah aku bilang, panggil penjaga altar api itu!"

"Caranya?"

Sesaat setelah itu, ruangan yang mereka tempati sunyi. Si kakek terlihat kebingungan dan memegang kepalanya, lalu menghela napas. Seketika itu juga, karisma yang begitu hebat terpancar darinya, hilang seperti debu ditiup angin.

"Kenapa aku harus mendapatkan penerus seperti ini?" Gumam si kakek.

Kemudian, dia mengayunkan tongkat kayu yang di pegang olehnya. Lalu, secara ajaib muncul huruf yang melayang-layang di udara. Semulanya huruf-huruf itu melayang tak beraturan, lalu membentuk sebuah kalimat utuh tak lama kemudian.

"Woaaah, keren!" Ucap si pemuda secara spontan setelah melihat apa yang baru saja dilakukan kakek yang ada di hadapannya.

"Apa yang baru saja kakek lakukan?" Tanyanya.

"Sudah, jangan banyak bicara! Cepat ucapkan mantra itu, maka kau akan menerima gelar Dewa Api yang selanjutnya!" Perintah si kakek dengan nada suara yang meninggi, dan juga karisma yang telah sirna. Meskipun wajah tenang penuh pengalaman itu masih tetap tak berubah.

Homura Kami: The Rise of the Legend Flame God.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang