“Aku di terminal kedatangan, pakai baju putih topi biru. Di toko Donat,”
Pesan itu sudah terkirim satu jam yang lalu. Tapi baik Annais maupun Eden yang sedang mengunyah biscuit dari stroller-nya nggak melihat batang hidung Abe Hamilton, roommate Annais yang baru saja datang dari Massachusets. Annais hampir menyelesaikan materi ajar ketika ponselnya berbunyi. Awalnya Ia merasa senang karena akhirnya cowok yang nggak pernah ditemuinya itu datang. Tapi rasa senangnya pupus waktu melihat telpon datang dari Abidzar, Kakaknya.
“Belum muncul juga?” tanyanya.
“Belum. Seharusnya sih dia udah muncul sejam yang lalu. Aku udah memastikan kalau aku nggak perlu nunggu,”
“Landing jam berapa?”
“Satu setengah jam yang lalu,”
“Seharusnya sih nggak ada jadwal delay dari Singapura, tempat transitnya,”
Tunggu, tunggu. Annais mengerutkan kening. Menemukan kejanggalan yang cukup untuk membuatnya langsung kesal.
“Bukan transit di Jakarta?” tanya Annais setengah mendesak.
“Ya enggak lah!” Abidzar mulai merasa ada yang nggak beres. “Kamu nunggu di terminal dalam negeri ya?”
Fother mucker! Desisnya kesal sambil mematikan sambungan telepon, membayar tagihan dan mendorong stroller keluar toko dengan tergesa. Sialnya, kakinya yang terkilir nggak bisa jalan cepat-cepat. Bertumpu pada stroller dan menahan hawa panas yang langsung menyeruak, Annais berjalan secepat mungkin, membawa bayi adopsinya meliuk-liuk menghindari kerumunan orang, hingga stroller oleng, baik Annais maupun Eden terguling ke samping. Malu banget!
Annais langsung dikerubungi. Ada yang membantu, ada yang membereskan biskuit Eden yang berserakan. Aduh! Kakinya makin keram. Latihan renang sialan! Rutuknya sambil berterimakasih pada orang-orang yang membantunya, lalu duduk di depan stroller.
“Anak Mama pintar, Eden nggak nangis ya,”
Persetan dengan Abe yang nggak juga datang atau membalas pesannya. Toh pesannya juga masih centang satu. Mentang-mentang di perjanjian tertulis kalau Annais juga harus mengantar jemput Abe kemanapun, bukan berarti Abe bisa bertindak seenaknya sendiri. Aduh, sakiit
Annais mengaduh lagi sambil mengurut-urut kakinya yang memar. Dalam hati menyesal mengenakan dress putih selutut yang membuat memar di betisnya makin tampak jelas. Ia baru saja mengusap-usap betisnya ketika seorang pria mendekatinya. Mengenakan kemeja putih dan celana pendek hitam, Ia berlutut di samping Annais.
“Ibu nggak apa-apa?”
Kamprita! Sudah kaki sakit, dipanggil Ibu sama mas-mas ganteng pula! Annais menghela napas panjang, kesal, lalu punya cara cerdas untuk membalasnya.
“Nggak apa-apa, Nak. Ibu Cuma terlalu tua untuk jalan jauh,” jawabnya setengah menyindir dengan nada kesal.
“Maaf, Mbak saya bercanda,” cowok itu nyengir. “Mbak duduk di tengah jalan. Saya kira lagi sedih ditinggal suaminya sampai duduk disini sambil nangis,”
Annais mengedarkan pandangannya ke penjuru tempat. Lalu menyadari bahwa puluhan mata mengarah kepadanya. Antara menganggap Annais sebagai orang desa yang baru datang ke bandara sehingga duduk di manapun, atau malah seperti Mas ini yang mengira dia terlalu sedih karena ditinggal suaminya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Timeless
ChickLitAnnais suka hal-hal yang nggak disukai orang. Dia suka merebus bubuk kopi, ngomong sama bayi adopsinya, dan suka jalan-jalan. Yang Annais nggak suka cuma satu, tinggal seatap sama bule yang selalu pengen mengakhiri hidupnya. Abe Hamilton nggak suka...