TOKO KECIL

4 0 0
                                    

TOKO KECIL
Oleh: Farida Rahmawati

***

Aku berlari secepat yang kubisa. Semburat senja sudah mengintip dari balik awan. Sebentar lagi siluetnya berpendar menyelimuti bumi, sebelum hilang tertelan malam. Itu artinya, gelap. Jalanan mulai sepi. Aku bergidik ngeri. Angin sore terasa dingin menerpa kulit. Karena terburu-buru, aku lupa memakai jaket.

Aku harus mengatur napas yang sudah tidak beraturan. Tempat yang menjadi tujuanku adalah toko kecil suram di pasar bagian pojok dalam. Jika pagi atau siang, toko itu tidak akan terlihat karena tidak menarik perhatian. Kesan suram saja sudah cukup untuk tidak mendekatinya, apalagi ditambah suasana yang mencekam. Namun, apalah daya, aku harus ke sana sekarang juga.

Akhirnya aku sampai. Di depanku berdiri sebuah toko bercat coklat yang catnya sudah mengelupas di sana-sini. Pintunya terbuat dari kayu dengan pegangan yang sudah berkarat. Jendelanya tertutup rapat. Hatiku merasa tak nyaman, ingin rasanya aku berputar arah untuk kembali pulang. Namun, ketika teringat kakakku yang bisa berubah menjadi nenek sihir jika aku tidak menurut, membuat nyaliku menciut. Apalagi ini barang penting untuknya.

Kakakku sangat setia membeli bahan di toko ini. Dia sudah berlangganan sejak setahun yang lalu, tepat setelah kepergian ayah dan ibu kami selamanya. Tadinya kakakku yang akan pergi sendiri seperti biasa. Namun, karena pelanggan kakak sedang banyak, maka akulah yang disuruh untuk menggantikannya. Di sinilah aku sekarang. Berdiri mematung di depan toko.

Jujur saja, sebenarnya aku tidak mau datang ke sini. Didukung suasana senja yang mulai temaram, menambah kesan muram di tempat ini. Kakiku terasa berat ketika hendak berjalan menuju pintu. Kukuatkan hatiku, ini demi kakak dan keselamatan diri dari amukannya.

Mantap kuketuk pintu yang ternyata terbuat dari kayu jati berukir naga. Dalam suasana sepi seperti ini, kedua mata naga tampak menyeramkan. Kualihkan pandanganku pada pegangan pintu. Kuketuk sekali lagi, hingga akhirnya pintu itu terbuka. Aku mundur selangkah. Seraut wajah tampan muncul di hadapan. Aku mengedipkan mata, tanpa sadar mulutku terbuka. Hendak menyapa tapi tidak tahu harus berkata apa.

Ketidak nyamanan yang kurasa sedari tadi, lenyap setelah melihat wajah itu. Wajah yang kini tersenyum menatapku. Aku menjadi salah tingkah. Segera kubetulkan posisi tubuh.

"Selamat sore. Saya adiknya Mbak Gayatri. Disuruh untuk mengambil pesanannya. Mbak lagi banyak pelanggan, jadi saya yang menggantikannya," ujarku setelah sadar dari keterkejutan yang tiba-tiba datang.

"Oh, adiknya. Mari masuk dulu, pesanannya ada di dalam. Sebentar saya ambilkan, ya. Silakan duduk." Pemuda itu membuka pintunya lebih lebar, membiarkan aku masuk dan mengikutinya ke dalam.

Bau anyir seketika menyergapku. Perutku langsung bereaksi. Mual. Kutahan sekuat tenaga, dengan kedua tangan menutup mulut. Bau apa ini? Aku belum pernah membaui aroma yang begitu menyengat seperti ini, kecuali ... tunggu. Tidak salah lagi, ini bau darah.

Kuedarkan pandangan ke ruangan yang pengap ini. Tak ada sesuatu yang ganjil. Di sudut ruangan ada rak kosong, di sebelahnya ada meja kursi, yang salah satunya sedang aku duduki. Pemuda tadi menghilang melalui pintu penghubung, yang menghubungkan ruangan ini dengan ruangan di sebelah yang tidak terlihat dari sini.

Warna perabotan di ruangan ini membuatku merinding. Warna kayu dengan motif abstrak berbentuk cipratan sewarna darah. Darah? Dengan satu tangan masih menutup hidung, tanganku yang lain mengelus permukaan meja. Tiba-tiba angin bertiup kencang, membuat tubuhku sedikit bergoyang. Kepalaku sakit sekali.

Aku mengerjap beberapa kali. Di mana aku? Gelap. Tanpa ada penerangan, mustahil aku bisa melihat sesuatu. Namun, ada setitik cahaya berpendar di kejauhan. Aku masih bingung. Bukankah tadi aku berada di toko kecil mengambil pesanan kakakku? Apa aku sedang bermimpi? Pertanyaan yang tak bisa kujawab sendiri. Kuputuskan untuk berjalan menuju cahaya di sana.

Samar-samar kudengar suara rintihan yang menyayat hati. Semakin mendekat ke arah cahaya, semakin terdengar jelas suaranya. Cahaya di depan berasal dari obor yang menempel pada dinding gua. Di sebelahnya ada jeruji besi yang menghitam. Itu seperti ... penjara? Aku mengucek mata serampangan, berharap semua akan menghilang.

Namun, pemandangan di depanku masih sama. Sebuah penjara bawah tanah. Tidak salah lagi. Suara rintihan pilu terdengar semakin jelas, seperti suara seorang wanita, berasal dari dalam. Aku berjalan mengendap-endap. Tak ingin terlihat siapa pun penghuni tempat seram ini. Aku menemukan sebuah batu besar menjorok di dinding, bisa kugunakan untuk bersembunyi sambil mengamati keadaan.

Suara langkah kaki berdebam membuatku waspada. Kurapatkan tubuh menempel dengan batu. Aku menutup mulutku tatkala sesosok tubuh berdiri menjulang di depanku, menghadap ke penjara. Orang itu membawa sebuah kampak bergagang kayu dengan ujung yang tajam berkilau di tangan kanan, dan tali tambang hitam di tangan kiri. Perlahan dia membuka pintu penjara. Terdengar suara besi berkarat yang kurang minyak saat pintunya terbuka.

Aku tidak tahu apa yang dilakukannya di dalam sana. Suara rintihan berubah menjadi jeritan panjang yang memilukan. Aku menutup telinga rapat-rapat sambil memejamkan mata. Tak dapat kubayangkan kejadian di dalam sana. Benda-benda yang dibawa pria tadi, cukup menggambarkan apa yang sedang terjadi.

Tak lama suara-suara yang menyayat hati hilang. Kubuka mataku perlahan. Aku terkejut bukan kepalang, membuatku mundur membentur dinding. Sepertinya tanganku terbeset dinding, terasa agak perih di sebelah kiri. Tak kuhiraukan tanganku. Kini, di hadapanku, berdiri sesosok pria berwajah tampan yang sedang menyeringai, dengan kedua tangan di samping badan. Kedua benda yang dibawanya berlumuran darah. Bau anyir seketika menyeruak.

Naluriku berkata ini bukan hal baik. Aku harus lari, tetapi kakiku terasa berat, seperti ada yang menahannya. Pria itu mulai mendekat. Seringainya bertambah lebar. Aku menggigil, gigiku beradu di dalam mulut. Aku tak berkutik. Takut. Sangat takut. Ketika pria itu mengangkat kampaknya ke atas, entah darimana datangnya keberanian itu. Aku mendorongnya sekuat tenaga dan berlari ke arah mana saja, yang penting jauh dari pria mengerikan itu.

Terdengar derap langkah di belakang. Rupanya dia mengejarku. Semakin cepat aku berlari, menyusuri gua yang semakin ke dalam semakin gelap. Aku tidak peduli, hingga aku tak sengaja menginjak sesuatu yang licin. Badanku limbung, keseimbangan tubuhku goyah. Aku jatuh dengan suara berdebam. Kepalaku sakit sekali.

"Dek ... Adek ... ini pesanannya sudah siap." Sebuah suara disertai guncangan di lengan membuatku kembali ke alam sadar. Tadi itu apa?

Aku menatap pemuda yang berdiri dengan tangan terentang, mengangsurkan sebuah bungkusan plastik yang mungkin berisi pesanan kakakku. Aku berdiri dan menyambutnya dengan sedikit linglung. Kuucapkan terima kasih saat dia tersenyum. Senyumnya tampak tidak asing bagiku. Oh, tidak. Itu bukan senyuman. Itu seringai.

Aku masih mengerjap tak percaya. Pemuda di depanku ini memiliki wajah yang sama dengan pria yang ada di gua. Tanpa permisi aku berlari keluar, terus melajukan kaki tanpa henti. Napasku memburu lagi. Tiba di jalan besar, baru kusadari jika hari sudah berganti malam. Kutengok pasar di belakangku, sudah sepi tak ada orang.

Pengalaman hari ini tak 'kan kuceritakan pada kakak. Biarlah kusimpan misteri ini di hati. Namun, satu hal yang pasti, aku tak akan mau pergi ke toko kecil itu lagi.

*** Tamat ***

Salatiga, 07 Mei 2020

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 07, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Toko KecilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang