Komatsu Koshin

29 3 1
                                    

Matahari sudah beranjak terbenam. Tetapi Komatsu Koshin belum pulang, dan memilih untuk duduk di bangku coffee shop dengan seragam sekolah yang ia pakai. Tak banyak yang ia pesan memang, hanya segelas cappucino dan sepotong kue. Namun dia sudah nyaris dua jam berada di sini.

Koshin memijat keningnya sendiri. Pensil di tangannya, sedangkan matanya fokus ke arah halaman buku yang sedang ia buka. Bibirnya sesekali bergerak-gerak, tampak sedang menghitung sesuatu. Lalu ia menelungkupkan kepalanya di atas bukunya.

"Ah, pusing." Gerutu Koshin pelan, tetapi terdengar sampai telinga Yuki yang tengah membereskan meja yang lain.

"Mempersiapkan diri untuk ujian?"

Koshin mengangkat kepalanya. Yuki menatap dirinya dengan pandangan ingin tahu.

"Kok tahu sih?"

Yuki mengangkat alisnya. "Yang kau dari tadi kerjakan kan matematika. Dari mataku yang masih normal sih kelihatan kok itu buku soal matematika. Mau ujian nih?"

Koshin menghela napas. "Iya nih, barista-san. Materinya susah banget."

"Namaku Ishii Yuki. Daripada kau memanggilku dengan 'barista-san', lebih baik panggil namaku saja. Aku tidak masalah kok." Yuki tersenyum, lalu kembali mengelap gelas-gelas yang baru selesai dicuci.

"Nee, Yuki-san?"

"Eh, apa?" Yuki menoleh ke arah Koshin.

"Kenapa kita harus belajar semua ini?" tanya Koshin, pensilnya ia letakkan di atas bukunya.

"Eh, maksudnya?" tanya Yuki balik. Ia meletakkan kembali gelasnya, lalu menarik bangku untuk duduk di sebelah Koshin, seraya mengucap permisi.

"Maksudnya, aku tak berminat menjadi ahli matematika, juga guru matematika. Bahkan aku tidak tertarik mengerjakan matematika meski aku bisa. Aku lebih suka mempelajari seni tari, kenapa di SMA aku tidak sekalian saja hanya diarahkan untuk belajar menari?" tanya Koshin, membuat Yuki terdiam sejenak. Anak ini kritis banget, batinnya.

"Tapi matematika juga berguna untuk mengasah otakmu kan? Lagipula, sehari-hari juga kau berurusan dengan hitung-hitungan. Aku contohnya, bidangku di kuliner, tapi sehari-hari jelas aku berurusan dengan uang, perhitungan bahan, dan logika." Yuki tersenyum, lalu memerhatikan materi yang sedang Koshin bahas.

"Tapi masa iya sampai belajar soal bangun ruang begini sih?" Koshin mengerutkan dahinya.

"Kau mungkin tidak tahu, tapi mungkin suatu saat kau memerlukan pengetahuan ini di masa depan."

"Contohnya?" Koshin menatap Yuki dengan pandangan bertanya. Yuki mengambil botol minum yang juga ia jual untuk pelanggannya, berbentuk silinder yang lurus tanpa lekuk aneh-aneh. Lalu menunjukkannya kepada Koshin.

"Kau lihat botolku ini?" tanya Yuki. "Bisakah kau memperkirakan berapa banyak cairan yang bisa kuisikan ke dalam botol ini?"

Koshin tampak menimbang-nimbang. "Mungkin... kita ukur dulu volumenya, baru jika sudah ketemu, kita bisa tahu berapa banyak batas air yang bisa kita isikan?"

Yuki mengangguk. "Bayangkan jika aku menjawab asal-asalan berapa kapasitas maksimal botol ini, lalu ada orang yang mengisinya dengan minuman yang ia mau, tapi karena kapasitasnya terlalu kecil, isinya meluber kemana-mana. Kan merepotkan?"

Koshin manggut-manggut sendiri, tetapi tampaknya masih belum puas. "Tapi aku benar-benar ingin belajar dance saja, bukannya matematika! Kan sudah kubilang aku tidak berminat dengan matematika?"

Yuki tertawa kecil. "Apakah kau seyakin itu hanya berminat dengan tarian, dan tidak akan berminat dengan matematika? Nanti kena karmanya, lho~"

Koshin merengut. "Maksudnya apa sih?"

Yuki tertawa kecil. "Dulu aku paling tidak suka pelajaran Ekonomi Rumahan lho. Terutama kalau sudah belajar memasak. Kurasa aku tidak berbakat memasak, bahkan cenderung mengacau di dapur. Makanya aku diusir dari dapur oleh ibu dan adikku, haha."

Sepertinya Koshin langsung menangkap maksud Yuki.

"Dan sialnya waktu kuliah kau malah belajar kuliner?" tanya Koshin langsung, dan dijawab dengan anggukan Yuki.

"Entah kenapa waktu SMA aku menjadi penasaran, dan di kelas 3 aku jadi menikmati sendiri saat kelas Ekonomi Rumahan. Dari yang awalnya tidak bisa malah jadi bisa."

Koshin menopang dagunya. "Tapi ini kan bukan kisah zero to hero, Yuki-san. Minggu depan ujian nih, aku jadi deg-degan sendiri."

Yuki tersenyum, lalu menepuk bahu Koshin. Meski ia agak sebal juga dengan bocah keras kepala yang satu ini. "Selamat berjuang kalau begitu." Kemudian ia berdiri dari kursinya.

"Eh, cuma itu?!" tanya Koshin kaget.

"Kamu maunya apa sih, bocah?" Yuki mengerutkan kening. "Yang aku bisa lakukan cuma itu. Aku kan bukan orangtuamu?"

Koshin cemberut. "Setidaknya beri aku motivasi dong! Aku ingin bebas dari ujian neraka ini!"

"Kalau begitu," Yuki melipat tangannya. "Datang, kerjakan, dan lupakan. Semudah itu saja."

"Ha?" Koshin melongo. "Kenapa semudah itu?"

"Ya tidak lah, bocah!" Yuki tertawa lagi. "Berjuang, belajar yang rajin! Jangan bosan untuk mengulang topik yang akan keluar saat ujian. Jika kau mengerahkan semua kemampuanmu untuk menjalani ujian ini, hasilnya tak akan mengkhianatimu!"

Koshin menatapnya dengan tatapan aneh. "Ah, kalau itu sih aku juga tahu. Tapi terima kasih deh, setidaknya aku jadi termotivasi. Sedikit sih."

Yuki agaknya menahan diri dari keinginan untuk menjitak bocah itu.

Koshin membereskan bukunya, lalu memasukkannya ke dalam tas. "Ya sudah, aku mau pulang untuk persiapan ujian. Kalau nilaiku bagus, ibu akan mengajakku makan di restoran kesukaanku. Mungkin mengajaknya ke sini oke juga."

"Tapi ini coffee shop, bukan restoran." Yuki menyahut.

"Bodo amat ah. Yang jelas kalau ujianku bagus, aku akan ke sini dengan ibuku. Aku pergi dulu, jaa nee."

Sepeninggal Koshin, Yuki tersenyum meski alisnya berkedut, menahan kekesalannya kepada anak itu.

Dua minggu kemudian, Koshin datang bersama ibunya untuk minum kopi di tempat Yuki lagi.

-to be continued-

Coffee Shop StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang