D U A

4 0 0
                                    


"Ken, jodoh itu di tangan Tuhan. Tapi, kalo udah umur 25 Tuhan lepas tangan," ucap ibu Arken yang tengah duduk di sofa ruang tengah, membuat anaknya yang berpakaian rapi menghentikan jalannya.

Arken memutar bola matanya malas mendengar ibunya lagi-lagi membahas jodoh.

"Umur 24 tahun aja belum genap."

Ibunya mendelik. "Sebelum Tuhan lepas tangan. Kamu cari jodoh cepet-cepet."

"Udah, ya, Arken berangkat dulu." Arken memeluk ibunya, lalu mencium kening wanita paruh baya itu sebelum pergi.

Maryam, ibunya Arken melihat kepergian sang anak. Lalu, berteriak sebelum Arken menjauh, "Bawain, ibu mantu."

"Iya, nanti di kantongin," teriak Arken dari luar rumahnya. Sementara sang ibu hanya menggelengkan kepala dengan tersenyum.

***

Kea memandangi pantulan dirinya di cermin, ia tersenyum, lalu memoles lipbalm ke bibirnya. Menata kembali rambutnya yang digerai indah, lalu ia tersenyum lagi. Cukup cantik, pujinya pada diri sendiri, ia selalu begitu setiap harinya. Memuji diri sendiri agar percaya diri, juga ia merasa itu adalah bentuk syukur-nya pada Tuhan.

Lalu ia keluar dari kamarnya, memakai dress biru pastel selutut. Terlihat anggun, ia berjalan menuruni tangga. Lalu mencari kakaknya di kerumunan orang-orang lebih dewasa darinya, sebaya dengan kakaknya. Tangan menggenggam kotak kado kecil, untuk kakaknya, yang kini tengah mengadakan pesta di rumahnya ini.

Ia menemukan kakaknya, tengah berbincang dengan beberapa temannya. Ia lekas menghampiri, dan memeluknya.

"Selamat ulang tahun, wish you all the best," ucap Kea dengan menyerahkan kadonya.

Kanaya, kakak kea, tersenyum, lalu mengenalkan Keana pada beberapa temannya. Seorang pria menghampirinya lalu berucap, "Selamat ulang tahun, Nay. Maaf telat."

"Iya gapapa, udah lama, ya, kita nggak ketemu."

"Adik kamu mana?"

Keana mendengarkan beberapa percakapan Kanaya dengan teman prianya itu, tanpa melihatnya. Karena sekarang ia sibuk dengan teman-teman wanita kakanya yang terus memuji kecantikan dirinya. Lalu ia merasakan kakaknya sekarang berbicara padanya.

Ia berbalik, lalu mematung melihat sosok yang baru saja mengobrol dengan kakaknya. Ramudya, orang yang pernah memporak-porandakan hubungan baik dengan sang kakak. Pria itu tersenyum pada Keana. "Gimana kabar kamu?"

Keana tersenyum angkuh dengan mengangkat kepalanya, ia menegakan badannya. Ia membalas dengan senyuman yang sinis, "Baik, sebelum kamu datang ke sini."

"Na ....," tegur Kanaya. Ia merasa tak enak dengan tamunya yang kali ini.

"Maafin Keana, dia emang gak sopan anaknya." Ucapan Kanaya membuat Kea mendelik.

"Apaan sih, lagian ngapain coba ngundang biang masalah ke sini." Kea masih menatap Ramudya dengan sinis. Sementara orang yang di pandangi menggaruk tengkuknya, Kanaya tersenyum kikuk meminta maaf.

Kea berlalu tak ingin lama-lama melihat orang yang tak di sukainya itu. Ia menerobos kumpulan orang-orang, menuju dapur, ia akan membantu pekerjaan di sana. Pasti sangat sibuk, pikirnya.

Ia melihat wanita paruh baya tengah menuangkan jus pada gelas-gelas tinggi yang tersisa di nampan. Ia tersenyum, lalu menghampiri wanita itu.

"Biar Nana bantu, ya, Bi," ujar Keana seyara mengangkat nampan yang telah siap.

"Jangan, biar bibi aja, udah tugasnya."  Wanita itu hendak mengambil nampan dari tangan Kea.

"Biarin, ah, Bi. Kea nggak ada kerjaan." Kea berlalu, dengan senyuman Bi Kokom memandangi majikan baiknya.

Sementara Kea mengantar minuman itu dengan senyuman, ke meja meja yang telah kosong. Ia biasa melakukan itu, saat ulang tahun ibunya, ayahnya, ia selalu membantu. Tak kenal malu, ia terlampau baik.

Saat pengambilan ke dua kalinya, ia sedikit melamun. Sehingga ia tersandung dengan kakinya sendiri, tubuh kea kehilangan keseimbangan. Ia terjatuh mengenai seorang pria yang baru saja datang, lalu sedetik kemudian suara benda pecah terdengar nyaring di ruangan itu. Membuat semua orang memandang ke sumber kegaduhan.

Kea merutuki dirinya,  harusnya ia tak mengenakan heels, malu, kan sekarang. Sialan. Lalu ia memandan baju pria di hadapannya dengan takut, basah, tentu saja itu ulahnya yang ceroboh. Bajunya juga basah.

Ia menyusuri tubuh jangkung yang berdiri di hadapannya, ia siap dengan apapun yang akan terjadi setelahnya. Di teriaki juga ia siap, ketanggung malu. Kea sampai pada wajah pria itu.

Tertegun. Lalu membelalakan matanya, kaget. Pria di hadapannya juga tak kalah kaget ....

"OM?"

"KAMU?"

Keduanya berucap berbarengan. Arken kaget dengan apa yang ia lihat sekarang, sama halnya dengan Kea. Sementara orang-orang menatap mereka dengan heran, apa yang tengah terjadi diantara mereka setelah suara benda pecah.

Kanaya menghampiri kegaduhan, ia melihat adiknya dengan seorang pria di sana tengah bertatapan sengit, diantara pecahan kaca. Sementara kaki kea sedikit berdarah, membuatnya khawatir.

"Ada apa, Na?" Suara lembut memutus pandangan tajam mereka berdua. Lalu mereka berbalik menghadap Kanaya. Membuatnya membelalakkan mata.

Kanaya mengajak adiknya dan Arken ke atas, untuk menyelesaikan masalah, sementara Bi Kokom membereskan kekacauan. Para tamu sebagian pulang karena tak enak hati, sebagiannya melanjutkan pestanya, karena suruhan sang empunya pesta sendiri sebelum membawa kedua insan itu.

"Ken, maafin adik aku, ya." Kanaya memberikan tisu untuk mengelap baju basah Arken.

"Iya, gapapa." Arken mengelap bajunya sesekali, melihat Kea yang tengah di obati kakinya oleh Kanaya.

"Elah, Kak, ngapain minta maaf juga, omnya aja yang jalan nggak pake mata." Kea mendesis, merasakan tekanan di kakinya. "Yang lembut, dong!"

Protes Kea tak dihiraukan Kanaya, ia terus membersihkan luka kea dengan kasar, lalu membalutnya dengan sama kasar. Membuat Kea sesekali tersentak.

"Kamunya aja yang ceroboh!" Tatapan tajam menghujam pada Kea membuatnya mendelik.

"Bajunya nggak mau di ganti aja? Ada kok yang papa." Kini Kanaya berbicara pada Arken, pria itu hanya menggeleng. Lalu memberikan kotak kecil pada Kanaya.

"Yaudah maafin, adik aku ya, kita turun,yu." Kanaya sekali lagi meminta maaf membuat Kea memutar bola matanya jengah.

"Kamu nggak ikut?" tanya Kanaya ketika Kea hanya diam saja ketika di ajak turun.

"Gak, males." Kanaya berucap sambil melirik tajam Arken.

Ia berkata jujur, malas. Malas turun berbarengan dengan pria yang menurutnya menyebalkan itu. Kejadian kemarin saja sudah membuat kesan buruk untuk pria itu di mata Kea.

Kenapa mereka harus bertemu lagi?


To Be Continue ....

Hai tinggalkan votmen ya kalo suka

Menerima kritik dan saran juga.





U S I A (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang