#1

58 12 3
                                    

"Walau jauh, sang mentari tak akan berpisah dengan bulan. Mereka sama. Memberi cahaya pada bumi, membuatnya tak resah"

~*~

Jujur, aku agak kecewa saat bertemu dengannya di SMA. Lagi. Ya, lagi. Untuk kesekian kalinya. Apa semesta punya rencana di balik semua ini?

Dari sekian banyak manusia. Bukan. Bahkan dari sekian banyak makhluk di dunia, kenapa dia yang ditakdirkan begitu?

Oke. Biar kuhitung. SD dan SMP. Ya, sembilan tahunku dihabiskan bersama cowok itu. Dan ini akan jadi tahun ke sepuluh, sebelas, dan duabelas dimana hari-hariku akan seperti kemarin.

Keluhan ini bukannya tanpa alasan. Sudah bosan dan muak aku tentang bagaimana aku terlihat di depannya. Dari sejak SD dimana nilaiku tak lebih bagus daripada dia yang mencontekku, hingga saat SMP yang entah bagaimana aku bisa dicap sebagai cewek gebetannya.

Chandra namanya. Artinya bulan. Tapi sumpah, namanya jauh lebih bagus daripada tingkahnya.

Untungnya sekolah ini tidak terlalu membuatku stress dengan keberadaan makhluk itu.

Mungkin lebih dari lima kali aku menerima tawaran dari guru untuk ikut olimpiade. Tak satu pun kuterima. Sadar diri bahwa aku hanya anak SMA yang baru belajar beberapa minggu di sekolah ini. Apa guru-guru memberi tawaran hanya atas dasar aku bisa menjawab sebagian besar pertanyaan mereka di kelas? Tapi di samping itu, paling tidak aku mendapat perlakuan baik dari mereka.

"El! Lu ngelamunin apa,"

"Eh! Sori, Sin. Sori,"

Berdiri di depan Mading BK. Yang benar saja. Sudah hampir delapan menit kami disini.

"Lu gak ikut olimpiade ini?"

Sinta menelusuri tiap nama pada tabel. Mencari namaku tentunya, Aeleen Rumaisa.

"Gak, ah,"

"Lah, Napa?"

"Masih kelas sepuluh gini pede banget mau ikut olimpiade fisika. Kapan-kapan aja, deh,"

Aku masih dapat melihat Sinta yang masih terpaku di depan kertas calon peserta lomba, memperhatikan siapa yang akan jadi calon pasangannya di olimpiade nanti.

"Udah, ah, yuk jajan!"

"Gilak. Si Chandra ikut nyalon!"

Oke. Sinta berhasil mengambil alih perhatianku dengan kata "Chandra".

Selain aku, Chandra juga rupanya berhasil mengambil alih perhatian satu sekolah. Bukan. Bukan karena pintar atau apa. Sebuah rekor seorang anak baru bisa masuk BK lebih dari tiga kali. Selain itu, konon katanya dia berhasil mengambil perhatian beberapa cewek rupanya. Karena tampangnya yang... Jujur saja. Lumayanlah.

"Ah, tenang aja. Dia gak bakal lolos. Aku jamin. Sekarang, ayo jajan,"

Baru selesai mulutku bicara, bel memekakkan telinga terdengar hingga seantero sekolah.

Matematika. Ah, tidak buruk setidaknya. Berdoa saja. Agar bisa ikut pelajaran dengan perut keroncongan.

Agak menyesal aku tidak mampir kantin dulu saat melihat kelas yang masih ramai. Bahkan dari jarak lima meter aku bisa mendengar betapa kacaunya beberapa anak laki-laki bernyanyi sambil menggenjreng gitar asal-asalan. Mereka ini mafia yang berniat menghancurkan pendengaran seisi sekolah atau bagaimana?

"Woy, Pak Anas!"

Kelas menjadi lebih ribut lagi dengan puluhan anak yang berlarian dan menarik kursi. Gitar diestafet hingga dilempar ke sudut kelas. Dan berhasillah Pak Anas datang melihat anak didiknya yang sudah duduk rapi.

Kelas dimulai seperti biasa. Di depan ada guru berkumis dengan muka ketekuk. Dan di belakangnya ada anak-anak murid biadab yang pura-pura paham. Tapi paling tidak suasana jadi aman dan tenteram. Tak perlu khawatir lagi pasal gendang telinga pecah.

Di tengah ketentraman, terdengarlah suara lagu Korea dengan volume selangit. Semua mata termasuk mata setajam silet Pak Anas menatap ke arahku yang ternyata menjadi sumber suara. Iya, HP-ku yang bunyi.

'Si Kampret'

Bocah itu. Hooh, yang aku ceritakan lima paragraf di atas. Aku saat ini tidak fokus bertanya-tanya bagaimana bisa cowok itu nelpon waktu jam pelajaran. Dia memang biasa cabut pelajaran. Yang sekarang menjadi perhatianku adalah Pak Anas yang berjalan ke arahku seperti siluman banteng.

"El,"
"Kita ketemuan di kantin pulang sekolah nanti,"

~*~

Tau, kan endingnya? HP-ku terbang ke tangan Pak Anas. Sekarang aku sedang berjalan ke arah kantin dengan ekspresi siluman banteng persis Pak Anas. Sayang sekali sekolah ini tidak mengijinkan para siswa bawa senjata.

Tanganku yang mengepal makin berkeringat ketika melihat si Chandra lagi asyik makan mie ayam dengan muka o'on tak merasa bersalah.

Aku menarik napas panjang, siap-siap mau nyerocos. Kayaknya tidak bisa kulanjutkan aksi pembunuhanku karena ada Kak Rei, si Ketos, yang lagi ngebakso sambil kasih makan kucingnya Mak kantin.

"Heh! Punya otak gak, sih Lo? HP gue-"

"Kalem, duduk dulu,"

Satu hal yang membuatku mau tidak mau menuruti kata-katanya adalah saat menyadari Kak Rei melihatku dari jauh dan kucingnya yang langsung kabur.

"Gue mau ngomong serius sama Lo,"

halo, terimakasih untuk yang sudah baca dan vomment. Semoga kalian bisa menikmati ya.

Saya akan melanjutkan ceritanya kalau banyak yang suka




HORIZONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang