STANDOFF #bab1

19 8 2
                                    

“Iya. Gue tau.” Samuell berdiri, memasukkan tangan kiri ke saku celana, sebelah tangannya lagi memegang botol cola yang terisi penuh— belum diminum sama sekali.

Disebelahnya, Gio dan Nino saling berpandangan dan menggeleng. Samuell menikmati pemadangan sekolah pada siang hari dari atas rooftop yang menghadap langsung ke lapangan, tidak ramai, hanya ada beberapa murid yang mengikuti pelajaran olahraga sedang melakukan gerakan pemanasan.

Siang ini rooftop hanya diisi oleh sepuluh orang yang tergabung dalam perkumpulan THE LION, tujuh siswa dan tiga siswi. Biasanya, kalau jam kosong mereka menggerakan kaki untuk datang kesini, namun hari ini jadwal mereka sedang padat-padatnya, mengingat kebanyakan penghuni rooftop adalah para murid kelas 12 yang sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian nasional yang tersisa beberapa bulan lagi.

“Duh, bisa pegang kamera yang bener gak sih? Dari tadi nggak ada yang bener potonya,” gerutu siswi berambut pirang, menyerahkan kamera SLR ke siswi lainnya yang memiliki rambut hitam pendek, “Sekali lagi. Awas sampai gak bener!”

Sebelum siswi berambut hitam pendek mengambil lagi kameranya, Samuell lebih dulu mendahuluinya. “Biar gue aja,” siswi pirang itu lantas tersenyum dan segera bergaya.

Setelah mengumpulkan sedikitnya hampir seratus bidikan kamera, Samuell menyerahkan kamera kepada pemiliknya, dan berlalu, kembali bergabung dengan teman-teman laki-lakinya. Samuell membuka tutup cola, meneguknya sekali, dan mengambil cemilan ringan dari tangan Nino yang menyerahkannya.

“Hari ini bokap sama nyokap gue mau ngerayain hari pernikahan mereka, kumpulin anak-anak.” Samuell memandang ponselnya, membaca pesan dari sang mama tercinta yang mengabarkan untuk mengundang teman-temannya di acara tahunan nanti malam.

“Pasti dateng Sam, tenang, nggak ada orang yang nggak suka dapat makanan gratis. Tapi ngomong-ngomong, lo ngundang semua anak Archipelago lagi?” Nino mematikan pematik rokoknya, mengangkat sebelah alisnya.

Samuell mengangguk, “Kayak nggak tau nyokap gue aja.

Samuell menatap layar ponsel, sang mama tercinta mengirim pesan, kini isinya lebih panjang dari pesan sebelumnya. Mamanya itu satu-satunya manusia terdetail yang pernah Samuell temui sejauh ini, padahal ia sudah berkelana kemana-mana, namun tetap saja tidak ada yang menyerupai sosok bidadari tak berselendang ini.

*****

Selena membolak-balikkan buku novel bergenre romance yang baru selesai dibacanya, namun pikirannya tidak lagi berpijak pada buku tersebut. Selena menghelang nafas, memakai sendal rumahnya, dan melangkah keluar dari kamar.

Rumah bernuansa Italian Classic itu tampak megah, mewah,—sepi. Terlihat seperti rumah tanpa penghuni yang terlalu terurus. Sambil memasuki private lift, Selena memasang earpods dan memutar lagu kesukaannya, lagu yang akhir-akhir ini selalu ia putar dan hanya satu-satunya lagu yang ingin dia dengarkan.

🎶But I know someday I'll make it out of here

Selena menuangkan air putih kedalam gelasnya, lagu ditelinganya terus berputar, berulang-ulang, mungkin akan membuatnya bosan namun ia tetap ingin. Selena memegang gelas dengan kedua tangan, meneguknya tanpa tersisa.

🎶Even if it takes all night a hundred years

Selena menaruh gelas, menyandarkan tubuh dan kepala di dinding, melipat kedua tangannya, menunduk dan menikmati lagu yang terasa candu dan begitu menyentuh. Mewakilkan segala perasaan, perasaannya. Selena menutup matanya, mengatur nafas.

“Kak,” Selena tersentak, membuka mata. Ia beralih menatap tangan mungil yang menyentuh lengannya. Selena melepas earpods dan menatap gadis bertubuh lebih pendek darinya yang mengigit bibir bawahnya dan menatap Selena dengan tatapan takut.

“Aku takut tidur sendirian, malam ini kakak tidur sama Bella lagi ya. Aku nggak bisa tidur kalau nggak dipeluk Kak Selena.”

Selena mengangguk, membawa gadis bernama Bella itu kepelukan. Bella Collins, adik bungsunya, umurnya berbeda lima tahun dari Selena. Mereka memiliki banyak kemiripan. Selena melonggarkan pelukan, menatap Bella sebentar, lalu mengajaknya pergi dari dapur, segera tidur karena mereka berdua harus sama-sama pergi ke sekolah besok pagi.

Sesampainya dikamar Bella, Selena mengunci pintu dan berjalan menyamparkan Bella yang mempersiapkan tempat tidur untuk mereka berdua. Hampir setiap malam Selena berada dikamar ini. Selena ikut berbaring disebelah Bella, mengelus rambut panjang adiknya itu.

“Besok Kak Selena jadi datang ke sekolah?” Bella menatap Selena yang tersenyum tipis dan mengangguk.

“Kakak memangnya pulang sekolah jam berapa? Kalau Kak Selena nggak bisa datang, aku bisa minta tolong sama Istrinya Pak Didin.”
“Bisa.”

Bella menatap kakaknya lagi, lalu tersenyum. Ia sangat beruntung, terlahir sebagai adiknya perempuan ini, perempuan yang selalu ada untuknya meskipun ia memiliki kesibukan lain. Bella memeluk Selena, menyembunyikan kesedihannya didalam sana.

Hangat, tubuh Selena selalu hangat dipeluknya. Bella semakin takut kehilangan sosok ini, sebentar lagi dua atau beberapa tahun lagi Selena pasti akan mencari sosok pria dan mereka akan memulai sebuah kehidupan tanpa dirinya. Bella tidak yakin ia akan sanggup, Selena sangat berarti dalam hidupnya. Lebih dari apapun.

“Kak,” Selena yang hampir tertidur kembali membuka matanya, dan berdehem. “Soal cita-citaku untuk sekolah di luar negeri, aku batalin. Aku mau kuliah disini, mau sama Kak Selena.”

Selena tersenyum, dan mengangguk. Selena selalu mengiyahkan apapun kemauan adiknya, apapun, bahkan jika adiknya meminta nyawanya sekalipun akan ia berikan tanpa menimang-nimang. Selena sangat, amat-sangat memberikan dirinya untuk Bella. Selena tidak perduli, walau dirinya akan hancur dan patah demi adiknya, karena itu sudah ia lakukan sejak dulu.

*****

Pagi harinya, Selena berangkat kembali ke sekolah. Pagi-pagi sekali untuk mengambil tasnya, kemarin Selena menyuruh Christy untuk menaruh tasnya didalam loker yang tidak ia kunci, karena ia harus cepat-cepat pulang karena mendapat panggilan dari wali kelas Bella. Selena mengeluarkan buku-buku dari dalam tasnya, dan mengganti dengan buku-buku yang lain yang ia simpan juga didalam loker.

“Sel,” Selena menutup loker dan berbalik badan, ia melirik Arthur yang mengusap belakang lehernya. “Gue mau minta maaf soal yang kemarin, gue tau, gue kelawatan. Tapi Sel, gue nggak bermaksud–

“Iya. Nggak papa.” Selena menarik sudut bibirnya, meskipun tidak terlihat, namun setidaknya ia sudah berusaha.

Arthur mengangguk, dan menegakkan tubuhnya yang semakin hari semakin kekar karena rajin mengunjungi tempat gym. “Sebagai permintaan maaf gue, gue mau ngajak lo makan sore nanti, mau gak?”

“Nggak bisa, gue harus ke sekolahan Bella.”

“Ee, gimana kalau kita makannya sama Bella? Di tempat jualan chiken kesukaan dia?” Arthur menatap Selena yang terlihat berpikir, gelisah, biasanya temannya ini akan mengutamakan adiknya lebih dari apapun.

“Terus sekolah lo gimana?” Selena berucap sangat pelan, hampir seperti bisikan.

“Sesekali ninggalin pelajaran Bu Dian nggak masalah.”
“Gue nggak punya wewenang untuk itu.”

“Sel, gue nggak ngomongin tentang itu, okay? Pokoknya gue ikut lo ke sekolahan Bella. Lagian hampir tiga bulan gue nggak ketemu adik lo, sebagai sahabat lo, gue merasa kangen.”

Selena mengangkat sebelah alisnya, namun ia mengangguk. Arthur tersenyum dan memeluk sahabatnya itu sebentar, takut terkena masalah karena ini masih berada di area sekolah. Selena memakai tas ranselnya, lalu melangkah menjauhi arena loker, diikuti Arthur dibelakangnya.

Arthur menggosokan kedua tangannya dan menempelkan ke pipi. Merasa mimpi, Selena tidak pernah mengabulkan apapun yang ia inginkan, meskipun ia menangis didepan umum sekalipun. Hari ini seperti keajaiban. Arthur salah, ia pernah benar menebak tentang sosok gadis yang berjalan tegak didepannya ini– Selena, gadis itu, ia memiliki sebuah rahasia, yang masih menjadi teka-teki.

STANDOFF Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang