Aku benci ekspektasi, kendati aku hampir selalu jatuh ke dalam lubang setan itu. Aku lupa pernah baca di mana, but I'm pretty sure it's everywhere; expectation is a cruel bastard, it takes away all the joy from the present. Terlebih lagi, kita sebagai manusia selalu punya tendensi terhadap ekspektasi yang bagus-bagus. Dan ketika ekspektasi baik itu dipatahkan oleh kenyataan yang sepahit-pahitnya, hanya kecewa menu yang disuguhkan oleh dunia.
Tak jarang aku mengingatkan diri sendiri "Hidup ini jangan diterka-terka, Na. Tinggal jalani aja," namun tetap saja aku tak selalu bisa mengimplementasikannya dalam kehidupan nyata. Pada akhirnya, all those everything-is-neither-good-or-bad shit hanya terdengar seperti omong kosong. Dan aku akan selalu kecewa ketika sesuatu tidak berjalan sesuai kemauanku.
Jika digambarkan dengan rumus perbandingan sederhana, ekspektasi berbanding lurus dengan kecewa. Maka the best I can do for now adalah mengatur ekspektasi serendah-rendahnya, agar kecewa yang mendatang pun sama rendahnya. Karena nyatanya, aku tak bisa --mungkin tak akan pernah bisa, membawa ekspektasi itu turun hingga titik nol.
I do have a funny story about expectation, though. Well, I have plenty actually. Tapi satu yang terlintas dalam pikiranku sekarang.
Waktu itu, sudah sebulan aku dan Naufal dekat. Kendati keseharian kami yang selalu dekat dengan kata sibuk, kami selalu dapat menemukan waktu untuk satu sama lain, dengan satu atau lain cara.
Yang mana itu di luar dugaanku. Dengan kondisi Naufal yang sedang gencar memanjat tangga karirnya dan aku yang berlari kencang mengejar embel-embel Sp.A untuk segera disematkan di belakang namaku, kupikir apapun yang saat itu ada di antara kami akan berjalan tersendat-sendat. Kenyataan itu juga yang membantuku untuk tak banyak berharap pada Naufal, untuk tidak membiarkan diriku sepenuhnya jatuh untuk dia.
But I suck at resisting Naufal, am I? I suck. Big time.
We went out quite often at that time. Walau sekadar makan siang bareng di kantin RS, atau ngopi-ngopi lucu di Cik Ditiro. Kami bisa bertemu sampai tiga kali seminggu, belum lagi kalau kami kencan di akhir pekan. Aku tak begitu tahu siapa yang lihai mencari celah di tengah huru-hara hari-hari kami, tapi aku menikmatinya. Aku menikmati waktu bersamanya. Aku suka setiap kali dia datang menjemput, aku suka saat dia ada. Aku suka setiap detik yang bergulir dengan aku di sisinya. Dan sialnya, aku selalu berharap lebih.
Suatu hari, menjelang jam makan siang, sebuah pesan masuk dari lelaki yang perlahan tapi pasti sudah menjelma jadi kesukaanku itu.
Naufal
Dek, aku mau meeting nggak jauh dari RS kamu, nih
Me
Oh, ya? Jam berapa? Siapa tau masih sempat aku susul, ngopi-ngopi sebentar
Naufal
Ini lagi nunggu kliennya, sih. Kamu emang udah jam makan siang?
Me
Yah ):
Belum, masih agak lama
Saat itu juga, aku sadar bahwa aku sudah berharap ditemani makan siang olehnya. Dan kecewa adalah buah pahit yang harus kupetik akibat menanam bibit-bibit ekspektasi pada tanah yang mewujud hati.
Apa, sih. Omongannya jadi kayak tukang kebun begini.
Jadilah siang itu, aku makan dengan Mia dan Yugo, dua manusia gendeng sesama residen anakku.
KAMU SEDANG MEMBACA
fated
Romans-; they said, the destined one will always come back to you. ketika naufal dibawa kembali ke hadapannya setelah jauh hidup membawa mereka, nana percaya bahwa lelaki itulah satu yang diciptakan tuhan untuknya. nana percaya, dirinyalah tulang rusuk na...