16. Dua Pilihan

80 5 2
                                    

Masih teringat percakapan ditelephon malam tadi. Sebelum shalat isya, aku mendapat panggilan dari Abah, melalui hanphone Ummi.

"Beneran, besok Abah sama Ummah mau berkunjung?" tanyaku antusias, setelah mendengar perkataan Abah dari seberang.

"Iya, Aisy. Ummahmu kangen banget katanya, dari kemarin merengek terus minta nengokin kamu," terang beliau.

"Emang Abah nggak kangen juga sama Aisy?" tanyaku, sedikit menggoda.

Terdengar kekehan di seberang sana, tapi tak terdengar jawabannya. Ah, Abah. Ternyata beliau tak pernah berubah, masih saja selalu menyembunyikan isi hatinya.

Kulirik jam di dinding, sudah jam enam ternyata. Aku pun segera melepas mukena, karena memang tadi seusai shalat subuh, aku langsung menderas Al-Qur'an tanpa melepasnya.

Kulihat beberapa teman sekamar, tengah sibuk mengumpulkan baju-baju kotor mereka. Rupanya mereka mau mencuci. Untung, kemarin aku sempat numpang nyuci di rumah Abah Yai. Lumayan 'kan, nggak perlu antri.

Sekitar jam setengah sembilan, Mbak Salma memanggilku.

"Isy, ada orangtua kamu di depan," katanya.

"Beneran, Mbak?" Aku segera berlari tanpa menunggu jawabannya.

Di teras asrama, terlihat Abah dan Ummah tengah duduk. Mereka tersenyum menyambutku. Tapi, tak bisa dibohongi, kalau wajah mereka menyiratkan kebingungan yang mendalam. Sebenarnya ada apa?

"Assalamu'alaikum, Abah, Ummah." Aku memberi salam, mencium tangan mereka bergantian.

"Wa'alaikumsalam," jawab keduanya sambil tersenyum.

Setelah berbasa-basi melepas kerinduan, kini saatnya aku menyampaikan maksud hati Ustadz Yusuf terhadapku. Belum juga memulai, tapi jantung ini rasanya sudah mau copot. Bergejolak tanpa henti.

"Ehmm, Abah, Ummah. Aisy mau menyampaikan sesuatu." Aku menatap kedua mata orang terkasih itu, bergantian. Dengan penuh debaran di dalam sini.

"Kenapa, Sayang?" Ummah bertanya, sambil mengusap kepalaku yang terbalut jilbab. Tatapannya yang lembut, terasa menentramkan hati.

"Ehmm, kemarin ... ada seorang laki-laki ... yang ngungkapin perasaannya ... sama Aisy," terbata, aku berkata.

Wajah Abah berubah cemas, "Siapa dia?" tanya beliau.

"Apa dia, Gus Ilyas?" Kini, Ummah yang bertanya.

Hah, Gus Ilyas? Kenapa Ummah menebak seperti itu?

"Bukan, Mah."

"Lalu, siapa?" tanya Abah lagi, terlihat gusar.

Apa begitu menakutkan ya, kalau anak gadis satu-satunya ada yang menyukai?

"Ustadz ... Yusuf," jawabku, lirih. Tapi masih terdengar oleh mereka.

"Ustadz Yusuf?" Ulang Abah.

"Iya, Bah. Dia, guru ngaji Aisy, bagian hadits." Aku menerangkan.

"Terus, apa kamu sudah menerimanya?" tanya Ummah.

"Belum, Mah. Aisy minta persetujuan dulu sama Abah," aku menatap Abah, meminta jawaban.

"Apa kamu juga, menyukainya?"

Aku mengulum senyum, tanpa memberi jawaban atas pertanyaan Abah.

"Sebaiknya kamu pertimbangkan dulu jawabanmu," rupanya Abah tahu maksudku. "Karena, putra Abah Yai juga ingin mengkhitbahmu," tambah Abah.

Deg! Bagai tersambar petir. Kata-kata Abah benar-benar sukses membuatku terperanjat. Apa ini maksud dari pertanyaan Ummah tadi?

Tak terasa, kristal bening sukses meluncur melalui sudut mataku. Apa, apa yang harus kulakukan? Kenapa aku harus dibebankan dengan dua pilihan ini?

Sesak. Tiba-tiba saja dadaku terasa sesak. Sempat tertangkap oleh mata ini, saat aku tengah mengusap sudutnya. Ustadz Yusuf. Apa tadi dia tengah mengamatiku? Lalu, kulihat dia segera masuk ke rumah Abah Yai, saat aku mencoba memperjelas keberadaannya.

"Apa, Abah menerimanya?" Susah payah aku mengungkapkan pertanyaan itu.

Terdengar hembusan nafasnya, kemudian kulihat beliau menggeleng. Syukurlah.

"Kami belum memberi jawaban," kini, Ummah yang berkata, "kami masih mau menanyakannya padamu," tambahnya.

Ya Allah. Harus kujawab apa pertanyaan itu?

Satu sisi, aku hanya menyukai Ustadz Yusuf. Dan sisi lainnya, aku takut untuk menolak putra Abah Yai. Bagaimana ini?

"Sebaiknya, suruh dia menemui Abah." Akhirnya, Abah membuka suara.

"Maksud Abah, Ustadz Yusuf?" Beliau mengangguk.

"Baik, Abah."

Aku mengulum senyum. Rasanya, ada yang berdesir disini. Di dalam hati. Seperti melihat fatamorgana di padang pasir. Masih ada harapan. Semoga, Abah menerimanya.

***

Bersambung

Ana Uhibbuka Fillah (Pindah Ke NovelToon)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang