01. Dia adalah Rashaad

82 11 3
                                    

Pada satu titik waktu di mana aku sangat ingin merangsek masuk ke dalam pikirannya dan mencoba menemukan sepotong inti permasalahan adalah ketika ia sedang melamun sendirian dengan mata sayu dan ekspresi kosong.

Seperti yang sering kulihat dalam momen-momen yang hampir mirip, ia duduk sambil menyilangkan kaki dan tangan kiri bertumpu pada alas kursi. Kepalanya sedikit tertunduk, sementara tangan kanannya terkepal kuat. Tidak peduli seberapa sepi atau ramai keadaan di sekitarnya, ia seakan telah menghidupkan dunianya sendiri di sana. Membuat dirinya terkesan tak dapat diraih sama sekali oleh orang lain.

Ia terasa begitu jauh, sangat berjarak.

Entah bagaimana bisa aku berhasil menemukan sisi lain dari seseorang yang dapat dikatakan begitu bersinar di antara manusia lain di sekitarnya. Secara tidak sengaja, enam bulan lalu di taman perpustakaan kota, jam empat sore. Kupikir saat itu aku melihat bagaimana keputusasaan menguar hebat dari dirinya, yang tidak mampu kupahami mengapa bisa membawa perasaan teramat sesak di hatiku, hingga membuatku tetap duduk kaku di taman sampai dua jam berikutnya. Hanya untuk memerhatikan dirinya dalam diam.

Rashaad, begitulah temanku memberitahu nama laki-laki itu dengan nada ceria saat kami melihatnya sedang tertawa bersama sekelompok mahasiswa di kantin Gedung Kuliah Bersama lantai 3. Waktu itu, kupikir ia adalah seorang kupu-kupu sosial yang hidupnya sangat terberkati. Apapun ada dalam genggaman tangannya. Ditambah dengan kepribadian yang kabarnya sangat baik dan menyenangkan, ia mampu membuat siapapun mau melakukan sesuatu untuknya secara cuma-cuma.

Tetapi, manusia memang pandai menyiman rahasia apapun mengenai dirinya. Kupikir begitu pula dengan Rashaad. Bahkan hingga saat ini aku gagal menemukan apapun penyebab dirinya menjadi terlihat begitu lemah ketika teman-temannya tidak sedang bersamanya. Dan kupikir teman-teman Rashaad pun tidak ada yang mengerti tentang keadaan dirinya.

“Ini dingin,” kataku, yang tak kusangka terucap dengan suara gemetar.

Ini merupakan langkah pertamaku setelah enam bulan memerhatikannya dari kejauhan. Memberanikan diri untuk mengganggu kesendirian laki-laki itu. Berusaha mengabaikan detak jantung yang bertalu-talu gugup serta dorongan untuk segera enyah dari tempat ini sekarang juga.

Berdiri tepat di depannya dengan jarak sekitar satu meter sudah membuatku ingin menangis karena menyesali tindakan gegabahku. Terlebih ketika sepasang mata gelap itu pada akhirnya terarah tepat padaku. Bibirnya sedikit terbuka dan secercah sinar kesadaran dalam matanya membuatku yakin bahwa ia sedang bertanya-tanya siapakah orang asing yang berdiri di depannya sekarang.

“Ini dingin,” ulangku setelah menjilat bibir karena terlalu gugup. Dengan kaku aku menoleh ke sekitar taman fakultas yang sudah sepi ketika Rashaad tetap melihatku tanpa ada reaksi sedikitpun. Ya Tuhan, aku sungguh menyesal karena sudah berpikir terlalu pendek tadi dan tiba-tiba mendekatinya seperti ini. “Udaranya, maksudku. Sebentar lagi mau hujan.”

Rashaad mendongak, melihat langit mendung yang pekat. Ia kemudian mengangguk kecil. “Iya, pastinya.”

Ah, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan atau katakan lagi. Otakku benar-benar macet sekarang.

“Tapi bukannya itu bagus?” gumamnya seraya menghela napas pelan. Ia menatapku dengan seulas senyum. “Ada rasa nyaman ketika dua hal yang berlawanan disatukan.”

Aku mengerjap bingung. “Maksudnya?”

“Hujan yang dingin bisa sedikit meredam panasnya kepalaku. Itu nyaman.”

Dan aku benar-benar kebingungan untuk membalasnya. Apa yang harus kulakukan? Apa balasan yang tepat untuk kalimatnya?

Tepat ketika otakku terus kupaksa untuk mengolah kalimat yang setidaknya sedikit bisa mengimbangi ucapannya, Rashaad meluruskan kedua kaki. Ia kembali mendongak sekilas sambil menghirup napas dalam-dalam. Gerakan kecil yang mampu menyita fokusku sepenuhnya.

“Aku Rashaad,” katanya memperkenalkan diri setelah beringsut berdiri di depanku. Ia lantas mengulurkan tangan kanan padaku. “Kalau kamu?”

***

Nadhira Mafaza. Mafaza. Faza.

Seharusnya itu yang kukatakan pada saat Rashaad mengulurkan tangan dan menanyakan namaku. Bukannya dengan mudah teralihkan oleh panggilan telepon dari temanku, lalu cepat-cepat pergi tanpa sempat menerima uluran jabat tangannya selepas mengucapkan maaf secara singkat. Aku sungguh tidak pernah merasa sebodoh ini selama 20 tahun menghirup napas karena telah menyia-nyiakan kesempatan bagus di depan hidung sendiri.

“Idiot.” Aku berdecak sambil dua kali memukul dahi pelan.

Menyandarkan tubuh di tiang kayu yang terhubung dengan kursi-kursi panjang di selasar taman depan danau buatan kampus, aku kembali merutuki tindakan spontanku yang langsung pergi karena terlalu gugup. Menggunakan alasan bahwa ada teman yang mencariku sebagai penguat keputusan untuk segera pergi, padahal ia hanya bertanya di mana aku menaruh charger ponsel. Dan sekarang, aku sama sekali belum bertemu Rashaad lagi setelah dua pekan terlewati.

Sebenarnya merupakan sebuah kewajaran apabila aku dan Rashaad jarang sekali berpapasan. Kami berbeda fakultas dan hanya ada kesempatan untuk bertemu jika memiliki jadwal kuliah yang sama di Gedung Kuliah Bersama. Kalaupun hal ini bisa disebut sebagai keberuntungan, Rashaad juga cukup sering berkunjung ke fakultasku atau sekadar duduk di kantin GKB bersama teman-temannya di luar jadwal kami biasa berpapasan.

Sayangnya, status kami yang sama-sama merupakan mahasiswa akhir semakin mengikis kesempatan untuk bertemu. Tidak ada jadwal kuliah, pun tidak ada keperluan apapun selain bimbingan skripsi.

Aku menghela napas berat, mengetahui bahwa keberuntungan mungkin tidak akan menghampiriku untuk sekadar bertukar pandangan dengan Rashaad lagi. Bahkan, mungkin ia telah melupakan bagaimana bentuk wajahku sedetik setelah aku dengan tidak sopannya berbalik meninggalkannya waktu itu.

“Ah, kita ketemu lagi.”

Aku yang sedang menunduk dalam dengan kata 'idiot' terus berputar di kepala, segera mendongak. Melongo melihat sosok laki-laki jangkung yang dua minggu lalu nekat kudekati kini berdiri di sampingku.

“Aku Rashaad,” katanya agak canggung ketika tak ada respon apapun dariku karena terlalu sibuk memikirkan kebetulan macam apa lagi yang sedang terjadi saat ini.

Rashaad mengusap tengkuknya sekilas. Benar-benar terlihat kikuk. Mungkin ia mengira bahwa aku telah melupakannya. “Hawa dingin sebelum hujan, dua minggu lalu di FEB,” gumamnya mengingatkan diiringi senyuman tipis.

“Y-ya, tentu aja aku masih ingat.” Aku segera bangkit berdiri. Mengabaikan debaran jantung yang menggila karena kesempatan kami untuk berkenalan datang kembali, aku segera mengulurkan tangan.

Dengan senyum yang sangat kuusahakan terlihat normal, aku lantas berkata, “Namaku Mafaza. Waktu itu aku nggak sempat sebut namaku, kan? Maaf ya, tiba-tiba ada hal penting waktu itu,” jelasku yang berselimut kalimat hiperbola. Apa pentingnya menemukan charger ponsel dibandingkan berkenalan dengan laki-laki ini?

“Nggak masalah.” Rashaad mengedikkan bahu. Senyum terulas tipis di bibirnya. Namun, dahi Rashaad sedikit mengernyit saat kami masih berjabat tangan. “Kamu lagi sakit?”

“Hah?”

“Tanganmu dingin banget.”

ITU KARENA AKU TERLALU GUGUP!

Buru-buru aku melepas tautan tangan kami, kemudian menggeleng cepat. “Nggak kok, mungkin kedinginan karena angin di sini. Agak kencang, kan?”

Rashaad menoleh ke arah danau. Ia lantas mengangguk kecil. “Iya, lumayan.”

Tatapannya kembali tertuju padaku. Ia sedikit melirik ke arah laptopku yang masih menyala di atas meja, menampilkan tulisan BAB II beserta subbab-nya. Perhatiannya kemudian beralih ke beberapa buku yang tercecer serta lembaran fotocopy skripsi dan jurnal yang kudapat setelah pergi ke perpustakaan pusat tadi pagi. “Skripsi itu nyerap energi banget. Selain stres, hal-hal semacam kedinginan begini harus dihindari supaya nggak drop nantinya. Jadi, kamu pakai aja jaketku,” ucapnya seraya melepaskan jaket abu-abu yang dikenakannya.

Ah, ternyata dia memang baik hati, sama seperti apa yang dikatakan orang-orang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 08, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AMIGDALA : Aku, Kamu, dan Seutas KisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang