Malam ini langit cerah dan Aminah tahu itu, tapi Aminah tidak pernah jadi bintang-bintang yang bersinar terang di angkasa. Ia hanyalah seorang rembulan yang cahayanya redup di tengah kegelapan, tidak ada temannya, sendirian, kesepian.
"Iqbal!"
Aminah kembali berteriak, walaupun tidak ada yang membalasnya. Bodoh memang, tapi tidak ada salahnya berharap kan? Setitik cahaya sudah sangat berarti baginya.
Aminah tahu menunggu adalah pekerjaan tak pasti yang melelahkan hati, tapi apalah lagi yang bisa dilakukan gadis berwajah teduh itu selain menunggu, meski tahu penantiannya ini akan berakhir dengan luka baru.
Akan tetapi rindu itu keras kepala, tetap bersemayam di hati meski berapakali telah Aminah coba enyahkan. Rindu tetap berdiri angkuh di hatinya, enggan beranjak walau sejengkal sebelum bertemu penawarnya, dan Aminah tahu penawar untuk rindunya hanya Iqbal, lelaki berhidung mancung yang punya senyum gigi kelinci.
Aminah meraba masa lalunya.
Kenapa ia begitu dingin pada Iqbal?
Seharusnya ia menjawab semua panggilan Iqbal, bukannya bersembunyi di bawah selimut seperti orang bodoh.Seharusnya ia terima saja bunga mawar dari Iqbal, bukannya memberikan bunga itu pada sepupunya.
Seharusnya ia pergi malam itu menemui Iqbal, bukan menyuruh sepupunya untuk menggantikannya.
Seharusnya ia lebih banyak tersenyum pada Iqbal, bukan memandangnya dengan wajah datar tanpa ekspresi.Seharusnya ....
Aminah hanya bisa berandai.
Jika saja ia lebih hangat pada Iqbal mungkin akhirnya tidak akan sebegini menyakitkan.Jika saja ia bisa merubah masa lalunya dan pergi menemui Iqbal saat itu, mungkin hatinya takkan sebegini hancur.
Jika saja ....
Aminah manarik napas dalam lalu air matanya menetes tak tertahankan. Katanya, jika air mata kiri menetes duluan, itu artinya air mata kesedihan, dan jika kanan duluan, itu berarti air mata kebahagiaan.
Tetapi, jika air mata itu menetes dari kedua matanya, itu artinya apa?
"Iqbal, aku rindu," lirihnya lagi, entah sudah berapa kali kalimat itu menggema malam ini, juga malam-malam sebelumnya, atau malam-malam ketika kabar tentang Iqbal yang hilang karena kecelakaan pesawat sampai ketelinganya. Aminah tak tahu, tak pernah pula menghitung.
Ia tahu bahwa perbuatannya ini sia-sia.
Bodoh.
Tak masuk akal.
Tetapi Aminah masih ingin berharap, masih ingin menemukan sepercik harapan. Barangkali Iqbal masih hidup diluar sana, meski kabar mengatakan tak ada korban yang selamat lantaran pesawat itu hancur berkeping-keping di tengah hutan belantara. Aminah, tentu bodoh dengan mempercayai harapannya, tapi tak apa, Aminah masih ingin merindukan Iqbal, karena rindu adalah pilu dari kehilangan yang mengharapkan pertemuan.
Aminah sanggup menahannya, meski entah kapan, Aminah akan setia menunggu. Memenjarakan rindu hingga akhirnya nanti mereka akan bertemu dan menyadari betapa berharganya arti sebuah pertemuan.
Malam menjadi kawan paling setia yang di miliki Aminah. Entah sejak kapan ia mulai memutuskan hubungan dengan manusia, Aminah tidak yakin. Mungkin saat kakinya cacat karena kecelakaan atau saat hatinya dipaksa berkorban demi kebahagian orang lain yang kini malah menyakiti hatinya lebih parah.
Aminah menyukai malam karena keheningannya yang misterius. Tidak seperti pagi yang membawa harapan cerah untuk kehidupan lebih baik.
Malam lebih seperti tempat berpulang dari semua kekecewaan yang dibawa, ketika manusia tidak kunjung menemukan harapannya. Malam lebih seperti kawan yang tidak bisa membalas perkataan, hanya dapat memeluk semua luka yang Aminah katakan dalam dingin yang entah sejak kapan menjadi candu untuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aminah dan Rindunya
Romance"Rindu adalah pilu dari kehilangan yang mengharapkan sebuah pertemuan"-Aminah