Kitagawa Hikaru

40 2 0
                                    

"Menu spesial hari ini, melon pan."

Kento menggambar melon pan di papan tulis yang biasa terpajang di depan coffee shop Yuki. Meski tempat mereka adalah sebuah kedai kopi, pada hari-hari tertentu Yuki (atau Kento) membuat satu atau dua jenis makanan untuk menjadi teman kopi bagi pengunjung yang datang. Biasanya menu spesial itu habis sebelum jam satu siang.

"Kau terlihat senang." Yuki bertopang dagu di counter-nya, nyengir sedikit melihat Kento yang tak hentinya tersenyum. Kento menoleh sedikit, lalu tertawa kecil.

"Semua tugasku sudah selesai. Kelas hari ini dipindah ke lusa. Jadi boleh ya aku mengambil double shift hari ini?"

Yuki mengerutkan kening.

"Kelasnya dipindah ke lusa kan? Kau bisa ganti shift besok kok. Atau sebagian hari ini, sebagian besok. Tidak diganti juga terserah sih, toh kau kan kubayar per jam."

Kento mengusap tengkuknya sedikit. "Tapi nanti Yuki-senpai repot."

"Aku sih tidak masalah, yang masalah itu kau. Jangan menumpuk bebanmu seenaknya begitu dong. Nanti tahu rasa sendiri."

"Yaaah, tapi—"

Obrolan mereka terhenti saat bunyi bel pintu terdengar. Seseorang masuk ke dalam. Laki-laki, tubuhnya kecil dan tidak bisa dibilang tinggi. Mendekati tinggi Kento bahkan Yuki pun rasanya tidak.

"Selamat datang!" sambut Kento. Tangannya mengeluarkan catatan, siap mencatat pesanan orang tersebut. Ia menatap menu yang tersedia dengan pandangan lesu.

"Double ristretto, hot."

Kento mencatat pesanan pemuda itu. "Mau mencoba menu spesialnya, Kitagawa-senpai?"

Yuki menoleh. Masa iya Kento kenal pelanggan yang itu, padahal seingat Yuki dia baru pertama kali ke sini.

"Tidak deh Ken. Aku sudah sarapan sih, tapi hari ini ngantuk sekali. Proyek kelompokku menyita waktu dan itu juga belum selesai." Sosok tersebut membuka dompetnya sementara Kento menghitung harga yang harus dibayar orang itu, dan Yuki yang membuat kopinya.

"Lho, memangnya hanya senpai yang mengerjakan?" tanya Kento, tangannya kini sibuk mengelap gelas-gelas bersih. Sosok tersebut mengedikkan bahu.

"Begitulah."

"Silahkan." Yuki meletakkan cangkir kopi pesanan Kitagawa di atas baki, lalu menyerahkan bakinya kepada sosok itu. "Temannya Kento?"

"Seniornya di SMA dulu, Kitagawa Hikaru." Sosok tersebut mengenalkan dirinya. Ia meletakkan bakinya di depan counter, mengambil tempat duduk di meja dekat barista. Toh ia tak akan lama. "Anda bosnya?"

Yuki tertawa kecil. Tak perlu menjelaskan kalau ia adalah pemilik dari tempat itu, toh ia memakai tanda pengenal. "Seniornya juga, tapi dulu di kampus. Aku sudah lulus."

Hikaru mengangguk kecil. "Begitu rupanya, dia tidak pernah cerita kalau selama ini dia punya minat berkuliah di Tokyo. Tahu-tahu muncul saja di hadapanku seperti hantu," ceritanya, membuat Yuki tertawa geli dan Kento mendelik ke arah mereka. Hikaru meraih cangkir kopinya, lalu menghirupnya perlahan.

"Kau terlihat lelah," celetuk Yuki, membuat Hikaru meletakkan cangkirnya kembali.

"Benarkah?"

Yuki mengangguk. "Apa semalam tidak tidur?"

"Eh?" Hikaru mengerjapkan mata. "Kelihatan sekali ya? Aku memang tidak tidur, mengerjakan proyek kelompok semalaman."

"Persis Kento," celetuk Yuki lagi, membuat yang disebut namanya mengajukan protes. "Dia sering sekali begadang, jam dua atau jam tiga pagi katanya masih bangun. Entah ngapain dia, masa iya 3 AM thought?"

"Hahah, dasar dia itu," gumam Hikaru. "Yah, tugasku sulit sekali. Dan itu juga belum selesai."

"Tidak mencoba minta bantuan? Katanya proyek kelompok." Tanya Yuki, sementara Kento beralih untuk melayani pelanggan baru. Hikaru mendesah pelan.

"Harusnya sih iya," gumamnya. "Tapi rasanya susah."

Yuki geleng-geleng kepala. "Makanya, tanya dulu sana. Apalagi ini tugas kelompok, seharusnya ada andil dari setiap anggota kelompok. Minimal kalau terlalu bodoh ya sediakan saja cemilan yang banyak untuk semua anggota."

Kento yang baru selesai melayani pembeli lain nyaris tersedak mendengarnya. Kata 'bodoh' yang keluar dari bibir Yuki rasanya jarang ia dengar. Tetapi mendengarnya kali ini terasa lucu, bukannya kasar.

"Kau tidak mengerti sih," gumam Hikaru, menghirup lagi kopinya.

"Apa yang tidak aku mengerti?"

"Kau pernah merasa tidak enak kepada orang lain? Nah itu yang aku rasakan."

"Huh?" Yuki mengangkat alis. "Tidak enak yang seperti apa?"

"Maksudnya," Hikaru menghela napas. "Kau bisa saja merasa tidak enak karena terkesan menyuruh-nyuruh orang lain kan? Belum lagi kalau mereka membicarakanmu di belakang, seperti 'ya ampun, dia egois sekali, berkorbanlah sedikit dong demi kita', atau 'astaga, untuk proyek saja sifatnya ngeboss begitu', lalu 'dia capek? Kita juga capek!', seperti itu. Kau paham kan?"

Kento dan Yuki tercengang. Mereka kira Hikaru pendiam, ternyata cerewet juga.

"Mungkin tidak sampai seperti itu," ujar Kento pelan. Namun terpotong karena ada pelanggan lain yang masuk.

"Maksudnya?" tanya Hikaru. Yuki tersenyum, paham maksud kalimat Kento.

"Tidak semua orang akan berpikiran seperti itu. Di dunia ini juga ada orang yang masih tahu diri, seperti 'ya ampun, harusnya kau tidak mengerjakannya sendiri' atau 'bagian mana yang belum selesai? Akan aku bantu sebisanya!', begitu. Lagipula egois untuk melindungi diri sendiri juga tidak masalah kok. Toh yang untung dengan nilai maksimal nantinya mereka juga kan."

Yuki nyengir. Kini ia beralih meracik kopi yang dipesan pelanggan lain sementara Kento yang menyiapkan melon pan pesanan pelanggan itu. Hikari minum dalam diam, mencerna apa yang diutarakan Yuki tadi.

"Ne, Ishii-san."

Yuki menoleh. "Apa?"

"Apa menurutmu aku harus mencoba meminta tolong kepada mereka?"

Yuki mengangguk. "Lebih baik daripada tidak sama sekali."

"Bagaimana jika mereka tak mau bekerja sama?"

"Pertimbangkan untuk mencoret nama mereka dari proyek kalian."

Kini giliran Hikaru yang tercengang. Sejenak kemudian ia tersenyum dan tertawa kecil.

"Heeeh, kau benar juga."

"Yuki-senpai selalu benar." Ujar Kento, ia tersenyum kecil. Yuki mendengus mendengarnya.

"Baiklah." Hikaru meletakkan gelasnya. Kopinya telah tandas. "Aku pergi dulu. Terima kasih atas sarannya."

"Terima kasih juga telah mampir." Yuki tersenyum, lalu memandangi Hikaru yang kini bersiap untuk meninggalkan mereka.

"Oh ya," Hikaru urung membuka gagang pintu. "Kopinya enak, serius. Lain kali aku akan mampir lagi."

Kemudian ia pergi keluar dan hilang di antara gelombang pejalan kaki Tokyo.

-to be continued-

Coffee Shop StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang