Ep 2

506 52 20
                                    


"Minta maaf pada nenek."

"....."

"Ayah bilang minta maaf pada Nenek, Krist Prachaya!!"

Krist menatap Ayahnya dengan tatapan nanar dan juga terkejut. Pasalnya Ayahnya tidaklah pernah membentaknya atau bahkan memberikan ekspresi marah kepadanya. Jadi untuk saat ini, saat Krist melihat ekspresi dan mendengarkan suara bentakan dari Ayahnya membuatnya sesak dan juga kecewa.

"Ayah jahat!!"

Krist menepis lengan neneknya yang memegangi bahunya dan berlari begitu saja, Ia menabrak tubuh bagian kanan Singto dan melanjutkan larinya. Ia tidak tahu harus lari kemana, tapi akan lebih aman jika Ia berlari keluar rumah neneknya walaupun Krist tidak tahu dengan jelas area tempat tinggal neneknya.

"Maafkan...."

"Begitulah jika kau menentang apa yang aku katakan waktu itu."

Kalimat Singto terpotong akan ucapan ibunya. "Aku membesarkan mu, mendidik mu, dan menyekolahkan mu sampai ke perguruan tinggi agar kau tidak melakukan kesalahan yang suatu saat menyusahkan mu, Singto. Tapi apa? Apa tidak cukup kau mengecewakanku dengan pengakuan mu tentang dirimu? Dan sekarang? Aku harus menerima, bahkan menatap langsung sosok Anak yang Orang tuanya membuatmu jauh dariku."

Pengucapan yang penuh dengan perasaan emosi dan penekanan di setiap kata yang Ibu Singto katakan saat ini, sungguh membuat Singto merasa bersalah dan juga sesak. Ia tidak bisa membalas ucapan Ibunya, karena apa yang dikatakan oleh Ibunya semuanya adalah benar. "Mau sampai kapan, kau akan menyiksaku? Kapan Singto?"

"Maafkan aku...."

"Aku hanya ingin melihat sosok wanita yang bisa menjagamu, Singto."

"Mæ̀...."

Singto merasakan tangannya digenggam oleh Ibunya. Hangat itulah yang Singto rasakan saat ini. "Sesulit itukah menuruti kata-kata ibumu yang suatu saat akan menua dan pergi darimu?" Singto bisa melihat tatapan terluka dibalik sosok tegas dihadapannya saat ini. Ia tidak bisa memungkiri jika, terkadang Ia pun merasa takut jika sosok dihadapannya saat ini, semakin menua dan meninggalkan dirinya. Singto tidak bisa membayangkan hal tersebut.

"Mæ̀, Krist sudah besar dan aku tidak bisa berpikir kesana. Aku lebih memikirkan bagaimana masa depan anakku."

Plakkkk

Singto merasakan panas pada pipi kirinya setelah ibunya menampar dirinya dengan keras. "BAHKAN SETETES DARAH PRACHAYA SAJA TIDAK MENGALIR DITUBUHNYA!!"

Brakkkkkk

Sesak.

Sakit.

Marah.

Kecewa.

Rindu.

Singto memejamkan matanya dan menghela nafas, Ia menahan semua perasaan yang Ia rasakan saat ini. Dia tidak bisa marah, bahkan melampiaskan emosinya saja Ia tidak pantas saat ini. Dia bahkan tidak pantas untuk merasa menyesal dengan tindakan yang Ia tahu akan berujung seperti ini.

"Aku harus bagaimana, Dear?"

Mungkin bagi kalian, pertengkaran dengan orang lain atau sosok yang kalian cintai, sudah membuat kalian sakit dan juga susah. Tapi bagi Singto, pertengkaran dengan dirinya sendiri lebih menyakitkan dari apapun.

___________________





Ceklekkkk

Miris.

Itulah yang Singto rasakan saat ini. Melihat anaknya tidur dengan posisi duduk dimeja belajarnya membuatnya merasa apa saja yang sudah Ia lakukan untuk anak semata wayangnya selama ini. Tidak ada, itulah yang Singto pikirkan.

Pekerjaan rumah terkadang Krist membantunya, tugas sekolah selalu Krist kerjakan sendiri. Terkadang jika anaknya tersebut tidak mengerti, Singto hanya menjelaskan sedikit dan Krist akan langsung mengerti. Dia hanya sosok orang dewasa yang sedang belajar bagaimana menjaga sosok anak yang darah dagingnya sendiri saja bukan.

Terkadang ada rasa lelah, ingin mengeluh dengan semua yang Singto rasakan. Tapi senyum itu, senyum yang selalu membuat rasa sakit dan rindu semakin besar selalu menjadi alasan Singto untuk menjalaninya selalu.

"Maafkan Ayah." Singto mengelus helaian rambut anaknya dan menatap sendu sosok Krist.

"Ayah bukanlah orang tua yang akan selalu mengerti mu, bahkan bisa dibilang kau lebih mengerti Ayah ketimbang diri Ayah sendiri, Krist. Maafkan Ayah."

"Eunghhh." Suara lenguhan Krist membuat Singto menghentikan elusannya pada rambut anaknya.

"Ayah?" Suara serak pun sedikit terdengar dari suara Krist. Tanda Ia memang tertidur dalam posisi duduk. "Hmmm?" Gumam Singto.

"Kapan Ayah masuk?"

"Pindah lah ke tempat tidurmu, tidur dimeja belajar membuatmu sakit leher besok pagi." Ujar Singto tanpa menjawab pertanyaan Krist.

Singto berjalan kearah kamar mandi dan menutup pintu kamar mandi Krist yang terbuka. "Ayah?"

"Maafkan sikap Ayah dirumah nenek kemarin lusa. Maafkan Ayah juga membiarkanmu pulang dengan Uncle New."

Krist menunduk dan terdiam.

"Krist?"

"Aku tidak apa-apa jika Ayah menikah, bukankah dulu aku juga selalu menginginkan Ibu."

"Krist...."

"Maafkan aku sudah membentak Nenek kemarin, bulan depan jika kita kesana aku akan meminta maaf pada nenek."

"......"

"Aku...."

"Ayah tidak berniat mencarikan mu Ibu, atau lainnya. Apa kau keberatan tinggal berdua saja dengan Ayah?"

Krist dengan cepat menegakkan kepalanya dan menggeleng dengan cepat. "Tentu saja..."

"Hmmm?" Singto bergumam karena Krist tidak melanjutkan kalimatnya. Anaknya masih saja menggemaskan seperti dulu.

"Aku... Aku lebih suka tinggal berdua saja dengan Ayah. Tapi nenek...."

Singto maju dan berdiri dihadapan Krist yang menunduk sekali lagi. Bisa Ia ingat, dulu Krist setinggi perutnya. Tapi sekarang sosok Anaknya tersebut sudah sebahu dan tentu saja akan menyamai tingginya. Singto menarik kepala Krist dan menyandarkannya pada dadanya. "Nenek sudah Ayah urus, jadi kau hanya perlu belajar yang rajin dan tidak mendapatkan nilai jelek disekolah, oke?"

Krist tersenyum tipis.

"Aku menyayangimu, Ayah."

Deg

Nyutttt

"Hmmm Ayah juga."

Tidak ada yang lebih penting dari melihat kembang tumbuh anak kita sendiri, tidak ada yang diharapkan lebih dari Orang tua pad anaknya. Mereka hanya ingin anak mereka menjalani masa depan yang baik dan juga bahagia. Begitulah harapan umum dari masing-masing orang tua. Dan begitulah yang Singto rasakan saat ini.

Melihat Krist tumbuh dan akan selalu mendampingi Krist sampai anaknya tersebut siap untuk mengetahui semuanya.

"Ayah?"

"Hmmm?"

"Ayah adalah hal terindah yang kumiliki setelah Mæ̀."

Nyutttt

"Kau benar, sayangi Ibumu."

"Ayah juga?"

"Ayah lebih menyayangimu."

Lebih dari segalanya.


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 07, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Son, I Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang