Tidak Berguna

74 9 0
                                    

"Sabar, Ra. Semua pasti baik-baik saja. Baik-baik saja," bisik perempuan berambut sepinggang itu di depan rak susu kotak yang berantakan.

Sesekali ia melemparkan dos susu yang telah lewat tanggal kadaluarsanya. Perempuan yang sering di panggil Afra itu mendengkus sebal ketika perempuan berseragam sama dengannya ikut jongkok bersamanya di depan rak susu.

"Kenapa sih? Emosi?" kata Kikan sambil membantu Afra menyusun susu kotak di atas rak. "Sudahlah, Ra. Wajarlah dia marahi kamu sebagai karyawan dia. Lagian, kayak cowok cuma dia aja."

"Siapa juga yang ngarepin dia sih?" ketus Afra sok yakin, tapi Kikan tahu itu hanya kebohongan semata. Bekerja di salah satu swalayan di tengah kota Klaten bersama Afra selama dua tahun sudah cukup membuat Kikan mengenal perempuan berambut lurus itu.

Keduanya sudah terbiasa meributkan hal-hal tak penting, meski pada akhirnya baikan lagi dan berbagi cerita di kamar yang telah disediakan oleh pemilik swalayan.

"Kebiasaan datang cuma kalau butuh, ngomel kalau ada yang salah. Menyebalkan sekali," gerutu Afra lagi.

"Ya iyalah kalau ada yang salah, wajar aja orang ngomel. Marah. Gimana sih kamu? Salah sendiri mau kerja di sini, padahal tahu kalau managernya si Kaif, cinta monyetmu jaman di jaman purba." Kikan hanya bisa menggelengkan kepala berulang kali. Jaman serba canggih begini, masih ada juga yang menganut paham first love never die.

"Ya, bener. Kenapa? Kenapa? Kenapa?" helaan napas Afra mulai melemah. "Kenapa aku mau?"

"Karena kamu bego," timpal Kikan segera. Perempuan berambut keriting itu ingin sekali menyadarkan Afra dari sindrom cinta pertamanya, mengingat manager mereka sama sekali tak menganggap Afra sebagai wanita.

Pertama kali Afra bekerja dua tahun yang lalu, Kaif memperkenalkannya sebagai teman dekat. Entah teman nongkrong, teman tukang bikin air lemon, teman yang siap jadi tempat samapah keluhannya, atau apalah. Hanya tuhan yang tahu.

Sementara Afra tak pernah sadar meski dipukul pakai palu sekalipun. Afra masih saja mengharapkan Kaif, Kaif, dan Kaif. Tak ada yang lain. Afra yang polos. Afra yang hanya menganggap Kaif sebagai pria. Padahal banyak pria lain yang mengantri untuk mendapatkannya, tetapi tak satupun bisa menggeser nama Kaif dari hati Afra.

"Kali aja baru kemarin, minggu lalu, atau bulan lalu. Ini udah bertahun-tahun yang lalu lho, Ra. Masa masih bego kamunya," kata Kikan lagi jengkel, sambil berdiri, lalu melangkahkan kaki dengan tangan menyeret keranjang merah ke arah gudang pembuangan. Dan Afra masih saja terdiam, mendesah pelan, tangan kirinya memegang bandul kalung berbentuk daun di lehernya.

***

Bangunan tiga lantai yang lantai dasarnya digunakan sebagai swalayan itu tengah ramai pembeli. Selain orang dewasa yang berbelanja kebutuhan harian, tak jarang para remaja yang sekadar numpang nongkrong di rest area yang disediakan di teras swalayan serta memanfaatkan wifi gratis.

Kaif, yang merupakan manager sekaligus pemilik swalayan itu berjalan memasuki toko dengan tergesa. Tangan kanannya memegang ponsel di telinga. Sekilas dilihatnya orang-orang ramai bekerja seperti biasa. Kakinya yang panjang dibalut celana jeans hitam menapaki tangga dengan lincah. Menuju lantai dua tempat kantornya berada.

Di dalamnya sudah ada Yasir yang menghandle bagian pembukuan terlihat tengah sibuk mengetik sesuatu di keyboard. Sementara Kaif duduk di belakang meja yang dipenuhi kwitansi pembayaran tak jauh dari meja Yasir.

"Sir, tolong kirimkan laporan stok barang seminggu terakhir di emailku ya," pinta Kaif setelah meletakkan ponselnya di meja.

"Ya, Mas."

Kemudian Kaif keluar dari ruangan menuju dapur yang berada tepat di samping kantornya sambil mendesah lelah, "sial, sepertinya hari ini akan jadi hari yang melelahkan.

Urusan belanja awal bulan, gaji karyawan, dan suplier baru yang sedang bermasalah ditambah pesan singkat dari sang ayah pagi tadi membuat Kaif sakit kepala.

Dua kali kedipan mata Kaif layangkan saat mendapati Afra di dapur sedang memeras lemon di gelas.

"Buatkan aku juga dong, Ra," ucap Kaif sambil mendorong lidahnya di dalam pipi kiri.

"Kalau lagi ada maunya aja kamu manis banget sama aku," ketus Afra, meski dengan wajah cemberut, tapi Afra tetap membuatkan air lemon hangat untuk Kaif. Berbeda dari pria lain yang minum kopi saat suntuk, Kaif memilih air lemon hangat untuk menyegarkan otaknya.

Kaif tersenyum. Ia menyandarkan pinggulnya di meja pantri. Matanya memperhatikan bibir Afra yang mengerucut. Menggemaskan.

"Jangan lihat lama-lama."

"Biasanya kamu suka dilihatin lama-lama."

"Itu kan biasanya, sekarang lagi tak biasa."

Tawa Kaif pecah begitu saja mendengar jawaban Afra. Dalam hati kaif ingin menggoda Afra lebih banyak lagi, tapi mengingat pekerjaannya menumpuk, Kaif berlalu begitu saja usai mengucapkan terima kasih. Seharusnya ia mengucapkan, "Maaf, soal tadi pagi. Di tempat kerja, aku tetap atasan kamu. " tapi nyatanya kalimat itu tak sempat keluar dari bibir Kaif.

Yasir yang baru saja keluar dari ruangan hanya bisa mengelengkan kepala melihat atasannya tersenyum puas. Langkah keduanya berhenti sejenak di depan pintu kantor saat melihat seorang pria paruh baya muncul di ujung tangga dengan wajah merah. Matanya yang lebar, menatap Kaif tajam.

Pria separuh baya itu semakin dekat, telapak tangannya yang sedikit keriput mendarat di pipi Kaif dengan keras, disertai umpatan kasar, "DASAR TIDAK BERGUNA."

Yasir melebarkan mata dalam keterkejutannya. Sedangkan Afra membekap mulutnya. Dari sekian banyak kisah Kaif dan ayahnya yang pernah ia dengar, baru kali ini Afra melihatnya secara langsung.

***

Hai... Hai..
Lama nggak update di sini ya.

Aku masih lumayan sibuk nulis di platform lain nih.
Ada novelku yang udah terbit di Cabaca, kalau berkenan silakan mampir ke sana.

Cerita ini juga tersedia di Storial, dan di sana lebih duluan update. Yang punya akun di Storial, bisa baca di sana ya...

Terima kasih sudah membaca.

BersepahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang