Hari ini adalah hari pertamaku dimulai. Aku seperti tampak baik - baik saja. Sebenarnya tidak. Aku mencoba.
Aku berharap hari - hari ku benar - benar baru.Kemudian kutemukan seseorang yang baru saja kenal namun rasanya seperti sudah bertahun - tahun mengenal. Ia berbicara seperti aku teman akrabnya—but we just met.
Seseorang yang pertama kalinya membuat tawa bahkan seisi ruang.
Jika ku ceritakan disini, akan jadi satu buku. Pokoknya menyenangkan. Jatuh hati pada jumpa yang pertama begini ya rasanya?baiklah lupakan ia, kuingin bercerita lagi tentang kamu.
Aku memikirkan nya, karena kondisi yang aku tahu sangatlah berat untukmu. Hari - hariku kamu isi dengan sapaan dan candaan ringan mengundang tawa. Hanya 2-4 balasan. Aku tidak lah seberani itu menanyakan bagaimana kabarmu. Karena....aku tidak enak, aku ingin membiarkanmu bercerita sendiri tentang keadaanmu.
Kamu mengajakku bertemu. Iya, tapi tidak berdua. Katamu kamu rindu manusia - manusia 3 tahun kebersamaan. Lalu ku coba atur waktu dan tempat. Semua sepakat. Tibalah hari dimana kita berkumpul.
Inilah yang ku maksud. Meskipun kita membuat pertemuan, tidak semua bisa hadir. Hanya setengahnya. Tidak masalah, yang penting ada kamu.
Riuh ramainya masih seperti dahulu. Aku melepas rindu. Tidak ada yang berubah. Hanya beberapa dari mereka membuatku pangling karena make up dan beberapa lebih gemuk dari sebelumnya.Kita duduk berhadapan. Ditemani manusia lain tentunya. Aku mengambil beberapa fotomu yang tidak malu bergaya sok cool itu, tapi tampan jujur saja.
Kita semua bercerita tentang pengalaman baru ditempat baru. Tidak ada yang bisa menggantikan. Semua bilang begitu. Aku mendengarkan juga bahwa kamu sedang berjuang. Bekerja keras meraih cita cita yang tertunda kemarin.
Hari berikutnya, ku mendapati pesan obrolan daring. Kamu memintaku melakukan sesuatu dan tidak sabaran. Sepertinya itu sudah menjadi sifatmu ya?
Kemudian kita berbincang kecil mengenai hal - hal sepele. Perbincangan kecil kita akhirnya menemui suatu topik yang hangat. Saling berbalas pesan tanpa perlu menunggu waktu yang lama. Namun, perbincangan hangat pertama kita diakhiri dengan membuatku kesal. Namun sepertinya waktu itu kamu takut aku marah dan menghubungiku di ruang obrolan daring yang lain. Aku tidak mau membalas. Besok saja.
Aku tidak pernah terpikir bagaimana bisa kamu mengajakku pergi menonton?
Aku harus mengiyakan atau tidak? Aku bingung sekali. Berdua saja? Yang benar saja. Aku tidak mau. Bagaimana kalau nanti aku membosankan? Aku ajak teman kita yang lain ya? Kamu malah tidak mau.Baiklah, aku mau. Senang? Tidak tahu. Kamu mau minta alamatku? Buat apa? Kalo nanti jadi berarti gausah jemput ya. Tentu saja tidak usah. Aku bisa kesana sendiri. Lagipula jaraknya tidak jauh dari rumahku.
Akan ku kabari lagi nanti. Baiklah.
Namun, tak kunjung ada kabar darimu. Aku tidak sedih. Aku tidak kecewa. Aku tidak memiliki ekspetasi apa - apa terhadapmu. Aku hanya tidak enak menolak ajakanmu waktu itu. Aku takut, aku tidak punya waktu. Karena aku akan pergi.
Hari itu bulan puasa. Iya, mudik. Aku mau mudik. Tidak ada kesempatan sampai waktu yang aku tidak bisa tentukan. Habis lebaran, aku harus UAS. Aku tidak dapat memastikan kita akan bertemu lagi.
Hari raya tiba. Aku menghubungimu dengan candaan di social media. Kamu membalasnya juga dengan candaan nanti mau dikenalkan ke ibumu. Bercandamu itu....
Hari - hari berikutnya, kamu tiada henti bertanya kapan aku kembali ke rumah? Entah kamu tidak mengingatnya atau hanya ingin basa - basi menanyaiku terus. Kamu ingin aku segera menemuimu. Namun, maaf karena kampung halamanku terbatas pada signal ponsel, jadi baru ku balas saat aku menemukan signal — seringkali pada hari berikutnya.
Pesanmu yang masuk ke ponselku banyak sekali. Entah hanya memanggil namaku, mau menceritakan sesuatu, ingin ditemani berbalas pesan daring, apapun itu. Kamu bilang bosan dirumah terus. Kamu kapan pulang?
kamu mengajakku untuk menonton sebuah film lagi, kebetulan film—yang rencananya akan kita tonton—itu, sudah ku tonton di sebuah mall di yogyakarta. Ternyata aku tahu alasanmu mengapa waktu itu kamu menghilang tidak ada kabar—soal rencana kita—waktu itu, kamu tidak suka tema filmnya. Iya, waktu itu aku yang memilih judul filmnya karena, kamu sendiri yang memintaku untuk bebas memilih judul film apa saja. Mungkin waktu itu aku terlalu banyak alasan saat kamu menawarkan beberapa judul film, jadi supaya aku mau diajakmu menonton.
Aku masih tidak mengerti apa alasanmu yang tidak sabar itu menungguku pulang. Aku juga tidak ingin menduga apa alasanmu hampir setiap waktu menghubungiku meskipun ku jarang membalasnya. Aku selalu takut ketika kamu berkata manis kepadaku. Maaf, aku selalu menepisnya dan menganggap itu hanyalah sebuah candaan. Aku tidak tahu kapan kamu berbicara serius dengan kata - katamu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Siapa?
Short StoryCerita pertemuan, perpisahan dan pertemuan Tokohnya takkan pernah tahu bahwa ia tokohnya.