~•~Dari mana kita berasal, maka disanalah kita kembali.~•~
Penghalang pada jalan telah dipindahkan, jalan itu sudah sepi sejak lima menit lalu saat pelayat terakhir keluar dari rumah duka. Tinggal beberapa sanak saudara yang berlalu lalang didalam rumah.
Jhonatan—anak tertua keluarga Sanjaya dari pihak Eyang Jaya—sudah mengurus pelayanan rumah sakit yang mengurusi jenazah Eyang Bale. Rumah dua lantai yang biasanya ramai dengan teriakan dan tangisan balita, kini diselimuti duka."Terimakasih," Ratih sibuk melayani tamu yang tersisa.
Wajah putih itu tak-kalah suram dengan suasana rumah duka, namun senyum tak pernah luntur dari wajahnya.
"Dayan, panggilkan adikmu dia belum makan dari pagi," Tiara menegur Dayan yang sibuk bermain ponsel.
Dayan mengetuk pintu kamar adiknya dua kali dan membukanya dengan pelan.
"Lihah, lagi apa?"
Shalihah memandang keluar jendela membelakangi Dayan, Himar abu yang dikenakannya tertiup angin namun tubuh itu seakan tak memiliki jiwa. Dayan sempat melirik tangan adiknya yang meremas tasbih kecil berwarna pink.
"Kak Tiara manggil. Katanya disuruh turun trus makan," ucap Dayan masih diambang pintu kamar adiknya.
Shalihah tidak merespon Dayan, matanya masih setia memandang gorden putih hingga Dayan memilih duduk di kursi belajar sang adik.
Hening
"Lihah sering melihat danau bareng Eyang," gadis itu berkata lirih.
"Hujan pun Eyang bisa bawa Liha kesana. Kata Eyang, hujan adalah waktu mujarab buat do'a,"
Dayan mendengarkan tanpa suara, dia sadar Shalihah terlalu shock dengan kenyataan bahwa satu-satunya orang yang menyatukan kedua keluarga mereka telah tiada. Kematian Eyang Bale merupakan pukulan terbesar bagi keluarga Sanjaya terutama Shalihah, keluarga dengan dua keyakinan berbeda tinggal dalam satu atap dan itu dilakukan oleh Eyang Bale.
"Kak Dayan masih mau tinggal dirumah ini?"
Dayan tertegun mendengar kalimat lirih adik sepupunya dan pertanyaan itu menambah kemirisan yang dirasakannya.
Dayan tersenyum sebagai respon. "Turun. Kamu ditungguin di meja makan,"
Dayan meninggalkan kamar itu lalu turun menuju meja dan memberitahu Tiara jika Shalihah akan turun untuk makan malam.
Mereka tangah sibuk dengan urusan masing-masing, ketika Jhonatan mulai berbicara.
"Besok kalian gak perlu manggil pembantu lagi, ART udah aku liburin. Kalian juga jangan kemana-mana dulu selama dua minggu. Jadi kalian bisa beres-beres juga selama itu,"
Jhonatan baru saja menyelesaikan pemakaman Eyang Bale yang hanya dilakukan pihak Rumah sakit, pasien dengan catatan positif covid-19 seharusnya dirahasiakan. Namun Rumah sakit itu adalah milik Keluarga Sanjaya, mereka bebas mengetahui apa yang terjadi dalam Rumah sakit itu.
Tiara, Dayan, Shinta dan Ratih terdiam tanpa respon. Jhonatan adalah satu-satunya pria dewasa saat ini, dia harus tegar dan tanggap. Masalah ini akan menimbulkan protes bila diketahui warga karena mereka adalah keluarga korban, terlalu beresiko jika tetangga melihat mereka berkeliaran.
"Om, Abah dan Tante Zahra gimana, mereka gak akan jemput Shalihah?" tanya Dayan.
Saat ini tak akan ada yang mengerti kondisi Shalihah selain Abah dan Tante Zahra, Dayan pasti berpikir Shalihah tidak bisa ditinggalkan dalam kondisi seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHALIHAH✅
Spiritualcerpen tentang KEBERKAHAN RAMADHAN DI TENGAH PANDEMI COVID-19 #oneshoot #olehPurpleHeart #eventonPNPIschool