"Kamu mau makan apa, Zah?" Akbar menawari tapi matanya tetep ngeliat ke arah buku menu. Dari tadi, dia sama sekali gak mau menatap mataku. Kalaupun mau bicara, pandangannya ke arah lain dan mancoba menghindari kontak mata.
"Aku minum aja. Kamu kalo mau makan, gak apa-apa kok."
Dia kemudian mendongak dan akhirnya melakukan kontak mata sama aku. Mau pingsan rasanya.
"Sandwich?" Masih ingat ya sama makanan favorit ku di cafe ini?
"Sip. Satu."
"Minum?"
"Kopi susu."
Akbar manggil pelayan terus nyebutin pesanan.
"Sandwich dua, coklat panas dua."
Aku melotot. Kopi susu ku mana?
"Aku kan pesen kopi susu, Bar?"
"Gak baik kamu minum kopi terus."
Aku gak ngerti harus ngerespon apa lagi. Dia lagi ngasih harapan atau gimana sih?
Detak jantungku masih urak-urakan sampai tiba-tiba handphone Akbar bunyi. Dilayar tertera nama 'Cindy' dengan embel-embel emoji bintang. Mataku kembali panas lagi. Aku emang cengeng banget ya jadi orang? Tapi aku nyoba buat nahan itu semua dengan mengatur napasku dan memikirkan hal-hal lain yang lebih indah biar air mata sialan ini gak keluar seenak jidatnya.
Dia meraih handphone dan beranjak dari duduk lalu berjalan ke luar cafe tanpa minta ijin sama aku. Lima menit kemudian, dia balik. Dan parahnya, Cindy ikut mengekori Akbar dibelakang.
"Zahra! Kebetulan banget disini." Seluruh cafe menatap ke arahku. Menyadari kalau aku dari tadi makan disini bersama Akbar yang notabennya adalah pacar Cindy. Ya. Cindy dengan sifat periang dan image nya yang bagus dimata semua orang. Dan aku akan dianggap sebagai pelakor atau perusak hubungan orang. Aku bahkan gak bakal kaget kalau besok ada banyak orang yang mengata-ngataiku disekolah dan di social media. Nanti malam, harus bersiap tutup akun.
"Eh, Cindy." Aku berdiri dan maksa senyum walaupun air mata udah menggenang di pelupuk mataku.
"Tadi ke rumah dia ambil jaket, terus sekalian makan soalnya aku juga belum sempet makan." Kata Akbar dengan santai.
"Oalah... Eh, Zahra. Kalo kamu tau Akbar gak makan, marahin aja ya. Suka kebiasaan banget jadi orang."
Oke, aku sekarang ngerasa jadi tokoh antagonis di cerita Akbar dan Cindy.
Aku pikir cukup buat saat ini. Air mataku jatuh sebentar lagi.
Aku pura-pura mengambil handphone dan mendekatkan ke telingaku, seakan-akan ada telpon masuk. Kemudian cari alasan biar bisa keluar secepatnya dari sini.
"Kayaknya mamaku ngomel deh. Aku balik duluan ya!"
"Biar dianter Akbar, Zah."
"Gak usah. Soalnya aku mau mampir dulu ke supermarket buat beli buah. Jadi kemungkinan agak lama. Duluan ya!"
Buru-buru aku keluar sambil berlari. Ketika sampai agak jauh dari cafe, aku jongkok dan menyembunyikan kepalaku di lipatan tangan, lalu menangis tersedu sedu. Emosiku keluar semua. Aku gak peduli dilihat banyak orang disekitar. Bahkan beberapa orang berhenti dan menyentuh pundakku lembut, mencoba menenangkan. Tapi gak berhasil. Kayaknya aku bakal nangis nonstop sampai besok pagi.
***
Pagi ini aku berangkat sekolah dengan mata yang sembab, muka bengkak, dan kepala pusing. Sejak aku memarkirkan motor di parkiran dan berjalan sampai ke kelas, semua mata tertuju padaku. Entah gara-gara gosip ataupun wajah dan penampilanku yang nunjukin kalau aku sama sekali gak bersemangat hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
After We Broke Up
FanfictionBingung nulis deskripsi. Pokoknya ini ceritanya Zahra setelah putus. Apakah dia masih pengen balik sama Akbar? Ataukah Akbar juga masih ada rasa sama Zahra setelah dia deket sama Cindy? Terus gimana nasib Alvaro sang juara olimpiade matematika-tapi...